Apa yang mewarnai dunia remaja saat ini? Jawabnya satu: cinta alias hubungan dengan lawan jenis.
Dan karena cinta itu, muncul macam-macam hal: konflik, intrik, seks bebas, perselingkuhan, dan macam-macam lagi. Setidaknya itulah potret umum yang dapat diambil dari sinetron-sinetron remaja yang kini tengah booming di stasiun TV.
Ada dua hal yang menandai warna tersebut. Pertama, seolah-olah dunia remaja Cuma cinta, cinta dan cinta. Sepertinya, cintalah yang membuat remaja ‘hidup’. Kedua, seringkali, atas nama cinta, remaja di sinetron-sinetron itu melakukan tindakan-tindakan yang sangat bebas atau permisif. Mereka banayk melakukan hal-hal yang sebenarnya belum boleh mereka lakukan. Misalnya, mencoba seks, hal yang hanya boleh mereka lakukan dalam perkawinan.
Dalam hal hubungan pria-wanita, remaja-remaja kita di sinetron tampaknya sudah sangat terbiasa dan ‘pintar’. Berpelukan erat dengan dada saling menempel sudah menjadi hal yang lumrah dalam tayangan semacam itu. Ciuman bibir juga mulai menjadi perilaku yang makin kerap ditampilkan dalam tayangan remaja.
Melihat penggambaran kaum muda dalam banyak sinetron remaja kadang membuat kita berpikir: ini remaja mana sih? Kadang, penggambaran itu sangat tidak realistis dalam menggambarkan keadaan remaja kebanyakan yang sesungguhnya. Ambil contoh, tentang pakaian. Umumnya sinetron remaja kita ber-setting sekolah: SMP atau SMU. Pakaian sekolah para remaja di sinetron, waduh, bisa membuat kening kita berkerut. Kita jadi bertanya-tanya: tidak adakah aturan di sekolah tempat para remaja itu belajar? Oke, mereka memakai seragam. Tetapi, khusus untuk perempuan, pakaian seragam yang dipakai umumnya menonjolkan sensualitas gadis-gadis muda. Pakaian seragam mereka bergaya cheerleader (pemandu sorak): blus ketat, pendek, tidak dimasukkan ke rok; rok bawah berukuran mini, paling tidak di atas lutut; kaus kaki panjang. Terkadang, jika tidak berpakaian seragam pun, gadis-gadis remaja dalam sinetron umumnya memang menampilkan ‘keterbukaan’ di sana-sini. Pakaian mereka umumnya mini, ketat, atau menampakkan bagian-bagian tubuh tertentu. Belum lagi tentang tata krama pergaulan. Hampir tak jelas apa batasan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Dalam banyak sinetron misalnya, remaja bisa seenaknya masuk ke kamar temannya yang berbeda jenis jika ia berkunjung ke rumah si teman. Dalam dunia nyata, ini bukan termasuk kelaziman. Tetapi di sinetron, ini menjadi sesuatu yang demikian lumrah dan tidak aneh.
Masalahnya adalah kelumrahan tadi. Melalui sinetron, kita digiring untuk menerima sesuatu yang tidak lumrah menjadi lumrah. Pelan-pelan, sesuatu yang tidak pantas, belum boleh dilakukan, bahkan tabu, menjadi sesuatu yang boleh bahkan lazim untuk dilakukan. Dengan penonjolan semata-mata persoalan cinta dan hubungan pria-wanita, remaja potensial diarahkan untuk berpikir bahwa warna utama kehidupan adalah cinta. Tanpa cinta, hidup ini hampa. Remaja didorong untuk menikmati dunia dengan bercinta. Jadilah remaja didorong untuk mencicipi kehidupan berpacaran. Masalahnya, gaya berpacaran yang ditawarkan oleh sinetron dan potensial untuk dijadikan model bagi remaja adalah gaya yang bermasalah. Yang utama ditawarkan adalah seks, dari mulai derajat rendah (peluk dan cium) hingga berhubungan badan. Itu semua ditunjang pula oleh segenap gaya hidup yang mendukung: pakaian yang menonjolkan sensualitas, tata krama pergaulan pria-wanita yang longgar, pengawasan orang tua dan guru yang lemah, dan masih banyak lagi.
Pilihan sebenarnya ada di tangan kita: apakah kita mau menjadikan sesuatu yang tidak pantas atau tidak lumrah tadi merasuki pikiran dan sikap anak-anak remaja kita. Jika memungkinkan, sinetron-sinetron itu memang tak usah ditonton karena buruk. Tetapi jika tak bisa dihindari karena sudah menjadi kebiasaan di rumah, berbicara dengan anak-anak remaja kita tentang apa yang tampak di layar menjadi suatu hal yang penting. Percakapan itu diperlukan agar si remaja memperoleh perspektif lain di luar tawaran yang diberikan TV. Jika percakapan dilakukan dengan cara menyenangkan, bisa lahir diskusi yang justru memberikan manfaat lain: mendekatkan hubungan si remaja dengan orangtuanya. Dan itu amat indah.
Sisi Keparahan Sinetron didepan kita.
Sinetron di tv makin parah. Tidak mendidik. Mungkin bisa disebut perusak moral bangsa. Industri hiburan memang kejam. Entah berapa banyak yang menjalani hidup terinspirasi sinetron, menjalani hidup dengan patokan sinetron. Yang pada akhirnya membuat semuanya terbalik. Sinetron yang seharusnya mengambil ide dari kehidupan sehari-hari, sekarang malah menjadi patokan bagi masyarakat untuk menjalani hidup. Life… based on sinetron.
Seorang anak penganut lifestyle ala sinetron. Anak tersebut masih SMP meminta sebuah mobil + supir. Tentu saja hal ini sulit dituruti oleh orangtuanya yang hanya sebagai guru SMEA swasta. Bukannya sadar dengan keadaan ekonomi keluarganya, anak tersebut malah mengatakan bahwa orangtuanya egois dan tidak sayang pada anak-anaknya. Entah berapa banyak anak yang seperti ini di tempat lain.
Mungkin tidak salah jika sinetron dianggap “kitab suci”-nya masyarakat jaman sekarang. Segala perilaku, tindak tanduk, gaya bicara, penampilan semuanya bersumber pada sinetron. Sangat mengerikan.
Selain CINTA, yang menjadi tema dalam sinetron pasti tidak jauh dari masalah harta dan pertengkaran. Termasuk hal-hal gaib, dukun, santet, hantu yang diatas namakan sinetron bertema religi.
Penulis naskah, produser + krunya serta stasiun tv tidak lagi memikirkan soal isi/materi sinetron yang ditayangkan. Akibatnya banyak sinetron yang terkesan “asal buat”. Hehehe…. Money oriented… bisa dimaklumi. Memang, tidak semua sinetron mutunya jelek. Ada pula yang bagus. Tapi jumlahnya belum banyak. Seperti mencari jarum di antara tumpukan jerami.
Penulis :
– Yusni Emilia
Sumber :
– Majalah Ummi No. 11/XV April-Mei 2004/1424 H
– http://oryza.blogsome.com/2006/07/07/boycott-sinetron/
Dan karena cinta itu, muncul macam-macam hal: konflik, intrik, seks bebas, perselingkuhan, dan macam-macam lagi. Setidaknya itulah potret umum yang dapat diambil dari sinetron-sinetron remaja yang kini tengah booming di stasiun TV.
Ada dua hal yang menandai warna tersebut. Pertama, seolah-olah dunia remaja Cuma cinta, cinta dan cinta. Sepertinya, cintalah yang membuat remaja ‘hidup’. Kedua, seringkali, atas nama cinta, remaja di sinetron-sinetron itu melakukan tindakan-tindakan yang sangat bebas atau permisif. Mereka banayk melakukan hal-hal yang sebenarnya belum boleh mereka lakukan. Misalnya, mencoba seks, hal yang hanya boleh mereka lakukan dalam perkawinan.
Dalam hal hubungan pria-wanita, remaja-remaja kita di sinetron tampaknya sudah sangat terbiasa dan ‘pintar’. Berpelukan erat dengan dada saling menempel sudah menjadi hal yang lumrah dalam tayangan semacam itu. Ciuman bibir juga mulai menjadi perilaku yang makin kerap ditampilkan dalam tayangan remaja.
Melihat penggambaran kaum muda dalam banyak sinetron remaja kadang membuat kita berpikir: ini remaja mana sih? Kadang, penggambaran itu sangat tidak realistis dalam menggambarkan keadaan remaja kebanyakan yang sesungguhnya. Ambil contoh, tentang pakaian. Umumnya sinetron remaja kita ber-setting sekolah: SMP atau SMU. Pakaian sekolah para remaja di sinetron, waduh, bisa membuat kening kita berkerut. Kita jadi bertanya-tanya: tidak adakah aturan di sekolah tempat para remaja itu belajar? Oke, mereka memakai seragam. Tetapi, khusus untuk perempuan, pakaian seragam yang dipakai umumnya menonjolkan sensualitas gadis-gadis muda. Pakaian seragam mereka bergaya cheerleader (pemandu sorak): blus ketat, pendek, tidak dimasukkan ke rok; rok bawah berukuran mini, paling tidak di atas lutut; kaus kaki panjang. Terkadang, jika tidak berpakaian seragam pun, gadis-gadis remaja dalam sinetron umumnya memang menampilkan ‘keterbukaan’ di sana-sini. Pakaian mereka umumnya mini, ketat, atau menampakkan bagian-bagian tubuh tertentu. Belum lagi tentang tata krama pergaulan. Hampir tak jelas apa batasan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Dalam banyak sinetron misalnya, remaja bisa seenaknya masuk ke kamar temannya yang berbeda jenis jika ia berkunjung ke rumah si teman. Dalam dunia nyata, ini bukan termasuk kelaziman. Tetapi di sinetron, ini menjadi sesuatu yang demikian lumrah dan tidak aneh.
Masalahnya adalah kelumrahan tadi. Melalui sinetron, kita digiring untuk menerima sesuatu yang tidak lumrah menjadi lumrah. Pelan-pelan, sesuatu yang tidak pantas, belum boleh dilakukan, bahkan tabu, menjadi sesuatu yang boleh bahkan lazim untuk dilakukan. Dengan penonjolan semata-mata persoalan cinta dan hubungan pria-wanita, remaja potensial diarahkan untuk berpikir bahwa warna utama kehidupan adalah cinta. Tanpa cinta, hidup ini hampa. Remaja didorong untuk menikmati dunia dengan bercinta. Jadilah remaja didorong untuk mencicipi kehidupan berpacaran. Masalahnya, gaya berpacaran yang ditawarkan oleh sinetron dan potensial untuk dijadikan model bagi remaja adalah gaya yang bermasalah. Yang utama ditawarkan adalah seks, dari mulai derajat rendah (peluk dan cium) hingga berhubungan badan. Itu semua ditunjang pula oleh segenap gaya hidup yang mendukung: pakaian yang menonjolkan sensualitas, tata krama pergaulan pria-wanita yang longgar, pengawasan orang tua dan guru yang lemah, dan masih banyak lagi.
Pilihan sebenarnya ada di tangan kita: apakah kita mau menjadikan sesuatu yang tidak pantas atau tidak lumrah tadi merasuki pikiran dan sikap anak-anak remaja kita. Jika memungkinkan, sinetron-sinetron itu memang tak usah ditonton karena buruk. Tetapi jika tak bisa dihindari karena sudah menjadi kebiasaan di rumah, berbicara dengan anak-anak remaja kita tentang apa yang tampak di layar menjadi suatu hal yang penting. Percakapan itu diperlukan agar si remaja memperoleh perspektif lain di luar tawaran yang diberikan TV. Jika percakapan dilakukan dengan cara menyenangkan, bisa lahir diskusi yang justru memberikan manfaat lain: mendekatkan hubungan si remaja dengan orangtuanya. Dan itu amat indah.
Sisi Keparahan Sinetron didepan kita.
Sinetron di tv makin parah. Tidak mendidik. Mungkin bisa disebut perusak moral bangsa. Industri hiburan memang kejam. Entah berapa banyak yang menjalani hidup terinspirasi sinetron, menjalani hidup dengan patokan sinetron. Yang pada akhirnya membuat semuanya terbalik. Sinetron yang seharusnya mengambil ide dari kehidupan sehari-hari, sekarang malah menjadi patokan bagi masyarakat untuk menjalani hidup. Life… based on sinetron.
Seorang anak penganut lifestyle ala sinetron. Anak tersebut masih SMP meminta sebuah mobil + supir. Tentu saja hal ini sulit dituruti oleh orangtuanya yang hanya sebagai guru SMEA swasta. Bukannya sadar dengan keadaan ekonomi keluarganya, anak tersebut malah mengatakan bahwa orangtuanya egois dan tidak sayang pada anak-anaknya. Entah berapa banyak anak yang seperti ini di tempat lain.
Mungkin tidak salah jika sinetron dianggap “kitab suci”-nya masyarakat jaman sekarang. Segala perilaku, tindak tanduk, gaya bicara, penampilan semuanya bersumber pada sinetron. Sangat mengerikan.
Selain CINTA, yang menjadi tema dalam sinetron pasti tidak jauh dari masalah harta dan pertengkaran. Termasuk hal-hal gaib, dukun, santet, hantu yang diatas namakan sinetron bertema religi.
Penulis naskah, produser + krunya serta stasiun tv tidak lagi memikirkan soal isi/materi sinetron yang ditayangkan. Akibatnya banyak sinetron yang terkesan “asal buat”. Hehehe…. Money oriented… bisa dimaklumi. Memang, tidak semua sinetron mutunya jelek. Ada pula yang bagus. Tapi jumlahnya belum banyak. Seperti mencari jarum di antara tumpukan jerami.
Penulis :
– Yusni Emilia
Sumber :
– Majalah Ummi No. 11/XV April-Mei 2004/1424 H
– http://oryza.blogsome.com/2006/07/07/boycott-sinetron/