Hukum waris adalah bagian dari syariat Islam. Karenanya, dalam membuat peraturan dan mengimplementasikannya secara praktis, para ahli hukum harus merujuk pada Al-Quran dan hadits Rasulullah Saw. Berbicara hukum waris dalam Islam, kita akan bersentuhan dengan istilah faraidl yang secara bahasa berarti kadar atau bagian. Dalam hal ini, kita pun dituntut untuk mengetahui empat prinsip dasar pembagian warisan.
Pertama, tulus dan jujur serta penghambaan diri.
Prinsip ini diperlukan untuk menaati segala ketentuan Al-Quran dan hadits. Penjelasan umum angka 2 (dua) alinea keenam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama memberi hak opsi kepada para pihak untuk bebas menentukan pilihan hukum waris mana yang akan dipergunakan dalam menyelesaikan pembagian waris, telah dinyatakan dihapus oleh UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Penghapusan tersebut berarti telah membuka pintu bagi umat Islam untuk melaksanakan hukum waris Islam dengan kaffah yang pada akhirnya ketulusan hati untuk menaati hukum waris secara Islam adalah pilihan yang terbaik. Landasan kesadarannya adalah firman Allah Swt. surat Ali Imran ayat ke-85, “Barang siapa menuntut agama selain Islam, maka tiadalah diterima dari padanya, sedang dia di akhirat termasuk orang-orang merugi.”
Penghambaan diri (ta’abbudi) adalah melaksanakan pembagian waris secara hukum Islam yang merupakan bagian dari ibadah kepada Allah Swt. yang akan berpahala bila ditaati seperti layaknya mentaati pelaksanaan hukum-hukum Islam lainnya. Ketentuan demikian dapat kita lihat, setelah Allah Swt. menjelaskan tentang hukum waris secara Islam sebagaimana dijelaskan dalam surat An-Nisaa ayat 11 dan 12 yang kemudian dikunci dengan ayat 13 dan 14,”Demikianlah batas-batas (peraturan) Allah. Barang siapa mengikut (perintah) Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkan dia ke dalam surga yang mengalir air sungai di bawahnya, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan yang besar. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melampaui batas-batas (larangan)-Nya, niscaya Allah memasukkan dia ke dalam neraka, serta kekal di dalamnya, dan untuknya siksaan yang menghinakan.” (Q.S. An-Nisaa [4]: 13-14)
Kedua, hak kebendaan (hukukul maliyah) dan hak dasar (thabi’iyah).
Bahwa, hanya hak dan kewajiban terhadap kebendaan saja yang dapat diwariskan kepada ahli waris. Sedangkan, hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau hak-hak dan kewajiban yang bersifat pribadi (seperti suami atau istri, jabatan, keahlian dalam suatu ilmu dan yang semacamnya) tidak dapat diwariskan.
Kewajiban ahli waris terhadap pewaris diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 175 menyatakan mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai, menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk, kewajiban pewaris maupun menagih piutang, menyelesaikan wasiat pewaris, membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.
Sedangkan, hak-hak dasar dari ahli waris sebagai manusia artinya adalah meskipun ahli waris itu seorang bayi yang baru lahir atau seseorang yang sedang sakit (menghadapi kematian tetapi masih hidup ketika pewaris meninggal dunia), begitu juga suami istri yang belum bercerai walaupun sudah pisah tempat tinggalnya, maka dipandang pantas untuk mewarisi. Hak-hak dari kewarisan ini ada empat macam penyebab seorang mendapat warisan, yakni hubungan keluarga, perkawinan, wala dan seagama.
Hubungan keluarga yaitu hubungan antar orang yang mempunyai hubungan darah baik dalam garis keturunan lurus ke bawah (anak cucu dan seterusnya) maupun ke samping (saudara). Kebalikan dari ketentuan tersebut, hukum Islam menentukan beberapa macam penghalang kewarisan yaitu murtad, membunuh dan hamba sahaya, sedangkan dalam Kompilasi Hukurn Islam penghalang kewarisan kita jumpai pada pasal 173.
Keharusan, kewajiban (ijbari). Bahwa dalam hukum kewarisan Islam secara otomatis peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia (pewaris) kepada ahli warisnya sesuai dengan ketetapan Allah Swt. tanpa digantungkan pada kehendak seseorang baik pewaris maupun ahli waris. Unsur keharusannya (ijbari/compulsory) terutama terlihat dari segi dimana ahli waris (tidak boleh tidak) menerima berpindahnya harta pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan oleh Allah.
Ketiga, prinsip bilateral dan perorangan.
Seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak yaitu dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan. Prinsip bilateral ini dapat dilihat dalam Al-Quran, “Untuk laki-laki ada bagian dari peninggalan ibu bapak dan karib kerabat yang terdekat, dan untuk perempuan-perempuan ada bagian pula dari peninggalan ibu bapak dan karib yang terdekat, baik sedikit ataupun banyak, sebagai bagian yang telah ditetapkan.” (Q.S. An-Nisaa [4]: 7)
Harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaannya, seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagi-bagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing.
Keempat, prinsip keadilan yang berimbang.
Harus ada keseimbangan antara hak yang diperoleh seseorang dari harta warisan dengan kewajiban atau beban biaya kehidupan yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat bagian yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab dalam kehidupan keluarga, mencukupi keperluan hidup anak dan istrinya (Q.S. [2]: 233) sesuai dengan kemampuannya.
Apabila terjadi suatu keadaan di mana jumlah bagian dari semua ahli waris lebih besar dari masalah yang ditetapkan atau sebaliknya (jumlah bagian dari semua ahli waris yang ada lebih kecil dari asal masalah yang ditetapkan), Kompilasi Hukum Islam tentang menyatakan:
Pasal 192: “Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari pada angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan baru sesudah itu harta warisan dibagi secara aul menurut angka pembilang.”
Pasal 193: “Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil dari pada angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris asabah, maka angka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris sedangkan sisanya dibagi secara berimbang di antara mereka.”
Dengan merujuk pada keempat prinsip hukum waris tersebut, maka penyimpangan terhadap ketentuan waris secara Islam semestinya tidak terjadi.
Lalu, bagaimana dengan sebagian masyarakat kita yang lebih memilih menggunakan hukum adat dalam hal pembagian waris? Hukum adat waris erat hubungannya dengan sifat-sifat kekeluargaan dalam masyarakat hukum yang bersangkutan; baik Patrilineal, Matrilineal maupun Parental. Tidak semua masyarakat menjalankan hukum waris ini. Namun memang, di beberapa daerah hukum waris ini masih dipegang teguh.
Sebenarnya, pengoperan warisan dapat terjadi pada masa pemiliknya masih hidup yang disebut penghibahan atau hibah wasiat dan dapat pula setelah pemiliknya meninggal dunia yang disebut warisan. Dasar pembagian warisan adalah kerukunan dan kebersamaan serta memperhatikan keadaan istimewa dari tiap ahli waris. Pembagian warisan juga dapat ditunda atau pun dibagikan hanya sebagian saja meski tetap harus dilihat dari sifat, macam, asal dan kedudukan hukum dari barang-barang warisan tersebut.
Mengenai sistem pengaturan pembagian warisan, kita mengenal tiga metoda.
Pertama, sistem kewarisan individual. Harta peninggalan dapat dibagi-bagikan kepada para ahli waris seperti dalam masyarakat Jawa.
Kedua, sistem kewarisan kolektif. Harta peninggalan itu diwarisi secara bersama-sama para ahli waris. Misalnya harta pusaka tidak dimiliki atau dibagi-bagikan dan hanya dapat dipakai atau hak pakai.
Ketiga, sistem kewarisan mayorat. Harta peninggalan diwariskan keseluruhan atau sebagian besar jatuh pada salah satu anak saja. Sistem kewarisan mayorat laki-laki yaitu harta peninggalan jatuh kepada anak-anak laki-laki dan mayorat perempuan yaitu harta peninggalan jatuh pada anak perempuan tertua.
Perlu dipahami pula bahwa tidak semua harta peninggalan dapat diwariskan kepada ahli waris. Alasannya adalah karena sifatnya (seperti barang-barang milik bersama atau milik kerabat), kedudukan hukumnya (seperti barang kramat, kasepuhan, tanah bengkok, tanah kasikepan), serta karena pembagian warisan ditunda (misalnya karena ada anak-anak yang belum dewasa, dan lain sebagainya).
Ahmad, disarikan dari hasil wawancara dengan Prof. Dr. H. Atjep Djazuli (Dosen Pasca Sarjana UIN & Ketua Dewan Syariah Bank BJB Syariah)