Banding-bandingke Pasangan dengan Mantan

Percikan Iman – Sekagum-kagumnya sahabat pada “mantan”, akan sangat menyakitkan jika “banding-bandingke” dengan pasangan Anda yang sekarang. Setidak-tidaknya akan memercikkan api cemburu, meski tanpa kalimat senada “andai dia masih ada”, meski sekadar tak sengaja menyebut namanya.

“Ketika seorang istri ditinggal suaminya meninggal, kemudian mengingat-ngingat kebaikannya, itu tidak apa-apa. Bisa jadi omongan itu menjadi do’a. Namun, alangkah baiknya, perilaku tersebut ditinggalkan (ketika sudah menikah lagi) karena dapat menimbulkan cemburu,” terang guru kita Ustadz Aam Amirudin dalam sesi Bedah Masalah, Majelis Percikan Iman (MPI) di Masjid Peradaban Percikan Iman Arjasari, Ahad (4/12).

Membanggakan almarhum atau almarhumah, mengenang kebaikannya, di hadapan anak-anak kita, itu baik. Selama, ditutup dengan ajakan mendo’akannya, bukan sekadar berkubang dalam kesedihan. Namun, perilaku ini hendaknya dihentikan ketika menikah lagi menjadi pilihan. 

Larangan membanding-bandingkan ini juga berlaku dalam berbagai konteks lainnya. Misal ketika kita sedang menasihati anak kita. Hendaknya, kita menghindari kalimat yang bernada membandingkan anak kita. Apakah itu dengan anak lainnya atau meski dengan kakak atau adiknya. 

“Jangan membiasakan membanding-bandingkan seorang dengan orang lainnya. Apakah itu pasangan kita atau anak kita. Membanding-bandingkan itu menyakitkan,” terang Ustadz Aam.

Bila kita berkaca pada rumah tangga Rasul, kisah yang mirip juga pernah terjadi. Cuplikannya, dapat kita temukan ketika Nabi Muhammad sedang mengisahkan Khadijah R.A. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, tertangkap kesan “nada protes” dalam penuturannya. 

Aisyah radhiallahu ‘anhaa bertutur:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ذَكَرَ خَدِيجَةَ أَثْنَى عَلَيْهَا فَأَحْسَنَ الثَّنَاءَ قَالَتْ فَغِرْتُ يَوْمًا فَقُلْتُ مَا أَكْثَرَ مَا تَذْكُرُهَا حَمْرَاءَ الشِّدْقِ قَدْ أَبْدَلَكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهَا خَيْرًا مِنْهَا قَالَ مَا أَبْدَلَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ خَيْرًا مِنْهَا قَدْ آمَنَتْ بِي إِذْ كَفَرَ بِي النَّاسُ وَصَدَّقَتْنِي إِذْ كَذَّبَنِي النَّاسُ وَوَاسَتْنِي بِمَالِهَا إِذْ حَرَمَنِي النَّاسُ وَرَزَقَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَلَدَهَا إِذْ حَرَمَنِي أَوْلَادَ النِّسَاءِ

“Nabi ﷺ jika menyebut tentang Khadijah maka iapun memujinya, dengan pujian yang sangat indah. Maka pada suatu hari akupun cemburu, maka aku berkata, “Terlalu sering engkau menyebut-nyebutnya, ia seorang wanita yang sudah tua. Allah telah menggantikannya buatmu dengan wanita yang lebih baik darinya”. Maka Nabi berkata, “Allah tidak menggantikannya dengan seorang wanitapun yang lebih baik darinya. Ia telah beriman kepadaku tatkala orang-orang kafir kepadaku, ia telah membenarkan aku tatkala orang-orang mendustakan aku, ia telah membantuku dengan hartanya tatkala orang-orang menahan hartanya tidak membantuku, dan Allah telah menganugerahkan darinya anak-anak tatkala Allah tidak menganugerahkan kepadaku anak-anak dari wanita-wanita yang lain” (HR Ahmad no 24864 dan dishahihkan oleh para pentahqiq Musnad Ahmad)

Padahal alasan Rasulullah S.A.W. jelas, alasannya pun mengandung alasan dakwah. Padahal Rasulullah S.A.W. sudah menyatakan jika bunda Aisyah ialah perempuan yang paling dicintainya pada hadits yang lain. Namun, reaksi cemburu dari Aisyah yang seorang perempuan, tak mampung dibendung olehnya.

Menikah (lagi) ketika bercerai atau ditinggal meninggal, merupakan sebentuk rahmat dari Allah S.W.T. Ajaran Islam hadir sesuai dengan fitrah manusia yang cenderung berpasangan. Meski, tak ada larangan jika seseorang memilih menjadi single parent ketika ditinggal wafat pasangannya. Misal, karena ingin fokus mengurus anaknya. 

Ketika Ibu sudah melewati masa iddah, ibu boleh menikah lagi dengan lelaki yang melamar Ibu.  Sedangkan bapak, boleh langsung menikah tanpa ada masa iddah. Iddah menurut Sayyid Sabiq dalam buku Fiqh Sunnah merupakan istilah yang merujuk pada masa bagi perempuan menunggu dan mencegah dirinya menikah setelah wafatnya suami atau setelah cerai.

Mari jaga perasaan pasangan kita, anak-anak kita. Jauhi membanding-bandingkan suami atau istri kita saat ini dengan “mantan”. Kehidupan kita ialah “hari ini”, bukan kemarin, sementara esok ialah misteri. 

Media Dakwah Percikan Iman

Media Dakwah Percikan Iman

Yayasan Percikan Iman | Ruko Komplek Kurdi Regency 33A Jl. Inhoftank, Pelindung Hewan Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40243 Telp. 08112216667

Related Post

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

slot mahjong
slot mahjong
slot pragmatic
gambolhoki
slot pragmatic