Apakah Pengertian Agama Islam itu?

Pengertian Islam bisa kita bedah dari dua aspek, yaitu aspek kebahasaan dan aspek peristilahan.

Dari segi kebahasaan, Islam berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata salima yang mengandung arti selamat, sentosa, dan damai.

Dari kata salima selanjutnya diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian. Oleh sebab itu orang yang berserah diri, patuh, dan taat kepada Allah swt. disebut sebagai orang Muslim.

Dari uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kata Islam dari segi kebahasaan mengandung arti patuh, tunduk, taat, dan berserah diri kepada Allah swt. dalam upaya mencari keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Hal itu dilakukan atas kesadaran dan kemauan diri sendiri, bukan paksaan atau berpura-pura, melainkan sebagai panggilan dari fitrah dirinya sebagai makhluk yang sejak dalam kandungan telah menyatakan patuh dan tunduk kepada Allah. Adapun pengertian Islam dari segi istilah, banyak para ahli yang mendefinisikannya; di antaranya Prof. Dr. Harun Nasution.

Ia mengatakan bahwa Islam menurut istilah (Islam sebagai agama) adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad saw. sebagai Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenal satu segi, tetapi menganal berbagai segi dari kehidupan manusia. Sementara itu Maulana Muhammad Ali mengatakan bahwa Islam adalah agama perdamaian; dan dua ajaran pokoknya, yaitu keesaan Allah dan kesatuan atau persaudaraan umat manusia menjadi bukti nyata bahwa agama Islam selaras benar dengan namanya.

Islam bukan saja dikatakan sebagai agama seluruh Nabi Allah, sebagaimana tersebut dalam Al Qur’an, melainkan pula pada segala sesuatu yang secara tak sadar tunduk sepenuhnya pada undang-undang Allah. Di kalangan masyarakat Barat, Islam sering diidentikkan dengan istilah Muhammadanism dan Muhammedan. Peristilahan ini timbul karena pada umumnya agama di luar Islam namanya disandarkan pada nama pendirinya.

Di Persia misalnya ada agama Zoroaster. Agama ini disandarkan pada nama pendirinya, Zarathustra (W.583 SM). Agama lainnya, misalnya agama Budha, agama ini dinisbahkan kepada tokoh pendirinya, Sidharta Gautama Budha (lahir 560 SM).

Demikian pula nama agama Yahudi yang disandarkan pada orang-orang Yahudi (Jews) yang berasal dari negara Juda (Judea) atau Yahuda. Penyebutan istilah Muhammadanism dan Muhammedan untuk agama Islam, bukan saja tidak tepat, akan tetapi secara prinsip hal itu merupakan kesalahan besar.

Istilah tersebut bisa mengandung arti bahwa Islam adalah paham Muhammad atau pemujaan terhadap Muhammad, sebagaimana perkataan agama Budha yang mengandung arti agama yang dibangun oleh Sidharta Gautama Budha atau paham yang berasal dari Sidharta Gautama.

Analogi nama dengan agama-agama lainnya tidaklah mungkin bagi Islam. Berdasarkan keterangan tersebut, Islam menurut istilah mengacu kepada agama yang bersumber pada wahyu yang datang dari Allah swt, bukan berasal dari manusia/Nabi Muhammad saw. Posisi Nabi dalam agama Islam diakui sebagai orang yang ditugasi Allah untuk menyebarkan ajaran Islam tersebut kepada umat manusia. Dalam proses penyebaran agama Islam, nabi terlibat dalam memberi keterangan, penjelasan, uraian, dan tata cara ibadahnya.

Keterlibatan nabi ini pun berada dalam bimbingan wahyu Allah swt. Dengan demikian, secara istilah, Islam adalah nama agama yang berasal dari Allah swt. Nama Islam tersebut memiliki perbedaan yang luar biasa dengan nama agama lainnya. Kata Islam tidak mempunyai hubungan dengan orang tertentu, golongan tertentu, atau negeri tertentu.

Kata Islam adalah nama yang diberikan oleh Allah swt. Hal itu dapat dipahami dari petunjuk ayat-ayat Al Qur’an yang diturunkan Allah swt. Selanjutnya, dilihat dari segi misi ajarannya, Islam adalah agama sepanjang sejarah manusia. Agama dari seluruh Nabi dan Rasul yang pernah diutus oleh Allah swt. pada berbagai kelompok manusia dan berbagai bangsa yang ada di dunia ini.

Islam adalah agama Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Yakub, Nabi Musa, Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Isa, Nabi Muhammad saw. Dengan kata lain, seluruh Nabi dan Rasul beragama Islam dan mengemban risalah menyampaikan Islam. Hal itu dapat dipahami dari ayat-ayat yang terdapat di dalam Al Qur’an yang menegaskan bahwa para Nabi tersebut termasuk orang yang berserah diri kepada Allah.

Kesimpulannya, Islam secara bahasa berarti tunduk, patuh, dan damai. Sedangkan menurut istilah, Islam adalah nama agama yang diturunkan Allah untuk membimbing manusia ke jalan yang benar dan sesuai fitrah kemanusiaan. Islam diturunkan bukan kepada Nabi Muhammad saja, tapi diturunkan pula kepada seluruh nabi dan rasul. Sesungguhnya seluruh nabi dan rasul mengajarkan Islam kepada umatnya. Wallahu A’lam.

Humas PI

Humas PI

PERCIKAN IMAN ONLINE DIGITAL - Ruko Komplek Kurdi Regency 33A Jl. Inhoftank, Pelindung Hewan Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40243 Telp. 08112216667 | info@percikaniman.org

Related Post

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Apakah Pengertian Agama Islam itu?

Adopsi artinya pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri, dalam bahasa Arab disebut At-tabanni. Pada tataran praktis ada dua macam pengangkatan anak (adopsi).

Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang tanpa diberi hak-hak sebagai anak kandung, ia hanya diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri. Para ulama sependapat mengadopsi anak dengan cara seperti ini tidak dilarang oleh agama, bahkan kalau dilakukan dengan niat yang ikhlas akan menjadi amal shaleh.

Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri serta diberi hak-hak sebagai anak kandung, sehingga ia memamakai nama keturunan (nasab) orang tua angkatnya, saling mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak lainnya persis seperti anak kandungnya.

Cara seperti ini hukumnya haram sebagaimana difirmankan Allah swt., “…dan tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanya perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka panggillah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama…” (QS. Al Ahzab 33:4-5)

Para ahli tafsir menyebutkan, awalnya ayat ini berkaitan dengan kasus anak angkat Rasul saw. yaitu Zaid bin Haritsah. Kata imam Al-Qurthubi, sebelum kenabian, Rasulullah saw. pernah mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi anak angkatnya, beliau tidak memanggil Zaid dengan nama ayahnya (Haritsah) tetapi ditukar dengan nama Zaid bin Muhammad.



Pengangkatan Zaid sebagai anaknya diumumkan Rasulullah saw. di depan kaum Kuraisy. Nabi saw. juga menyatakan bahwa dirinya dan Zaid saling mewarisi. Setelah Rasulullah saw. diangkat menjadi Rasul, turunlah surat Al Ahzab ayat 4-5 ini, yang salah satu intinya melarang pengangkatan anak seperti diatas (saling mewarisi dan memanggilnya sebagai anak kandung).

Imam Al-Qurthubi menyatakan bahwa kisah di atas sebagai latar belakang turunnya ayat tersebut. Berdasarkan analisis di atas, apabila kita mengadopsi anak orang lain untuk dicintai, diasuh, dididik, dibesarkan sebagaimana membesarkan anak sendiri, dan tidak memutuskan silaturahmi dengan orang tua kandungnya, serta tetap diberi status sebagai anak angkat, hukumnya mubah (boleh) bahkan bernilai ibadah kalau dilakukan dengan ikhlas lillahi ta’ala.

Namun, jika kita mengadopsinya dengan memberi status sebagai anak kandung yang bisa saling mewarisi, bahkan memutuskan silaturahmi dengan orang tua kandungnya (dirahasiakan siapa orang tua kandungnya), hukumnya haram. Persoalan sensitif yang sering terjadi dalam kasus adopsi adalah masalah warisan. Menurut hukum Islam, antara anak angkat dan orang tua tidak bisa saling mewarisi.

Alasannya, menurut para ahli hukum Islam ada tiga sebab seseorang bisa saling mewarisi. Pertama, al-qarabah (seketurunan/hubungan darah), kedua, al-mushaharah (karena hasil perkawinan yang sah), dan ketiga al-‘itqu (hubungan perwalian antara hamba sahaya dan wali yang memerdekakannya).

Status anak angkat tidak masuk pada salah satu dari tiga sebab ini, maka disimpulkan bahwa anak angkat tidak bisa saling mewarisi dengan orang tua angkatnya. Anak angkat bisa menerima harta dari orang tua angkatnya melalui dua cara.

Pertama, melalui hibah, yaitu pemberian mutlak dari orang tua angkat kepada anak angkat sehingga harta yang dihibahkan menjadi milik mutlak anak angkatnya. Jumlah hibah tidak dibatasi, berapapun bisa dihibahkan asal tidak menimbulkan kecemburuan dari keluarga lainnya, artinya harus bersikap adil. Kedua, melalui wasiat, yaitu pesan penyerahan/pemberian harta secara sukarela dari seseorang kepada pihak lain (dalam konteks ini orang tua angkat kepada anak angkatnya) yang berlaku setelah orang itu wafat. Jadi, wasiat itu baru berlaku kalau orang yang berwasiatnya sudah wafat.

Adapun jumlah wasiat, Para ulama sepakat berdasarkan hadits Nabi saw. bahwa batas maksimal harta yang boleh diwasiatkan adalah sepertiganya. Persoalan berikutnya menyangkut nama nasab dalam akte kelahiran atau ijazah. Banyak kasus, orang tua angkat menggantikan nama orang tua kandung anak angkatnya. Misalnya, kita punya anak angkat bernama Yayat, nama orang tua kandungnya Hidayat, sedangkan orang tua angkatnya bernama Kusnadi.

Seharusnya di akte kalahiran Yayat bin Hidayat, karena Hidayat ayah kandungnya. Namun kenyataannya, namanya menjadi Yayat bin Kusnadi. Nah, cara seperti ini dilarang dalam Islam seperti diterangkan pada ayat di atas. Bagaimana kalau sudah telanjur? Bertaubat saja kepada Allah.Bukankah Allah swt. itu Maha Pengampun dan Penerima taubat? Bila anak angkat sudah dewasa, kita sebagai orang tua angkat harus berani menjelaskan duduk persoalannya kepadanya agar terhindar dari murka Allah.

Lalu, bagaimana kalau tidak diketahui ayah kandungnya padahal nama ayah harus tercantum di akte kelahiran atau ijazahnya? Kalau kasusnya seperti ini, nggak masalah nama ayah angkatnya tercantum dalam akte. Namun tetap, suatu saat kalau anak itu sudah dewasa harus dijelaskan bahwa dia adalah anak angkat. Memang akan menyakitkan bagi anak dan orang tua angkat, namun inilah ketentuan Allah swt. yang harus kita laksanakan.

Kesimpulannya, kita diperbolehkan mengadopsi anak untuk ikut mencintai, mendidik, dan membesarkannya dengan tidak memutuskan hubungan silaturrahmi dengan orang tua kandungnya, serta tetap menempatkannya sebagai anak angkat dalam hak waris, nasab, dll., dan haram mengadopsi anak dengan memberikan hak-hak anak kandung kepadanya. Wallahu a’lam.
Humas PI

Humas PI

PERCIKAN IMAN ONLINE DIGITAL - Ruko Komplek Kurdi Regency 33A Jl. Inhoftank, Pelindung Hewan Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40243 Telp. 08112216667 | info@percikaniman.org

Related Post

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *