Bagaiman Hukum Onani atau Masturbasi?

Masturbasi atau onani adalah pemuasan kebutuhan seksual dengan merangsang organ-organ sensitif (terutama alat kelamin) sendiri dengan tangan atau alat-alat.

Istilah fiqih untuk masturbasi adalah Istimna.

Imam Malik dan Syafi’i mengharamkan masturbasi dengan merujuk pada ayat berikut.
“Sungguh beruntung orang-orang beriman. (QS. Al-Mukminun 23:1)

“(yaitu) orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali untuk pasangannya (suami/isterinya)…” (QS. Al-Mukminun 23: 5-6)

“Barangsiapa yang mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melewati batas”. (QS. Al-Mukminun 23: 7)

“Barangsiapa yang mencari di balik itu.” Maksudnya adalah yang mencari kepuasan seksual bukan dengan isteri/suaminya, tapi dengan cara yang lain seperti homoseks, masturbasi, lesbi, dll., maka itu adalah perbuatan yang melewati batas alias haram. Inilah yang menjadi landasan Imam Syafi’i dan Imam Malik mengharamkan masturbasi atau onani.

Namun, sebagian ulama dari Mazhab Hanafi dan Hanbali mempunyai pendapat yang lebih longgar (moderat). Menurut mereka, masturbasi secara prinsip hukumnya terlarang/haram, namun apabila dorongan seksual seseorang sangat tinggi padahal belum mampu menikah dan kalau dorongan seksual tersebut tidak disalurkan akan membawa pada dosa yang lebih besar yaitu zina, maka dalam kondisi seperti ini masturbasi atau onani hukumnya menjadi mubah atau diperbolehkan.

Inilah yang disebut akhaffu dhararain (melaksanakan yang paling minimal madharatnya, dengan kata lain daripada terjerumus pada zina lebih baik melakukan masturbasi).

Imam Ibnu Hazm (salah seorang tokoh mazhab Dhahiri) berpendapat bahwa hukum masturbasi adalah makruh, artinya bila ditinggalkan mendapat pahala dan bila dikerjakan tidak berdosa. Ia mendasarkan pendapatnya pada firman Allah swt.,
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu…” (QS. Al Baqarah 2:29).

Oleh karena itu Ibnu Hazm memandang makruh mencari kesenangan dengan cara masturbasi karena untuk melakukannya tidak melibatkan orang lain. Secara umum Allah swt. telah menciptakan segala sesuatu dengan fitrahnya. Salah satu fitrah manusia adalah memenuhi kebutuhan seksual.

Dalam memenuhi kebutuhan seksual, bagi yang telah menikah dilakukan dengan isteri atau suaminya. Namun bagi yang belum mampu menikah –padahal dorongan seksualnya sangat kuat– maka boleh melakukannya sendirian alias masturbasi.

Demikian di antara pendapat Ibnu Hazm. Ibnu Abbas r.a. (seorang shahabat Rasulullah saw.) membolehkan masturbasi dengan alasan, karena sejumlah shahabat pernah melakukan masturbasi saat peperangan (jauh dari keluarga) dan Rasulullah saw. tidak melarangnya. Pendapat yang senada juga dikemukan oleh Ibnu Abbas.

Kesimpulannya, kalau kita ingin menjadi orang beriman yang mendapat kebahagiaan, jagalah kemaluan dan kehormatan. Bagi yang sudah menikah, penuhilah kebutuhan seksual dengan pasangannya. Namun bagi yang belum mampu menikah, akan lebih mulia dan terhormat dalam pandangan Allah swt. apabila bisa menjaga kemaluan dengan cara bertaqarrub diri (mendekatkan diri) kepada-Nya, misalnya dengan memperbanyak shaum sunah atau ibadah-ibadah lainnya.

Namun kalau kita sudah melakukan itu semua, ternyata dorongan seksual tetap menggebu-gebu hingga bisa menghantarkan pada dosa besar yaitu zina, dalam kondisi ini diperbolehkan melakukan masturbasi yang tujuannya hanya sekedar untuk meredakan gejolak syahwat. Wallahu A’lam.
Humas PI

Humas PI

PERCIKAN IMAN ONLINE DIGITAL - Ruko Komplek Kurdi Regency 33A Jl. Inhoftank, Pelindung Hewan Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40243 Telp. 08112216667 | info@percikaniman.org

Related Post

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Bagaiman Hukum Onani atau Masturbasi?

Silakan perhatikan ayat berikut, ”Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.” (Q.S. Muhammad 47: 19)

Kalimat Maka ketahuilah… mengisyaratkan bahwa ilmu harus menjadi landasan amal. Atau dengan kata lain, ilmu harus lebih dahulu dibandingkan amal. Penafsiran ini dikuatkan dengan ayat yang pertama kali turun kepada Nabi saw. yaitu, ”Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan… ” (Q.S. Al ’Alaq 96: 1).

Ilmu akan mengantarkan kita pada jalan kebaikan. Rasulullah saw. Bersabda, ”Barangsiapa yang menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu. Niscaya Allah akan mudahkan jalan menuju surga” (HR. Abu Daud)

Ilmu berfungsi sebagai pemandu bagi amal. Amal yang tidak berlandaskan ilmu, kemungkinan besar tertolak, sebagaimana disabdakan Rasul saw., ”Siapa yang beramal tapi tidak seperti yang aku perintahkan, maka amalnya tertolak.” Ini isyarat, betapa pentingnya ilmu dalam suatu amal.

Selain ilmu, ada satu lagi yang harus diperhatikan dalam beramal, yaitu ikhlas. Perhatikan ayat berikut, ”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah (beribadah) dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Q.S. Al Bayyinah 98: 5). Maksud … dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya …, yakni suatu ibadah atau amal harus dilandasi keikhlasan, artinya hanya mengharap rido Allah swt.

Jangan lupa, kalau kita hanya bergelut dengan ilmu tetapi miskin dengan amal, itulah yang disebut ilmu yang tidak bermanfaat. Karena itu, walau ilmu harus kita prioritaskan, namun jangan hanya sampai disitu, kita harus berusaha untuk mengamalkan ilmu. Jadi, antara ilmu dan amal terjadi keseimbangan. Rasulullah saw. mengajarkan sejumlah doa agar kita diberi ilmu yang bermanfaat, di antaranya, ”Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat.” (H.R. Muslim). ”Ya Allah, berikanlah manfaat kepadaku atas apa yang telah Engkau ajarkan kepadaku. Serta ajarkanlah kepadaku apa-apa yang bermanfaat bagiku, dan tambahkanlah ilmu kepadaku”. (HR. Tirmidzi)

Malik bin Dinar mengatakan, ”Jika seseorang mencari ilmu untuk diamalkan, maka ilmu tersebut akan membahagiakan dirinya. Sedangkan jika dia mencari ilmu bukan untuk diamalkan, maka ilmu tersebut akan membawanya pada kesombongan.” Semoga Allah swt. melindungi kita dari ilmu yang tidak diamalkan. Amin. Wallahu A’lam.
Humas PI

Humas PI

PERCIKAN IMAN ONLINE DIGITAL - Ruko Komplek Kurdi Regency 33A Jl. Inhoftank, Pelindung Hewan Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40243 Telp. 08112216667 | info@percikaniman.org

Related Post

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *