Adakah persamaan antar Manusia dan Jin?

Allah swt. menciptakan alam semesta dengan segala isinya tidak sia-sia, namun punya tujuan dan hikmah,

Rabbana maa khalaqta hadza baatila [Ya Allah, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia] (QS. Ali Imran 3:191).

Setiap mahluk yang diciptakan-Nya memiliki keunikan masing-masing, termasuk di dalamnya manusia dan jin yang memiliki persamaan dan perbedaan yang merupakan bagian dari keunikan kreasi Allah Tuhan Yang Maha Agung.

Di antara persamaannya adalah :

1. Diciptakan untuk beribadah kepada-Nya “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Q.S.Adz-Dzaariyat 51 : 56)

2. Memiliki kemampuan berpikir Suatu waktu Rasulullah saw. sedang membaca Al Qur’an, lalu datanglah selekompok jin mendengarkannya. Selesai menyimak, para jin itu dapat mengambil kesimpulan. “Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al Qur’an yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorang pun dengan Tuhan kami.” (Q.S.Al-Jin 72 : 1-2) Para jin mampu menyimpulkan apa yang telah didengarnya, ini menunjukkan bahwa mereka berpikir. Tanpa kemampuan berpikir, tidak mungkin bisa mengambil kesimpulan.

3. Ada yang shaleh dan ada pula yang kufur Sama halnya dengan manusia, jin ada yang shaleh ada pula yang kufur, ada yang taat dan ada juga yang membangkang. “Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang shaleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.” (Q.S.Al-Jin 72 : 11)

4. Mendapatkan imbalan dan sanksi Konsekuensi kesalehan adalah imbalan (sorga) dan akibat pembangkangan adalah sanksi (neraka). Jin ada yang masuk neraka ada pula yang masuk sorga, sama seperti manusia. “Adapun yang menyimpang dari kebenaran, mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahannam. Dan jika mereka tetap berjalan lurus di atas jalan Islam, benar-benar kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak).” (Q.S.Al-Jin 72 : 15-16)

5. Berjenis kelamin (gender) Pada alam manusia dikenal jenis kelamin laki-laki dan perempuan (gender), ternyata dalam dunia jin pun dikenal gender tersebut. “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (Q.S.Al-Jin 72 : 6) Secara eksplisit ayat ini menyebutkan jenis kelamin jin yaitu laki-laki. Kalau ada jin laki-laki, berarti ada jin perempuan.

6. Berketurunan Apabila jin itu mengenal gender (jenis kelamin), maka logis kalau ada ayat yang menjelaskan bahwa mereka itu berketurunan. “Patutkah kamu mengambil iblis (jin yang durhaka) dan keturunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim.” (Q.S.Al-Kahfi 18 : 50) Kata “dan keturunannya”, mencerminkan bahwa jin berketurunan seperti manusia.


Itulah di antara persamaan jin dan manusia. Sekarang kita identifikasi perbedaannya.

1. Fisik jin tidak bisa dilihat manusia “… Sesungguhnya ia (iblis/jin) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (Al-A’raf 7 : 27)
Berdasarkan ayat ini, imam Syafi’i berpendapat, “Kufur, orang yang mengaku pernah melihat jin”. Jadi, bentuk jin yang sesungguhnya tidak akan pernah bisa dilihat oleh siapapun kecuali oleh para nabi yang diberi mukjizat seperti Sulaiman a.s. Namun sejumlah riwayat menerangkan, kadang-kadang jin menampakkan diri dalam bentuk binatang, misalnya anjing, ular, dll. Jadi, kalau ada yang mengaku pernah melihat jin, sesungguhnya yang dilihat itu bukanlah rupa/bentuk aslinya.

2. Jin berumur lebih panjang Iblis (jin yang durhaka kepada Allah) pernah minta umur yang panjang hingga kiamat, Allah swt mengabulkan permohonannya. “Iblis berkata: Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka (manusia) dibangkitkan.” Allah berfirman: “Sesungguhnya kamu termasuk yamg diberi tangguh.” (QS. Al-A’raf 7:14-15) Merujuk pada ayat ini, sejumlah ahli tafsir berpendapat bahwa usia jin akan lebih panjang dibandingkan manusia. Kalau kita cermati persamaan dan perbedaan antara jin dan manusia, ternyata persamaannya lebih banyak. Jadi, cukup logis kalau diantara manusia ada yang minta pertolongan kepada jin. “Dan bahwasannya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (Q.S.Al-Jin 72 : 6) Ayat ini dengan tegas menyebutkan siapa yang meminta pertolongan kepada jin, maka jin-jin itu menambah dosa dan kesalahan. Jadi hukumnya haram ninta tolong atau bekerja sama dengan jin walaupun untuk kebaikan.



Kesimpulannya, jin dan manusia merupakan mahluk Allah yang memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya lebih banyak ketimbang perbedaannya. Karena itu mungkin saja manusia melakukan kerjasama dengan jin, namun perbutan seperti ini hanya akan menambah dosa dan kesalahan. Jadi, cukup logis kalau para ulama salaf mengharamkannya walaupun untuk tujuan kebaikan. Wallahu A’lam.
Humas PI

Humas PI

PERCIKAN IMAN ONLINE DIGITAL - Ruko Komplek Kurdi Regency 33A Jl. Inhoftank, Pelindung Hewan Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40243 Telp. 08112216667 | info@percikaniman.org

Related Post

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Adakah persamaan antar Manusia dan Jin?

Imam Ar-Raghib Al Isfahani menyebutkan, kata jihad berasal dari kata juhd atau jahd. Juhd bermakna mengerahkan tenaga, usaha, atau kekuatan, dan jahd berarti kesungguhan dalam bekerja. Jadi, jihad secara bahasa bermakna mengerahkan segala usaha, tenaga, kemampuan, dan kesungguhan untuk mewujudkan suatu cita-cita. Dalam Al Qur’an, kata jihad disebut sekitar 30x. Al Qur’an menyebut jihad dalam dua pengertian; khusus dan umum.

Pengertian Khusus

Jihad dalam arti khusus adalah perang melawan musuh di medan pertempuran, redaksi lain menyebutkan berperang secara fisik melawan orang-orang kafir yang mengganggu Islam. Jihad dalam arti khusus selalu dikaitkan dengan peperangan, pertempuran, atau ekspedisi militer. Ustadz Ibnul Qayyim menyebutnya dengan istilah jihad muthlaq.

Ketika Rasulullah saw. berda’wah di Mekah -selama tiga belas tahun-, tidak diizinkan jihad dalam arti khusus (perang). Walaupun beliau dan para shahabat mengalami berbagai intimidasi atau penindasan, Allah swt. tetap menyuruhnya bersabar. Barulah setahun setelah hijrah ke Madinah diizinkan berjihad dalam arti khusus, berdasarkan perintah-Nya dalam surat Al Hajj: 39-40.

“Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka. Yaitu orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah” (Q.S. Al Hajj 22: 39-40). Ayat ini memberikan pengesahan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh-musuh Islam.

Mencermati Q.S. Al Baqarah 2:190-193, An-Nisa 4:75, dan At-Taubah 9:13-15, kita bisa memformulasikan bahwa perang itu diperbolehkan (1) Untuk mempertahan diri, kehormatan, harta, dan negara dari tindakan kesewenang- wenangan musuh [defensif]. (2) Untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. (3) Untuk membebaskan orang-orang tertindas.

Perang tidak dibenarkan untuk memaksakan ajaran Islam kepada orang lain sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Al Baqarah 2: 256 “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat….” Juga diharamkan berperang untuk tujuan perbudakan, penjajahan, dan perampasan harta. Dalam peperangan, haram hukumnya membunuh orang-orang yang tidak terlibat, seperti wanita, anak kecil, dan orang-orang udzur.

Para ulama mengemukakan, jihad dalam arti khusus (perang) hukumnya fardhu kifayah, artinya kewajiban yang bersifat kolektif, atau dengan kata lain kewajiban kepada semua orang yang dapat berperang, tetapi apabila sudah dilaksanakan sebagian umat Islam, kewajiban itu gugur bagi kaum muslimin lainnya. Allah swt. berfirman,

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan agama dan untuk memberikan peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (At-Taubah: 122)

Ayat ini menegaskan, tidak semua kaum muslimin harus pergi ke medan pertempuran, tapi harus ada orang-orang yang mengerjakan tugas lain; memperdalam ajaran-ajaran agama, menggelindingkan roda perekonomian, mengajar, menjalankan roda pembangunan, dll. Namun semua ahli sepakat, jihad dalam arti khusus (perang) bisa berubah menjadi fardhu ‘ain (kewajiban per individu) apabila wilayah Islam diintervensi/diinvasi musuh yang menurut perkiraan bisa menghancurkan kedaulatan negara Islam.

