Haji Mabrur adalah dambaan dan cita-cita setiap muslim yang melaksanakan haji. Setiap jamaah tentu mendambakan haji mabrur , karena balasan istimewa hidup di Syurga.
Persoalannya, apa hakikat haji mabrur dan apa indikator-indikatornya? Kata mabrur, seperti diterangkan Ibn Mandhur dalam Lisan al-Arab, mengandung dua makna. Pertama, mabrur berarti baik, suci, dan bersih. Jadi, haji mabrur adalah yang tak terdapat di dalamnya noda dan dosa — untuk jual beli berarti tak mengandung dusta dan penipuan. Kedua, mabrur berarti maqbul, artinya mendapat ridla Allah SWT. Ketiga, Mabrur diambil dari kata al birru (kebaikan). Dalam sebuah ayat Allah swt berfirman: “lantanalul birra hatta tunfiquu mimma tuhibbun. Kamu tidak akan mendapatkan kebajikan sehingga kamu menginfakkan sebagian apa yang kamu cintai”. QS.3:92. Ketika digandeng dengan kata haji maka ia menjadi sifat yang mengandung arti bahwa haji tersebut diikuti dengan kebajikan.
Tetapi pertanyaannya apa itu haji mabrur? Banyak orang menafsirkan bahwa haji mabrur adalah haji yang ditandai dengan kejadian-kejadian aneh dan luar biasa saat menjalani ibadah tersebut di tanah suci. Kejadian ini lalu direkam sebagai pengalaman ruhani, yang paling berkesan.
Bahkan kadang ketika ia sering menangis dan terharu dalam berbagai kesempatan itu juga dianggapnya sebagai tanda dari haji mabrur. Imam Al Ashfahani menyebutkan haji mabrur artinya haji yang diterima (maqbul) (lihat mufradat alfadzil Qur’an, h. 114).
Nah, yang paling bisa diterima adalah Mabrur adalah haji yang mengantarkan pelakunya menjadi lebih baik dari masa sebelumnya.
Dalam hadits Rasulullah: “Al hajjul mabrrur laisa lahuu jazaa illal jannah.” HR Bukhari, nampak titik temu yang saling melengkapi, bahwa haji mabrur akan selalui ditandai dengan perubahan dalam diri pelakunya dengan mengalirnya amal saleh yang tiada putus-putusnya. Bila setelah berhaji seseorang selalu berbuat baik, sampai ia menghadap Allah swt, maka insyaAllah telah mendapatkan kemabruran yang berujung diridhoi Allah untuk masuk syurga.
Lalu, siapa-siapa saja yang berhasil meraih haji mabrur? Boleh jadi jumlah mereka tak terlalu banyak. Berikut kisah perjalanan haji Ibnu Muwaffaq yang dikutip al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulum al-Din .
Diceritakan, ketika Ibnu Muwaffaq berada di suatu masjid di Mina, ia sempat tertidur sejenak. Dalam tidurnya, ia melihat dan mendengar dialog dua orang malaikat. Seorang bertanya kepada temannya, ”Berapa jumlah jamaah haji tahun ini?” ”Enam ratus ribu orang,” jawabnya. ”Berapa orang dari mereka yang hajinya maqbul?” tanyanya lagi. ”Enam orang saja,” kata temannya, singkat. Mendengar jawaban ini, Ibnu Muwaffaq terjaga. Gemetaran ia termenung sejenak, memikirkan betapa besarnya jumlah jamaah haji ketika itu, tetapi betapa sedikitnya jumlah mereka yang maqbul.
Berikut ini merupakan syarat-syarat jika ingin menggapai kemabruran dan ber-haji.
Pertama, Ilmu. Tidak hanya dikarenakan biaya dan energi yang tidak sedikit, tetapi memang semua amalan harus dengan ilmu. Sehingga kita tidak bingung, tidak ikut-ikutan dsb. Maka belajarlah, setelah mengerti baru laksanakan amalan tersebut.
Kedua, niat yang ikhlas karena Allah swt, bukan karena ingin dipuji orang dan berbangga-bangga dengan gelar haji. Seorang yang tidak ikhlas, Allah swt akan menolak amal tersebut sekalipun di mata manusia ia nampak mulia. Kalau perlu hilangkan budaya penambahan titel haji dalam nama, kecuali pemilik dapat bertahan untuk tidak sombong dan merasa lebih dari yang lain atau perasaam-perasaan buruk lainnya. Hilangkan istilah haji politik, haji karbitan (dengan niat lain) atau haji bisnis.
Ketiga, bekalnya harus halal. Haji yang dibekali dengan harta haram pasti Allah swt tolak. Rasulullah saw bersabda: “Sesunguhnya Allah baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Di akhir hadits ini Rasulullah menggambarkan seorang musafir sedang berdo’a tetapi pakaiannya dan makanannya haram, maka Allah tidak akan menerima doa tersebut.” HR. Muslim. Demikian juga ibadah haji yang dibekali dengan harta haram.
Keempat, istiqamah. Istiqamah artinya komitmen yang total untuk mentaati Allah swt dan tunduk kepada-Nya, bukan saja selama haji, melainkan kapan saja dan di mana saja ia berada. Haji tidak akan bermakna jika sekembalinya dari tanah suci, seorang tidak menyadari identitas kehambaanya kepada Allah swt. Tuntunan syetan kembali diagungkan. Merebut harta haram dan kemaksiatan menjadi kebiasaannya sehari-hari. Bila ini yang terjadi, bisa dipastikan bahwa hajinya tidak mabrur. Karena haji mabrur akan selalu diikuti dengan kebajikan. Perilakunya jelas tidak berwarna-warni seperti bunglon. Apa yang Allah swt haramkan senantiasa ia hindari, dan apa yang diwajibkan selalu ia tegakkan secara sempurna.
Meski orang yang meraih haji mabrur tak dapat diidentifikasi secara pasti, namun Rasulullah SAW pernah menunjukkan beberapa indikatornya. Ketika ditanya tentang kebaikan haji, beliau bersabda: Memberi makan dan bertutur kata yang baik.
Memberi makan di sini harus dipahami secara luas, yaitu kesediaan kita untuk berbagi rasa dengan sesama serta kesanggupan kita untuk menyumbangkan sebagian harta yang kita miliki untuk fakir miskin dan kaum dhu’afa. Sedang yang dimaksud bertutur kata yang baik, menurut Imam Ghazali, adalah berbudi luhur dan berakhlak mulia. Setiap pelaku haji, demikian Ghazali, harus memperhatikan betul soal akhlak ini, baik sewaktu berada di Tanah Suci maupun setelah kembali ke kampung halamannya. Inilah makna yang dapat dipahami dari ayat 197 surah al-Baqarah.
Kedua indikator yang disebut Nabi SAW di atas, berdimensi sosial. Ini berarti, haji yang mabrur pada hakikatnya adalah haji yang dapat membuat pelakunya semakin peduli terhadap persoalan-persoalan sosial dan kemanusiaan. Ia dan masyarakat memperoleh kebaikan dari ibadah haji yang dilakukannya. Karena itu, surga Allah memang pantas dan layak baginya
Terakhir, seseorang yang naik haji akan di sebut haji mabrur setelah ia nampak bahwa hidupnya lebih istiqamah dan kebajikannya selalu bertambah sampai ia menghadap Allah SWT.
Wallahu a’lam bishshawab.
Persoalannya, apa hakikat haji mabrur dan apa indikator-indikatornya? Kata mabrur, seperti diterangkan Ibn Mandhur dalam Lisan al-Arab, mengandung dua makna. Pertama, mabrur berarti baik, suci, dan bersih. Jadi, haji mabrur adalah yang tak terdapat di dalamnya noda dan dosa — untuk jual beli berarti tak mengandung dusta dan penipuan. Kedua, mabrur berarti maqbul, artinya mendapat ridla Allah SWT. Ketiga, Mabrur diambil dari kata al birru (kebaikan). Dalam sebuah ayat Allah swt berfirman: “lantanalul birra hatta tunfiquu mimma tuhibbun. Kamu tidak akan mendapatkan kebajikan sehingga kamu menginfakkan sebagian apa yang kamu cintai”. QS.3:92. Ketika digandeng dengan kata haji maka ia menjadi sifat yang mengandung arti bahwa haji tersebut diikuti dengan kebajikan.
Tetapi pertanyaannya apa itu haji mabrur? Banyak orang menafsirkan bahwa haji mabrur adalah haji yang ditandai dengan kejadian-kejadian aneh dan luar biasa saat menjalani ibadah tersebut di tanah suci. Kejadian ini lalu direkam sebagai pengalaman ruhani, yang paling berkesan.
Bahkan kadang ketika ia sering menangis dan terharu dalam berbagai kesempatan itu juga dianggapnya sebagai tanda dari haji mabrur. Imam Al Ashfahani menyebutkan haji mabrur artinya haji yang diterima (maqbul) (lihat mufradat alfadzil Qur’an, h. 114).
Nah, yang paling bisa diterima adalah Mabrur adalah haji yang mengantarkan pelakunya menjadi lebih baik dari masa sebelumnya.
Dalam hadits Rasulullah: “Al hajjul mabrrur laisa lahuu jazaa illal jannah.” HR Bukhari, nampak titik temu yang saling melengkapi, bahwa haji mabrur akan selalui ditandai dengan perubahan dalam diri pelakunya dengan mengalirnya amal saleh yang tiada putus-putusnya. Bila setelah berhaji seseorang selalu berbuat baik, sampai ia menghadap Allah swt, maka insyaAllah telah mendapatkan kemabruran yang berujung diridhoi Allah untuk masuk syurga.
