Ahnaf bin Qais berkata, “Aku pernah mendengar khotbah Abu Bakar, Usman, dan Ali. r.a. serta para khalifah setelah mereka. Namun aku tidak pernah mendengar ucapan dari mulut satu mahluk pun yang terindah dan menarik selain dari mulut Aisyah r.a.”. (HR. Tirmidzi)
Musa bin Thalhah berujar: “Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih fasih bicaranya daripada Aisyah”. (HR. Tirmidzi)
Muawiyyah berkomentar: “Demi Allah aku tidak menemukan seorang khatib pun yang kata-katanya lebih fasih dan lebih menggugah hati dari pada Aisyah r.a.” (HR. Tirmidzi)
Ketiga keterangan ini menjadi bukti bahwa Aisyah r.a. menjadi guru untuk para shahabat dan tentu saja para shahabat bisa berkomentar tentang keindahan tutur kata Aisyah r.a. karena mereka bisa mendengar nasihat-nasihatnya. Seandainya suara wanita itu aurat, tidak mungkin Aisyah r.a. berani menyampaikan ceramah atau nasihatnya kepada para shahabat. Untuk lebih jelas, mari kita simak ayat berikut.
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu tentang suaminya, dan mengadukan halnya kepada Allah. Dan Allah mendengar tanya-jawab (dialog) antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Al-Mujadilah 58:1)
Ayat ini turun berkaitan dengan seorang perempuan bernama Khaulah binti Tsa’labah yang merasa dizalimi suaminya. Ia meminta fatwa kepada Nabi saw. tentang statusnya, apakah jatuh cerai atau tidak. Sebagai Jawaban dari pengaduannya turun surat Al Mujadilah ini. Yang menjadi fokus perhatian kita dari ayat ini adalah kalimat “Dan Allah mendengar tanya-jawab (dialog) kamu berdua”.
Logikanya, kalau terjadi dialog , dipastikan Rasul saw. mendengar suara Khaulah. Dan kalau suara wanita itu aurat, mana mungkin Rasul saw. mau mendengarnya. Mencermati alasan-lasan di atas, bisa disimpulkan bahwa suara wanita bukanlah aurat. Wanita boleh menjadi guru atau dosen seperti halnya Aisyah menjadi guru untuk para shahabat. Laki-laki boleh mendengarkan suara wanita seperti halnya Rasulullah saw. mendengarkan keluhan Khaulah. Wallahu A’lam.
Musa bin Thalhah berujar: “Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih fasih bicaranya daripada Aisyah”. (HR. Tirmidzi)
Muawiyyah berkomentar: “Demi Allah aku tidak menemukan seorang khatib pun yang kata-katanya lebih fasih dan lebih menggugah hati dari pada Aisyah r.a.” (HR. Tirmidzi)
Ketiga keterangan ini menjadi bukti bahwa Aisyah r.a. menjadi guru untuk para shahabat dan tentu saja para shahabat bisa berkomentar tentang keindahan tutur kata Aisyah r.a. karena mereka bisa mendengar nasihat-nasihatnya. Seandainya suara wanita itu aurat, tidak mungkin Aisyah r.a. berani menyampaikan ceramah atau nasihatnya kepada para shahabat. Untuk lebih jelas, mari kita simak ayat berikut.
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu tentang suaminya, dan mengadukan halnya kepada Allah. Dan Allah mendengar tanya-jawab (dialog) antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Al-Mujadilah 58:1)
Ayat ini turun berkaitan dengan seorang perempuan bernama Khaulah binti Tsa’labah yang merasa dizalimi suaminya. Ia meminta fatwa kepada Nabi saw. tentang statusnya, apakah jatuh cerai atau tidak. Sebagai Jawaban dari pengaduannya turun surat Al Mujadilah ini. Yang menjadi fokus perhatian kita dari ayat ini adalah kalimat “Dan Allah mendengar tanya-jawab (dialog) kamu berdua”.
Logikanya, kalau terjadi dialog , dipastikan Rasul saw. mendengar suara Khaulah. Dan kalau suara wanita itu aurat, mana mungkin Rasul saw. mau mendengarnya. Mencermati alasan-lasan di atas, bisa disimpulkan bahwa suara wanita bukanlah aurat. Wanita boleh menjadi guru atau dosen seperti halnya Aisyah menjadi guru untuk para shahabat. Laki-laki boleh mendengarkan suara wanita seperti halnya Rasulullah saw. mendengarkan keluhan Khaulah. Wallahu A’lam.