Percikan Iman – Qalbu ibarat cawan yang bisa dimasuki apapun karena mata kita, telinga kita, perasaan kita, setiap saat terbuka. Sementara itu, kita adalah makhluk yang banyak lupa juga lalai. Karena itu, kita butuh ikhtiar sehingga Allah berkenan menjaga kita setiap saat. Untuk mengaktifasinya, kita perlu beberapa langkah.
Yang pertama, ialah kita perlu mengenali, apa saja penyebab penyakit qalbu sehingga kita bisa mengidentifikasi apa saja virus yang dapat menjangkiti qalbu kita. Juga kita perlu tahu, celah mana saja, yang kiranya menjadi pintu masuknya. Untuk meraih kemampuan tersebut, tak ada lain, kita perlu bermajelis ilmu.
Dalam Qur’an surat Fathir, ayat 28, Allah Swt. berfirman
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَاۤبِّ وَالْاَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗ كَذٰلِكَۗ اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ
Demikian pula di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa, dan hewan-hewan ternak. Di antara mereka ada yang bermacam-macam warna dan jenisnya. Di antara hamba-hamba Allah, hanya para ulama yang takut kepada Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun
Kedua, banyak berinteraksi dengan Al-Qur’an. Mengapa Al-Qur’an? Karena Al-Qur’an adalah “obat”. Obat dalam arti “kuratif” maupun “preventif”. Dalam Qur’an, surat Al-Isra’, ayat 82, Allah Swt. berfirman,
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْاٰنِ مَا هُوَ شِفَاۤءٌ وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَۙ وَلَا يَزِيْدُ الظّٰلِمِيْنَ اِلَّا خَسَارًا
Kami turunkan Al-Qur’an sebagai penawar dan rahmat bagi orang beriman. Al- Qur’an itu hanya akan menambah kerugian bagi orang zalim.
Karena kita ciptaan Allah Swt. maka tak ada lagi sumber yang dapat kita jadikan rujukan melainkan apa yang sudah Ia tetapkan sebagai petunjuk. Hebatnya, Allah Swt. memberikan kita ujian, beserta jawabannya. Semua jawaban itu, tiada lain, ada di Al-Qur’anul kariim.
Ketiga, perbanyak istighfar. Salah satu pintu penyakit hati ialah karena kita gelisah berlebihan. Akibatnya, qalbu kita melemah. Di saat itu, bibit penyakit hati masuk. Salah satu yang mengakibatkan kita gelisah ialah karena kita berbuat dosa.
Bukan hanya kecemasan, malas atau bahkan musibah, semua itu disebabkan oleh dosa-dosanya sendiri, dan peleburnya adalah istighfar.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوْبُوْا إِلَى اللهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ فَإِنِّيْ أَتُوْبُ إِلىَ اللهِ فِيْ الْيَوْمِ أَكْثَرُ مِنْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً
“Wahai sekalian manusia, bertaubatlah dan mohon ampunlah kalian kepada Allah, karena sesungguhnya aku bertaubat kepadanya tuju puluh kali dalam sehari” [HR. al-Bukhâri no. 5948, at-Tirmidzi no.3312, Ibnu Mâjah no.3816]
Keempat, setelah istighfar, kita dapat meningkatkannya dengan berdzikir pada Allah Swt. Namun, jangan cukup hanya di lisan, melainkan harus kita resapkan dalam qalbu kita. Yakinkan diri, bahwa Allah Swt Maha Suci, layak atas Segala Puji, dan Ia Maha Besar di atas segala sesuatu.
Menyebut dan mengingat nama Allâh Swt. akan melapangkan hati dan membuat segala urusan menjadi mudah. Dan lebih dari itu, sesungguhnya dzikir dapat menguatkan seorang hamba
- Sebagaimana diriwayatkan kisah Fathimah yang mendatangi Rasûlullâh – atas saran Ali – untuk meminta seorang pembantu guna meringankan pekerjaan rumahnya, karena setiap hari dia memasak dan memikul kayu bakar sendiri.
- Akan tetapi, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengabulkan permintaan tersebut. Beliau datang ke rumah mereka dan mengajarkan dzikir sebagai ganti daripada pembantu
أَلاَ أُخْبِرُكُمَا بِمَا هُوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ؟! إَذَا أَوَيْتُمَا إِلىَ مَضْجَعِكُمَا تُسَبِّحَانِ اللهَ ثَلاَثاً وَثَلاَثِيْنَ وَتَحْمَدَانِهِ ثَلاَثًا وَثلَاَثِيْنَ وَتُكَبِّرَانِهِ أَرْبَعًا وَثَلاَثِيْنَ فَذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ
Maukah kalian berdua aku tunjukan pada sesuatu yang lebih baik dari seorang pembantu?! Apabila kalian hendak tidur, maka ucapkanlah subhânallâh 33 kali, alhamdulillâh 33 kali dan Allahu akbar 34 kali. Maka itu semua jauh lebih baik bagi kalian dari seorang pembantu” [HR. al-Bukhâri no.3502, Muslim no.2727, Abu Dawud no. 2988]
Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud “lebih baik” pada hadits di atas bukan hanya dalam masalah pahala, akan tetapi juga menunjukan bahwa barangsiapa tekun membaca dzikir-dzikir tersebut akan diberi oleh Allâh Azza wa Jalla kekuatan, semangat dan etos kerja yang membuatnya tidak butuh pembantu lagi.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengkisahkan bahwa Ibnu Taimiyah (gurunya) apabila selesai menunaikan shalat Subuh, beliau tetap duduk di tempatnya, beliau terus berdzikir hingga terbit matahari kemudian shalat sunnah dua rakaat.
Lalu beliau berkata: “Inilah asupan giziku, kalaulah aku tidak mengkonsumsinya pastilah kekuatanku akan sirna”.
Terakhir, perbanyak shalawat pada Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana kisah seorang shahabat yang mengisi sebagian doanya dengan memohon kebaikan untuk dirinya sendiri, dan sebagian lagi untuk shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Ia bertanya,
“Wahai Rasulullah, berapa banyakkah shalawat yang harus aku haturkan untukmu dari doa ku?”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Terserah engkau!”. Ia bertanya lagi, “Sepertiganya, wahai Nabi?”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Terserah engkau, tapi jika engkau menambahnya, maka lebih afdhol”.
Ia bertanya lagi, “Setengahnya wahai Nabi?”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Terserah engkau, tapi jika engkau menambahnya maka lebih afdhol”. Ia bertanya, “Seluruhnya wahai Nabi?”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jika benar demikian, maka akan hilang rasa gundahmu, dan diampuni dosamu”.
_____
Tulisan ini merupakan pengembangan dari materi yang disampaikan oleh guru kita, Ustadz Aam Amiruddin pada Majelis Percikan Iman Malam di Masjid Al-Irsyad, Kota Baru Parahyangan