Lalu, siapa-siapa saja yang berhasil meraih haji mabrur? Boleh jadi jumlah mereka tak terlalu banyak. Berikut kisah perjalanan haji Ibnu Muwaffaq yang dikutip al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulum al-Din .
Diceritakan, ketika Ibnu Muwaffaq berada di suatu masjid di Mina, ia sempat tertidur sejenak. Dalam tidurnya, ia melihat dan mendengar dialog dua orang malaikat. Seorang bertanya kepada temannya, ”Berapa jumlah jamaah haji tahun ini?” ”Enam ratus ribu orang,” jawabnya. ”Berapa orang dari mereka yang hajinya maqbul?” tanyanya lagi. ”Enam orang saja,” kata temannya, singkat. Mendengar jawaban ini, Ibnu Muwaffaq terjaga. Gemetaran ia termenung sejenak, memikirkan betapa besarnya jumlah jamaah haji ketika itu, tetapi betapa sedikitnya jumlah mereka yang maqbul.
Berikut ini merupakan syarat-syarat jika ingin menggapai kemabruran dan ber-haji.
Pertama, Ilmu. Tidak hanya dikarenakan biaya dan energi yang tidak sedikit, tetapi memang semua amalan harus dengan ilmu. Sehingga kita tidak bingung, tidak ikut-ikutan dsb. Maka belajarlah, setelah mengerti baru laksanakan amalan tersebut.
Kedua, niat yang ikhlas karena Allah swt, bukan karena ingin dipuji orang dan berbangga-bangga dengan gelar haji. Seorang yang tidak ikhlas, Allah swt akan menolak amal tersebut sekalipun di mata manusia ia nampak mulia. Kalau perlu hilangkan budaya penambahan titel haji dalam nama, kecuali pemilik dapat bertahan untuk tidak sombong dan merasa lebih dari yang lain atau perasaam-perasaan buruk lainnya. Hilangkan istilah haji politik, haji karbitan (dengan niat lain) atau haji bisnis.
Ketiga, bekalnya harus halal. Haji yang dibekali dengan harta haram pasti Allah swt tolak. Rasulullah saw bersabda: “Sesunguhnya Allah baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Di akhir hadits ini Rasulullah menggambarkan seorang musafir sedang berdo’a tetapi pakaiannya dan makanannya haram, maka Allah tidak akan menerima doa tersebut.” HR. Muslim. Demikian juga ibadah haji yang dibekali dengan harta haram.
Keempat, istiqamah. Istiqamah artinya komitmen yang total untuk mentaati Allah swt dan tunduk kepada-Nya, bukan saja selama haji, melainkan kapan saja dan di mana saja ia berada. Haji tidak akan bermakna jika sekembalinya dari tanah suci, seorang tidak menyadari identitas kehambaanya kepada Allah swt. Tuntunan syetan kembali diagungkan. Merebut harta haram dan kemaksiatan menjadi kebiasaannya sehari-hari. Bila ini yang terjadi, bisa dipastikan bahwa hajinya tidak mabrur. Karena haji mabrur akan selalu diikuti dengan kebajikan. Perilakunya jelas tidak berwarna-warni seperti bunglon. Apa yang Allah swt haramkan senantiasa ia hindari, dan apa yang diwajibkan selalu ia tegakkan secara sempurna.
Meski orang yang meraih haji mabrur tak dapat diidentifikasi secara pasti, namun Rasulullah SAW pernah menunjukkan beberapa indikatornya. Ketika ditanya tentang kebaikan haji, beliau bersabda: Memberi makan dan bertutur kata yang baik.
Memberi makan di sini harus dipahami secara luas, yaitu kesediaan kita untuk berbagi rasa dengan sesama serta kesanggupan kita untuk menyumbangkan sebagian harta yang kita miliki untuk fakir miskin dan kaum dhu’afa. Sedang yang dimaksud bertutur kata yang baik, menurut Imam Ghazali, adalah berbudi luhur dan berakhlak mulia. Setiap pelaku haji, demikian Ghazali, harus memperhatikan betul soal akhlak ini, baik sewaktu berada di Tanah Suci maupun setelah kembali ke kampung halamannya. Inilah makna yang dapat dipahami dari ayat 197 surah al-Baqarah.
Kedua indikator yang disebut Nabi SAW di atas, berdimensi sosial. Ini berarti, haji yang mabrur pada hakikatnya adalah haji yang dapat membuat pelakunya semakin peduli terhadap persoalan-persoalan sosial dan kemanusiaan. Ia dan masyarakat memperoleh kebaikan dari ibadah haji yang dilakukannya. Karena itu, surga Allah memang pantas dan layak baginya
Terakhir, seseorang yang naik haji akan di sebut haji mabrur setelah ia nampak bahwa hidupnya lebih istiqamah dan kebajikannya selalu bertambah sampai ia menghadap Allah SWT.
Wallahu a’lam bishshawab.
Dari Beberapa Sumber.