Orang-orang yang gugur dalam jihad (pertempuran) membela agama Allah diberi gelar syuhada. Dalam riwayat Bukhari disebutkan, para syuhada itu tidak dimandikan, tidak dishalatkan, dan tidak dikafani, langsung dikuburkan dengan pakaiannya yang berlumuran darah. Nabi saw. menyatakan, para syuhada akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan luka dan tetesan darahnya sebagai saksi pada hari penghisaban nanti.

Al Qur’an menyatakan, para syuhada itu tetap hidup di sisi Allah swt. dan diberi rizki oleh-Nya.

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka.” (Q.S. Ali-Imran 3:169-170). Mudah-mudahan Allah swt. menganugrahkan kesyahidan pada kita. Amiin.

Pengertian Umum     

Jihad dalam arti umum adalah jihad yang pengertiannya tidak hanya terbatas pada pertempuran, peperangan, dan ekspedisi militer, tetapi mencakup segala kegiatan dan usaha yang maksimal dalam da’wah, amar ma’ruf nahyi munkar demi li i’laa kalimatullahi hiyal ‘ulya (tegaknya agama Allah di muka bumi).

Dalam konteks ini, jihad tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, artinya kapanpun dan dimanapun kita wajib melaksanakannya secara berkesinambungan, sesuai dengan kadar dan kemampuan masing-masing. Hartawan bisa berjihad dengan hartanya, ilmuwan dapat berjihad dengan ilmunya, ibu rumah tangga berpeluang jihad dengan mendidik anak-anaknya agar menjadi anak yang saleh, dll.

Ustadz Ibnul Qayyim menyebutkan, jihad ditinjau dari segi pelaksanaanya terbagi pada tiga bagian; jihad muthlaq, jihad hujjah dan jihad ‘amm. Jihad muthlaq adalah jihad dalam arti khusus seperti telah dijelaskan di atas, yakni mengangkat senjata menghadapi gangguan orang-orang kafir.

Jihad hujjah adalah jihad menghadapi serangan orang-orang kafir dengan pendekatan intelektual, dengan mengemukakan argumentasi-argumentasi yang tak terbantahkan. Jihad seperti ini membutuhkan ilmu yang mendalam dan mumpuni, karenanya disebut juga dengan istilah jihad bil’ilmi wal bayan (lihat Q.S. Al Mujadilah 58: 11, Ali Imran 3:7, dan An-Nisa 4: 162). Ini merupakan lahan jihad yang pas untuk para ilmuawan atau peneliti.

Jihad ‘amm adalah jihad dalam bentuk pengorbanan harta, jiwa, tenaga, waktu, kedudukan, kesempatan, dll. Dikatakan ‘amm (umum) karena siapaun memiliki peluang masuk pada tataran jihad seperti ini. Seorang mahasiswa misalnya, ia bisa berjihad di kampus dengan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kerohanian yang bermanfaat untuk kawan-kawannya, mengajak teman-teman untuk mengikuti majelis-majelis ilmiah, dll.

Seorang karyawan di sebuah kantor bisa berjihad dengan menyelenggarakan kegiatan da’wah, shalat berjamaah, mengumpulkan zakat, infak, shadaqah, menyentuni kaum dhu’afa, dll. Bapak RT bisa berjihad dengan mangajak warganya menjaga kebersihan, memberantas kemaksiatan, dll. Seorang majikan bisa berjihad dengan menyuruh para pembantunya untuk shalat, mengaji, dll. Demikianlah contoh-contoh konkrit jihad ‘amm.

Allah swt. akan memberikan penghargaan yang tinggi kepada orang-orang yang mengisi hidupnya dengan jihad, baik jihad muthlaq, hujjah, ataupun ‘amm, sebagaimana firman-Nya,

“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah, dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat-Nya, keridhaan, dan syurga. Mereka memperoleh kesenangan yang abadi. Mereka kekal di dalamnya. Sesungguhnya di sisi Allahlah pahala yang besar.” (At-Taubah : 20-22)
Humas PI

Humas PI

PERCIKAN IMAN ONLINE DIGITAL - Ruko Komplek Kurdi Regency 33A Jl. Inhoftank, Pelindung Hewan Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40243 Telp. 08112216667 | info@percikaniman.org

Related Post

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *