Jangan dikira warna dan aroma yang menggugah selera pada jajanan anak sekolah hanya menawarkan kelezatan. Di balik itu terkandung bahan berbahaya yang bisa mengganggu kesehatan murid-murid sekolah. Tapi, pada umumnya, murid sekolah tetap tergiur untuk membeli jajanan tanpa menyadari bahayanya.
Lihat saja kebiasaan Riandi Taufiqurrahman, murid kelas enam sebuah SD di Jakarta Timur. Setiap hari dia mendapat uang jajan sebesar Rp 2.500 dari orang tuanya. Uang sebesar itu sering kali digunakannya untuk membeli semangkuk bakso.
Kebiasaan serupa juga dijalani Sanusi, murid kelas tiga SD di daerah Pejompongan, Jakarta Pusat. Bocah yang akrab disapa Uci itu hampir setiap hari membeli gorengan bersaus cabai, gula-gula, atau minuman ringan. Dia mengaku tergiur pada jajanan tersebut karena aroma dan warnanya menarik hati. Jika tak diberi uang jajan, dia pun mengamuk.
Kebiasaan Riandi dan Uci ini sudah saatnya untuk diwaspadai. Sebab, menurut penelitian Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM), sebagian makanan jajanan anak sekolah itu mengandung bahan kimia berbahaya.
Dari 163 sampel jajanan anak yang diuji di 10 provinsi, sebanyak 80 sampel atau 50 persennya tak memenuhi syarat mutu dan keamanan. Kebanyakan jajanan yang bermasalah itu mengandung boraks, formalin, zat pengawet, zat perwarna berbahaya, serta tak mengandung garam beriodium.
Menurut Kepala Badan POM, H Sampurno, pihaknya menguji jajanan anak-anak sekolah itu karena produk tersebut memiliki bahaya tinggi bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia di masa mendatang. ‘Kami menemukan bahwa bahan-bahan tersebut memang terdapat dalam sampel yang kami ambil,’ ungkapnya di Jakarta, Kamis (8/1).
Dengan kondisi seperti itu, Sampurno kemudian menginformasikan kepada sekolah-sekolah bahwa jajanan di lingkungan mereka itu berisiko tinggi untuk dikonsumsi. ‘Para penjual itu tak perlu dilarang. Justru diharapkan pihak sekolah peduli untuk membina dan mengawasi makanan jajanan di lingkungan masing-masing,’ tambah Sampurno. Ia mengatakan Badan POM juga menginformasikan temuan ini kepada jajaran pemerintahan daerah. Dengan langkah seperti itu, kata Sampurno, pemerintahan di tiap-tiap daerah bisa turut mengawasi dan membina para pedagang makanan supaya menjaga mutu, keamanan, dan kebersihan jajanannya.
Menanggapi temuan tersebut, ahli gizi dan kesehatan masyarakat Departemen Kesehatan, Murni Indra Djati Prakoso SKM MSc, meminta dukungan para orang tua murid. Menurut Murni, setiap orang tua perlu mengawasi makanan yang dibeli anak-anaknya. ‘Kalau orang tua membebaskan anaknya untuk memilih, akibatnya bisa berbahaya,’ terangnya.
Menurut Murni, boraks, zat pengawet, dan pewarna berbahaya, merupakan bahan aditif (tambahan) makanan. Sementara, bahan aditif –terutama yang terbuat dari unsur kimia– harus dibatasi penggunaannya. Jika tidak dikendalikan, dalam jangka panjang, bahan-bahan aditif tersebut bisa menjadi bersifat karsinogenik (memicu timbulnya kanker).
Supaya bahaya yang mengancam anak-anak sekolah itu bisa ditekan, dia menyarankan agar para pembuat jajanan lebih memilih bahan aditif dari unsur alami, bukan dari unsur kimia. Jenis aditif alami itu, antara lain, daun pandan (untuk menghasilkan aroma harum dan warna hijau), serta suji. Selain memantau jajanan anak sekolah, selama 2003, Badan POM juga menguji keamanan berbagai jenis makanan.
Sedikitnya 19.465 jenis makanan dijadikan sampel pengujian tersebut. Hasilnya, sebanyak 5,6 persen sampel tidak layak diedarkan. Sebanyak 185 item mengandung pewarna berbahaya, 94 item mengandung boraks, 74 item mengandung formalin, dan 52 item mengandung benzoat atau pengawet dalam kadar berlebih. Badan POM kemudian menariknya dari peredaran untuk dimusnahkan.
Di samping itu, Badan POM juga memeriksa sebanyak 1.335 unit sarana industri makanan. Hasilnya, sebanyak 36 dari 267 industri yang terdaftar produknya, belum memenuhi persyaratan. Dari 927 unit industri rumah tangga berizin SP yang diperiksa, ternyata ditemukan sebanyak 542 unit sarana belum memenuhi persyaratan.
‘Untuk itu, kami berupaya mengadakan pelatihan dan pembinaan kepada para industri kecil-menengah makanan dalam bidang mutu dan keamanan,’ kata Sampurno lagi. Selama 2003 pihaknya mengaku mengeluarkan dana Rp 14 miliar untuk menjalankan program tersebut. Dia berharap usaha ini bisa menekan tingkat peredaran makanan yang tidak layak untuk dikonsumsi.