Objek yang dituju dalam melaksanakan shalat hanyalah Allah swt. Jadi, kita bukan menyembah Ka’bah, tetapi menyembah Allah swt. Fungsi Ka’bah hanya menjadi titik kesatuan arah dalam shalat. Pada prinsipnya, kita diperintahkan untuk menghadap kiblat (arah Ka’bah) saat shalat, baik shalat wajib ataupun sunah. Hal ini berdasarkan firman Allah swt.
“…Hadapkan mukamu ke Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya…”(QS. Al-Baqarah 2:144)
“Abi Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Apabila kamu akan melaksanakan shalat, sempurnakan wudhumu, kemudian menghadap ke kiblat, lalu bertakbir.” (H.R.Muslim)
Namun, apabila tidak memungkinkan menghadap kiblat, misalnya karena tidak tahu arah seperti yang Anda alami, atau saat shalat di kendaraan, atau ketika shalat sambil berbaring karena sakit, kemana saja kita menghadap dinilai telah menghadap arah kiblat, sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut.
“Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah maha luas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui.” (QS.Al-Baqarah 2:115)
Jabir memaparkan latar belakang turunnya ayat ini, “Kami telah di utus Rasulullah saw. ke Syria. Saat di tengah perjalanan, kegelapan menyelimuti kami sehingga tidak tahu arah kiblat.” Segolongan di antara kami berkata, “Kami telah mengetahui arah kiblat yaitu di sana, arah utara!” Sebagian kami berkata:, “Arah kiblat di sana, arah selatan!” Dan mereka membuat garis di tanah. Tatkala matahari terbit, ternyata garis itu tidak mengarah ke kiblat. Maka ketika kembali dari perjalanan, kami tanyakan kepada Rasulullah saw. tentang peristiwa itu, Nabi saw diam hingga turunlah ayat ini (Al-Baqarah 2:115).”
Merujuk pada ayat ini para ahli menyimpulkan, apabila kita tidak mengetahui arah kiblat, kita diperbolehkan shalat menghadap ke arah mana saja yang diyakini sebagai kiblat. Jika ternyata arah kiblat itu salah, shalatnya tetap sah, tidak perlu diulangi lagi. Wallahu A’lam.