Ibadah haji diwajibkan kepada orang-orang yang mampu. Sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat berikut, “…mengerjakanhai adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari semesta alam.” (Q.S. Ali Imran 3: 97)
Ada empat macam kemampuan yang harus dimiliki yaitu Quwwah Maaliyyah, Quwwah Jasadiyyah, Quwwah Ruuhiyyah, dan Quwwah Ilmiyyah.
1. Quwwah Maaliyyah artinya kekuatan harta. Ibadah haji membutuhkan dana yang relatif besar karena tanah suci Mekah relatif jauh dari negeri kita. Paling tidak, dibutuhkan sepuluh jam dengan pesawat Air Bus untuk bisa sampai ke sana. Kita butuh biaya transportasi, biaya hidup di sana, dan dana untuk keluarga yang ditunggalkan. Ini jelas membutuhkan Quwwwah Maaliyyah atau kekuatan harta.
2. Quwwah Jasadiyyah artinya kekuatan jasad. Ibadah haji membutuhkan kekuatan fisik, karena hampir seluruh pelaksanaannya melibatkan kekuatan fisik, misalnya tawaf, yaitu berjalan mengitari Kabah sanbil berdoa, Sa’i yakni berjalan antara bukit Shafa dan Marwah, Jumroh yakni melempar jamarat. Semuanya melibatkan kekuatan fisik. Itu sebabnya haji membutuhkan Quwwah Jasadiyyah.
3. Quwwah Ruuhiyyah artinya kekuatan mental atau rohani. Banyak orang yang secara harta dan fisik sudah kuat atau mampu, tapi kalau mentalnya belum siap? Di sinilah dibutuhkankekuatan mental alias Quwwah Ruhiyyah.
4. Quwwah Ilmiyyah artinya kekuatan ilmu. Haji perlu bekal ilmu yang memadai terutama masalah manasik atau pelaksanaan haji yang benar. Betapa banyak umat Islam yang melaksanakan haji namun tidak dibarengi dengan pemahaman yang benar tentang tata cara haji, sehingga banyak melakukan kekeliruan. Sayang apabila kita sudah mengeluarkan harta yang banyak, meninggalkan anak-anak, tapi ternyata hajinya banyak yang keliru. Di sinilah pentinyanya Quwwah Ilmiyyah alias kekuatan ilmu dan pemahaman.
Adapun yang Anda tanyakan adalah masalah Quwwah Maaliyyah atau kekuatan harta. Bolehkah kita berhaji dengan cara berutang? Secara prinsip, berutang untuk haji tidak dilarang, selama kita yakin bisa membayar utang itu seandainya terjadi apa-apa saat melaksanakan ibadah haji. Misalnya sampai kita meninggal di tanah suci, kita yakin utang-utang itu bisa dilunasi dan tidak membebani keluarga yang ditinggal.
Tapi, jika Anda tidak yakin akan ada yang membayarkan utang Anda, sekiranya Anda meninggal di sana, atau utang tersebut bisa menjadi beban keluarga yang ditinggalkan, berutang seperti ini tidaklah dibenarkan. Lebih baik Anda menangguhkan pelaksanaan haji sampai benar-benar mampu. Semoga Allah memberikan rezeki yang halal dan luas kepada Anda, sehingga bisa segera melaksanakan ibadah haji tanpa berutang. Amin. Wallahu A’lam.
Ada empat macam kemampuan yang harus dimiliki yaitu Quwwah Maaliyyah, Quwwah Jasadiyyah, Quwwah Ruuhiyyah, dan Quwwah Ilmiyyah.
1. Quwwah Maaliyyah artinya kekuatan harta. Ibadah haji membutuhkan dana yang relatif besar karena tanah suci Mekah relatif jauh dari negeri kita. Paling tidak, dibutuhkan sepuluh jam dengan pesawat Air Bus untuk bisa sampai ke sana. Kita butuh biaya transportasi, biaya hidup di sana, dan dana untuk keluarga yang ditunggalkan. Ini jelas membutuhkan Quwwwah Maaliyyah atau kekuatan harta.
2. Quwwah Jasadiyyah artinya kekuatan jasad. Ibadah haji membutuhkan kekuatan fisik, karena hampir seluruh pelaksanaannya melibatkan kekuatan fisik, misalnya tawaf, yaitu berjalan mengitari Kabah sanbil berdoa, Sa’i yakni berjalan antara bukit Shafa dan Marwah, Jumroh yakni melempar jamarat. Semuanya melibatkan kekuatan fisik. Itu sebabnya haji membutuhkan Quwwah Jasadiyyah.
3. Quwwah Ruuhiyyah artinya kekuatan mental atau rohani. Banyak orang yang secara harta dan fisik sudah kuat atau mampu, tapi kalau mentalnya belum siap? Di sinilah dibutuhkankekuatan mental alias Quwwah Ruhiyyah.
4. Quwwah Ilmiyyah artinya kekuatan ilmu. Haji perlu bekal ilmu yang memadai terutama masalah manasik atau pelaksanaan haji yang benar. Betapa banyak umat Islam yang melaksanakan haji namun tidak dibarengi dengan pemahaman yang benar tentang tata cara haji, sehingga banyak melakukan kekeliruan. Sayang apabila kita sudah mengeluarkan harta yang banyak, meninggalkan anak-anak, tapi ternyata hajinya banyak yang keliru. Di sinilah pentinyanya Quwwah Ilmiyyah alias kekuatan ilmu dan pemahaman.
Adapun yang Anda tanyakan adalah masalah Quwwah Maaliyyah atau kekuatan harta. Bolehkah kita berhaji dengan cara berutang? Secara prinsip, berutang untuk haji tidak dilarang, selama kita yakin bisa membayar utang itu seandainya terjadi apa-apa saat melaksanakan ibadah haji. Misalnya sampai kita meninggal di tanah suci, kita yakin utang-utang itu bisa dilunasi dan tidak membebani keluarga yang ditinggal.
Tapi, jika Anda tidak yakin akan ada yang membayarkan utang Anda, sekiranya Anda meninggal di sana, atau utang tersebut bisa menjadi beban keluarga yang ditinggalkan, berutang seperti ini tidaklah dibenarkan. Lebih baik Anda menangguhkan pelaksanaan haji sampai benar-benar mampu. Semoga Allah memberikan rezeki yang halal dan luas kepada Anda, sehingga bisa segera melaksanakan ibadah haji tanpa berutang. Amin. Wallahu A’lam.