Apasaja Makna-makna Ketauhidan?

Ustadz Ibnu Katsir dalam Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir, jilid 3, hal 696, menjelaskan, “Ayat satu sampai tiga dari surat An-Nas, yaitu Qul A’udzu birabbinnas, malikinnas, ilaahinnas, menegaskan tiga aspek ketauhidan yang paling fundamental, yaitu Tauhid Rububiyyah, Mulkiyyah, dan Uluhiyyah”.

Tauhid Rububiyyah
terambil dari kalimat Rabbinnas. Maknanya, yakin hanya Allah satu-satunya yang Maha Pencipta, Pemilik, Pengendali alam raya, dan dengan kekuasaan-Nya Ia menghidupkan dan mematikan. Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rizki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali)… (Q.S. Ar-Rum 30 : 40)

Tauhid Mulkiyyah terambil dari kalimat Malikinnas. Maknanya, yakin hanya Allah swt. raja atau penguasa yang sesungguhnya, penguasa yang paling berhak menentukan aturan hidup. Aturan hidup-Nya termaktub dalam Al Qur’an dan sunah Rasul.

Jadi, kalau kita mau mempelajari dan mengamalkan aturan hidup itu, berarti kita telah melaksanakan Tauhid Mulkiyyah. Allah swt. mengecam orang-orang yang tidak mengimplementasikan Tauhid Mulkiyyah dalam kehidupannya, “Apakah hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Q.S. Al Maidah 5: 50)

Ustadz Sayyid Qutub menjelaskan, yang dimaksud hukum jahiliyyah adalah aturan hidup atau hukum produk manusia yang berseberangan atau bertentangan dengan nilai-nilai Qur’ani. Misalnya, saat pembagian waris kita lebih suka menggunakan hukum waris adat ketimbang hukum waris Islam, padahal hukum waris adat banyak yang bertentangan dengan ajaran Islam. Ini kan pelanggaran terhadap tauhid mulkiyyah.

Adapun hukum atau aturan buatan manusia yang tidak bertentangan atau sejalan dengan nilai-nilai Islam, tentu tidak disebut hukum jahiliyyah, dan kita pun wajib menaatinya untuk kemashlahatan. Misalnya kita harus menghentikan kendaraan bila lampu merah menyala, aturan ini harus kita taati karena tidak menyalahi aturan Islam dan bermanfaat untuk kemaslahatan.

Saat ujian kita tidak boleh nyontek, ini aturan yang wajib ditaati karena senafas dengan ajaran Islam yang menekankan kejujuran dalam segala hal. Tauhid Uluhiyyah terambil dari kalimat Ilaahinnas. Maknanya, suatu keyakinan bahwa hanya Allah swt. yang paling berhak untuk diibadahi. “Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepada mereka bahwa tiada Tuhan selain Aku, maka beribadahlah hanya kepada-Ku.” (Q.S. Al Anbiya 21: 25) Kalau kita cermati, sesungguhnya kaum jahiliyyah yang menentang dakwah Rasul memiliki tauhid rububiyyah, mari simak ayat berikut, “Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi serta menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab “Allah”, maka bagaimana mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar). (Q.S. Al-Ankabut 29: 61)

Menurut ayat ini, mereka yakin kalau Allah itu yang menciptakan langit dan bumi serta mengatur peredaran alam semesta. Ini indikator tauhid rububiyyah, namun mereka tidak memiliki tauhid uluhiyyah. Orang yang punya tauhid rububiyyah belum tentu memiliki tauhid uluhiyyah. Mari kita proyeksikan analisis ini pada kehidupan kita. Kalau kita bertanya, “Apa kamu yakin Allah yang menciptakan dan memberi rizki serta kehidupan kepadamu?” Jawabnya, “Ya saya yakin.” Ini adalah tauhid rububiyyah. Tapi kenyataannya, yang disembah bukan Allah, tapi kedudukan dan harta. Artinya, tidak jarang orang meninggalkan shalat karena sibuk rapat, menyogok supaya dapat tender, menghalalkan segala cara demi kedudukan, dll. Kalau sudah begini, berarti yang menjadi Tuhannya bukan Allah, tapi harta dan kedudukan.

Dahulu, Tuhan orang-orang jahiliah adalah berhala, dan orang sekarang Tuhannya adalah kedudukan dan harta. Ini merupakan gambaran bahwa banyak umat Islam yang memiliki tauhid rububiyyah namun tidak punya tauhid uluhiyyah. Sungguh tragis! Nah, ayat satu sampai tiga dari surat An-Nas mengingatkan bahwa tauhid rububiyyah, mulkiyyah, dan uluhiyyah harus kita miliki seluruhnya agar ketauhidan itu sempurna. Kesimpulannya, Tauhid Rububiyyah maknanya suatu keyakinan bahwa hanya Allah swt. satu-satunya Yang Maha Pencipta dan Pengatur.

Tauhid Mulkiyyah maknanya suatu keyakinan bahwa hanya Allah swt. yang memiliki hak untuk memberikan aturan atau hukum dalam hidup ini, aturan-Nya itu termaktub dalam Al Qur’an dan Sunah. Dan Tauhid Uluhiyyah maknanya suatu keyakinan bahwa hanya Allah swt. yang paling berhak diibadahi dan diberi loyalitas. Wallahu A’lam.

images/banner/banner-mjlh.gif

Humas PI

Humas PI

PERCIKAN IMAN ONLINE DIGITAL - Ruko Komplek Kurdi Regency 33A Jl. Inhoftank, Pelindung Hewan Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40243 Telp. 08112216667 | info@percikaniman.org

Related Post

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Apasaja Makna-makna Ketauhidan?

Untuk kondisi Anda, tentu saja dibenarkan. Pada zaman Rasulullah saw. ada sejumlah shahabat yang melakukan shalat secara sembunyi-sembunyi untuk menyelamatkan diri dari penindasan kafir Quraisy.

Hudzaifah berkata: Suatu ketika kami berkumpul dengan Rasulullah saw. Lalu Nabi saw. bersabda, “Coba kamu hitung berapa jumlah umat Islam sekarang!” Kami menjawab : “Apakah engkau khawatir ya Rasulullah? Jumlah kami sekitar 700 orang”. Nabi Bersabda: “Kalian belum tahu, kalau suatu ketika akan terjadi cobaan.” Khudzaifah berkata : “Benar juga sabda Rasulullah saw. Nyatanya kami benar-benar mendapat cobaan, sehingga kami tidak dapat shalat melainkan dengan cara sembunyi-sembunyi”. (HR. Muslim No. 122)

Merujuk pada keterangan ini, kita bisa simpulkan bahwa shalat secara sembunyi-sembunyi diperbolehkan kalau situasi dan kondisi tidak memungkinkan untuk melaksanakannya secara terang-terangan. Wallahu A’lam.
Humas PI

Humas PI

PERCIKAN IMAN ONLINE DIGITAL - Ruko Komplek Kurdi Regency 33A Jl. Inhoftank, Pelindung Hewan Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40243 Telp. 08112216667 | info@percikaniman.org

Related Post

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *