Agama Islam memandang masalah kufu’ dalam pernikahan artinya selevel, kesepadanan, sederajat atau sebanding, yaitu : laki-laki sebanding dengan calon isterinya.
Segolongan ulama berpendapat yang menjadi ukuran kufu’ ialah dalam hal paradigma keimanan/ketakwaan, akhlak dan kesamaan cara berfikir, bukan dalam ukuran keturunan, pendidikan, pekerjaan, kekayaan, status sosial dan lain sebagainya.
Sehingga diharapkan segala perbedaan yang ada bisa dijembatani dan potensi keseimbangan untuk penyesuaian diri dan untuk saling melengkapi tidak terlalu sulit untuk dilakukan.
Allah swt berfirman :
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. 49 : Al Hujurat : 13)
Namun jika terdapat calon suami isteri berbeda pendidikan dan kecerdasannya, misalkan calon suaminya hanya lulusan sekolah menengah umum dan sering tidak nyambung saat berkomunikasi. Sedangkan pihak isteri lulusan luar negeri, memiliki pergaulan yang cukup luas dan jenjang karier terbuka lebar. Maka hal itu tidak bisa dijadikan sebab larangan dilangsungkannya pernikahan, karena yang paling utama adalah menyikapi perbedaan ini dengan pemahaman yang mendalam tentang pribadi masing-masing.
Diskusikanlah secara terbuka mengenai masalah ini serta berlatihlah untuk bersikap positif. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi dampak-dampak negatif yang mungkin akan timbul akibat perbedaan ini.
Mengingat disiplin ilmu yang berbeda, sebenarnya justru bisa dijadikan sarana bertukar informasi mengenai wawasan masing-masing. Karena bisa jadi, walaupun tingkat pendidikan calon suami isteri tersebut sama-sama memiliki tingkat yang cukup tinggi, misalkan mencapai jenjang S3, tetapi ego masih-masih sangat tinggi pula, maka hal ini bisa dimungkinkan akan sering menyebabkan terjadi perselisihan/gesekan dalam keharmonisan rumah tangga.
Pada akhirnya, kebahagiaan hakiki sebuah perkawinan adalah di mana suami bisa dijadikan imam dan qowwam (pengayom) yang baik. Apalagi jika kita menjadikan agama sebagai landasan dalam menentukan, jika pasangan kita taat dalam beragama maka kita tidak perlu terlalu khawatir akan perbedaan ini.
Rasulullah saw bersabda :
“Wanita dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya), sebab kalau tidak demikian kamu akan celaka” (H.R. Bukhari)
Wallahu’alam bishawab