Apa Hukum Menghadiri Selamatan?

Pada dasarnya seorang muslim wajib memenuhi undangan sebagaimana dijelaskan dalam riwayat berikut.

Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw., “Kewajiban seorang muslim terhadap muslim lainnya ada 6, di antaranya: Apabila bertemu, ucapkanlah salam, dan apabila kamu diundang, maka hadirilah undangannya, …” (H.R. Muslim)

Hadits ini tidak menyebutkan bentuk undangan yang harus dihadiri, apapun bentuknya boleh dihadiri; baik undangan pernikahan, syukuran, khitanan, dan lain-lain.

Namun, walaupun keterangan di atas tidak menyebutkan bentuk undangan yang wajib dihadiri, bukan berarti semua undangan boleh atau wajib dihadiri. Tentu saja memenuhi undangan yang mengandung unsur dosa dan maksiat hukumnya haram. Hal ini berdasarkan pada firman Allah swt.,

“. . . Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (Q.S. Al Maidah 5: 2)

Sekarang kita cermati, apakah selamatan kelahiran bayi 40 hari itu mengandung unsur-unsur yang haram atau tidak? Kalau dalam selamatan tersebut ada ritual agama orang lain yang dicampuradukkan dengan ajaran Islam, maka menghadiri selamatan tersebut hukumnya haram.

Tapi kalau dalam selamatan tersebut tidak mengandung hal-hal yang haram –malah mengandung unsur-unsur amal saleh–, misalnya ada ceramah, menyantuni fakir miskin, dll., menghadiri selamatan tersebut menjadi boleh bahkan wajib.

Lalu, bagaimana hukum memakan hidangan yang disajikan dalam selamatan tersebut? Itu tergantung selamatannya. Kalau selamatannya tidak mengandung unsur dosa, bahkan mengandung unsur-unsur amal saleh, hukum memakan makanan dalam selamatan tersebut adalah halal. Tapi kalau dalam selamatan tersebut ada unsur yang haram seperti mencampuradukkan ritual agama lain dengan agama Islam, memakan makanan dalam selamatan itu menjadi haram, karena dengan menyantap hidangannya berarti kita sudah menyetujui kemunkaran.

Padahal, kita disuruh menegakkan amar ma’ruf dan nahyi munkar. Kesimpulannya, menghadiri undangan dari sesama muslim hukumnya wajib selama acara dalam undangan tersebut tidak mengandung unsur dosa dan maksiat. Namun, kalau mengandung unsur dosa dan maksiat maka hukumnya menjadi haram. Menyantap makanan dalam undangan yang tidak mengandung unsur dosa hukumnya halal, sementara menyantap makanan dalam undangan yang mengandung unsur maksiat hukumnya haram karena hal itu berarti menyetujui kemunkaran, padahal setiap muslim wajib menolak kemunkaran. Wallahu A’lam.

Humas PI

Humas PI

PERCIKAN IMAN ONLINE DIGITAL - Ruko Komplek Kurdi Regency 33A Jl. Inhoftank, Pelindung Hewan Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40243 Telp. 08112216667 | info@percikaniman.org

Related Post

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Apa Hukum Menghadiri Selamatan?

Dalam Q.S. Al Baqarah ayat 282 terdapat keterangan yang sangat panjang mengenai cara berutang-piutang. Ayat ini merupakan ayat terpanjang dalam Al Qur’an.

Intinya, ayat ini memerintahkan kalau kita melakukan utang-piutang, hendaklah tertulis; tulis secara rinci kapan utang itu akan di bayar, bagaimana cara pembayarannya, dan kalau tidak bisa membayar sesuai waktu yang dijadwalkan apa konsekuensinya. Dalam proses penulisan utang-piutang ini harus ada saksi yang dinilai jujur.

Tujuannya, kalau salah satu dari mereka (yang berutang-piutang) lupa, bisa saling mengingatkan. Kalau terjadi perselisihan bisa merujuk pada perjanjian yang tertulis tersebut. Itu adalah ketentuan yang ideal, walaupun kita diperbolehkan melakukan transaksi utang-piutang tanpa ada bukti tertulis (bila satu sama lain saling percaya) dan yakin tidak akan jadi persoalan di kemudian hari.

Lalu pada ayat 283-nya disebutkan bahwa dalam utang-piutang boleh menggunakan agunan sebagai jaminan atau sebagai bukti i’tikad baik orang yang berutang bahwa dia benar-benar bertanggung jawab akan utangnya dan akan mengembalikan sesuai perjanjian.

“Dan jika kamu dalam bepergian dan tidak menemukan penulis, (hendaklah kamu) pegang barang-barang gadaian (sebagai jaminan)…” (Al-Baqarah 2:283)

Jadi, kalau ada orang yang mau meminjam sesuatu pada kita, lalu secara suka rela menawarkan jaminan (agunan) baik dalam bentuk benda ataupun surat berharga, silakan terima kalau kita menginginkannya. Tapi kalau tidak menginginkannya karena percaya pada orang tersebut, diperbolehkan untuk menolaknya.

Mencermati ayat di atas, kita juga diperbolehkan menetapkan agunan (meminta jaminan) kepada orang yang akan berutang. Karena itu dalam perbankan Islam ada persyaratan menyerahkan agunan/jaminan bagi nasabah yang akan meminjam dana.

Pada dasarnya, fungsi agunan adalah untuk menjaga kepastian bahwa yang berutang akan membayar sesuai perjanjian Bagaimana kalau jaminan tersebut kita manfaatkan? Pada prinsipnya, barang gadaian/jaminan bukan untuk digunakan oleh pihak yang memberi utang atau yang menerima gadaian, tetapi hanya untuk jaminan atas pinjaman.

Jadi, manfaat atau hasil dari barang yang digadaikan tetap menjadi milik penggadai. Namun, kalau ada persetujuan dari penghutang bahwa barang gadaian/ jaminan itu bisa dipergunakan, pemberi utang hukumnya mubah (boleh) menggunakan barang gadaian tersebut, dengan catatan seluruh biaya perawatan barang gadaian itu ditanggung oleh yang menggunakan barang.

Jadi, kalau Anda menerima motor sebagai agunan, dan penggadai itu rela motornya dimanfaatkan, Anda bertanggung jawab atas perawatannya (ganti olie, tune up, bahkan bayar pajaknya). Hal ini merujuk pada kasus yang terjadi pada zaman Rasulullah saw. Beliau membolehkan pemanfaatan barang gadaian berupa binatang tunggangan (unta, kuda, dll.) untuk diperah susunya, ditunggangi, dll. dengan catatan orang yang memanfaatkannya wajib memberi makan, minum, serta merawat binatang tersebut.



Silakan perhatikan keterangan berikut.
“Nabi saw. bersabda: Apabila binatang tunggangan (unta, kuda, dll. -pen) tergadai, boleh dinaiki (ditunggangi) dan susunya boleh diminum, dan wajib atas orang yang menunggang dan meminum susunya memberi makan (merawatnya).” (HR. Bukhari)

Apabila agunan tersebut barang produktif, hasilnya harus diberikan kepada pemilik agunan, tidak boleh menjadi milik pemberi utang. Misalnya, kita memberikan pinjaman, si peminjam mengagunkan sebuah angkot, lalu kita operasikan sehingga menghasilkan keuntungan. Nah, kita harus menyerahkan hasilnya itu kepada pemilik angkot, tentunya setelah dipotong biaya operasional.

Kesimpulannya, dalam berutang-piutang diperbolehkan adanya agunan sebagai jaminan. Agunan (barang gadaian) bukan untuk digunakan oleh pemberi pinjaman, tetapi sebagai jaminan atas pinjaman. Jadi, manfaat atau hasil dari barang yang digadaikan tetap menjadi milik penggadai. Namun, kalau ada persetujuan dari penghutang bahwa agunan itu dapat dipergunakan oleh pemberi pinjaman, hukumnya mejadi mubah (boleh) menggunakan barang gadaian tersebut, dengan catatan seluruh biaya perawatannya ditanggung oleh yang menggunakan agunan (barang gadaian) tersebut.

Wallahu A’lam.
Humas PI

Humas PI

PERCIKAN IMAN ONLINE DIGITAL - Ruko Komplek Kurdi Regency 33A Jl. Inhoftank, Pelindung Hewan Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40243 Telp. 08112216667 | info@percikaniman.org

Related Post

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *