Berikut cuplikan pertanyaan tentang hingar bingar pengesahan RUU APP yang sukup Alot itu.
Ustadz yang semoga senantiasa dirahmati Allah swt, akhir-akhir ini isu pornografi kembali mendapat perhatian luas. Pembahasan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP) yang konon mandeg 4 tahun sejak pemerintahan Presiden Megawati seolah mendapatkan momentumnya kembali. Kalangan pro-‘kebebasan (kebablasan(?)) berekspresi’ (atau sebut saja pro-pornografi) berusaha berkelit dengan bermain pada biasnya standar pornografi. Kata mereka bagaimana mungkin menetapkan standar yang adil dan baku ttg pornografi. Intinya sulit menentukan dan menetapkan sesuatu itu porno atau tidak.
Bahkan ada yang bilang negara tak berwenang terhadap moralitas wareganya. Area provasi warga negara tidak bisa dan tidak boleh diintervensi oleh negara katanya.
Sementara dari kacamata Islam tentunya akan mudah diketahui dan dibedakan klasifikasi pornografi ini. Heran juga, kok kayaknya yang berusra lantang dan tegas seputar masalah pornografi ini hanya elemen umat Islam. tapi kembali ke pertanyaannya, bagaimana kira-kira solusi konkrit Islam menentukan standar pornografi ini.
Sehingga aspek syar’i bisa dilegalisasikan melalui UU APP nantinya, dan tentu saja (harapannya) menjadi efektif untuk pengikisan pornografi dan pornoaksi ke depannya.
Jawaban adalah sebagai berikut :
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakaatuh,
Pornografi adalah pengumbaran aurat wanita serta ekslpoitasi daya tarik seksualnya. Hukumnya haram 100% tanpa ada khilaf secuil pun. Bahkan dalam kacamata syariah, jangankan pornografi, sekedar membuka bagian tubuh yang ‘wajar’ terlihat seperti rambut, lengan, kaki bagian bawah atau leher, sudah haram hukumnya. Apalagi sampai memperlihatkan dada, paha serta aurat besar lainnya.
Tidak pernah ada kesepakatan manusia di muka bumi tentang standart batasan pornografi. Kalau pun ada, sifatnya sangat subjektif dan kapan pun bisa diubah-ubah seenak selera masing-masing.
Buat masyarakat timur umumnya, mungkin sekedar terlihat rambut, leher, lengan dan kaki dianggap wajar dan bukan pornografi. Buat masyarakat barat umumnya, terlihat belahan dada, paha dan wilayah lainnya pun belum lagi dianggap pornografi. Bahkan buat kalangan tertentu seperti seniman tak bermoral, telanjang bulat-bulat pun tidak dianggapnya pornografi, melainkan sebuah ekspresi seni.
Kalau urusan aurat wanita diserahkan kepada rasa dan karsa manusia, jangan harap ada kesepakatan dan standarisasinya. Kalaulah pemerintah RI membuat sebuah departemen khusus yang menangani masalah pornografi, misalnya bernama Departemen Pornografi, lalu departemen itu membuat batasan pornografi, pastilah batasan itu akan terus berubah setiap kali ganti menteri.
Kalaulah DPR/MPR kita membentuk sebuah komisi khusus misalnya komisi pornografi, sama saja. Pastilah batasan itu akan terus menerus menjadi perdebatan, bahkan setiap kali akan terus direvisi.
Buat umat Islam, batasan itu bukan urusan manusia, melainkan urusan Allah SWT. Ada wilayah dalam kehidupan ini yang memang Allah SWT serahkan kepada manusia dalam menentukannya. Namun ada wilayah pokok yang menjadi hak Allah SWT sepenuhnya dan tidak bisa diganggu-gugat oleh siapa pun.
Salah satunya adalah masalah batasan aurat wanita.Allah telah mengharamkan para wanita terlihat atau memperlihatkantubuhnya, kecuali hanya sebatas wajah dan tapak tangan. Dan itulah batasan pornografi versi Islam.
`…Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya…` (an-Nur: 31 )
Kalau kita konsekuen dengan Al-Quran dan As-Sunnah, gambar wanita yang terlihat rambutnyatermasuk kategorigambar porno, karena rambut itu aurat dan aurat itu wajib ditutup. Sedangkan sengaja berpakaian yang tidak menutup aurat itu dosa besar.
Demikian juga dengan gambar wanita yang terlihat tangan atau lengannya, atau betis bagian bawah, atau leher atau tapak kakinya,juga termasuk ke dalam kategori gambar porno, karena semua itu adalah aurat wanita.
Namun kalau pun harus berkompromi dengan mereka yang menentang penetapan batas tentang pornografi itu, paling tidak kita harus menyatakan bahwa di luar masalah pornografi, ada sebuah perbuatan terlarang lainnya, yaitu membuka aurat.
Sedangkan masalah suku terasing di pedalaman Papua, tentu saja urusannya beda. Keragaman budaya tidak lantas kita mengorbankan akhlak, moral dan etika yang bersifat umum.
Orang Papua yang tiap hari pakai koteka, pasti dia akan berpakaian pantas dan sempurna kalau masuk Jakarta. Rasa malu pasti akan segera menghinggapinya. Koteka boleh saja digunakan, dengan syarat di dalam hutan sana, dimana semua orang pakai koteka.
Tapi tidak ada cerita pakai koteka di tengah Jakarta, dimana semua orang pakai celana. Jadi urusan koteka jangan dibawa-bawa sampai Jakarta. Kadang sebagian kalangan anti moral itu suka cari-cari alasan saja. Moral dirinya yang bejat, tapi semua orang harus memakluminya.
Kalau mereka -para pendukung syahwat itu- mau pakai koteka silahkan saja. Tapi jangan wajibkan orang bebas pakai koteka. Jadi mungkin nama-nama mereka nanti didaftarkan secara khusus, siapa saja dari kalangan penghamba syahwat itu yang mau pakai koteka, bisa diberi izin khusus. ada surat izin pakai koteka, karena dirinya aktifis pembela pornografi. Wajahnya boleh kita tayangkan di TV.
Tapi ada syaratnya, tiap hari harus pakai koteka. Kuliah, kerja, ke pasar dan kemana-mana, harus pakai koteka. Termasuk naik bus kota dan ke tempat-tempat publik, harus pakai koteka. Kalau dicopot atau malu, kita telanjangin sekalian.
Jadi jangan sok membela koteka, tapi dia sendiri malah tidak pakai koteka. Itu namanya mengada-ada. Lha wong orang Papua asli yang hidup di gunung dan pedalaman hutan saya, tidak pernah protes dengan RUU itu, kok ini ada orang tinggal di Jakarta, seumur-umur tidak pernah pakai koteka, eh tiba-tiba sok jadi pahlawan koteka.
Itu namanya pahlawan kesiangan, alias cari gara-gara. Undang-undang pornografi harus ditetapkan segera, karena bangsa ini sudah lama hidup bagai binatang. Jadi binatang kok bangga…?
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakaatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
Ustadz yang semoga senantiasa dirahmati Allah swt, akhir-akhir ini isu pornografi kembali mendapat perhatian luas. Pembahasan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP) yang konon mandeg 4 tahun sejak pemerintahan Presiden Megawati seolah mendapatkan momentumnya kembali. Kalangan pro-‘kebebasan (kebablasan(?)) berekspresi’ (atau sebut saja pro-pornografi) berusaha berkelit dengan bermain pada biasnya standar pornografi. Kata mereka bagaimana mungkin menetapkan standar yang adil dan baku ttg pornografi. Intinya sulit menentukan dan menetapkan sesuatu itu porno atau tidak.
Bahkan ada yang bilang negara tak berwenang terhadap moralitas wareganya. Area provasi warga negara tidak bisa dan tidak boleh diintervensi oleh negara katanya.
Sementara dari kacamata Islam tentunya akan mudah diketahui dan dibedakan klasifikasi pornografi ini. Heran juga, kok kayaknya yang berusra lantang dan tegas seputar masalah pornografi ini hanya elemen umat Islam. tapi kembali ke pertanyaannya, bagaimana kira-kira solusi konkrit Islam menentukan standar pornografi ini.
Sehingga aspek syar’i bisa dilegalisasikan melalui UU APP nantinya, dan tentu saja (harapannya) menjadi efektif untuk pengikisan pornografi dan pornoaksi ke depannya.
Jawaban adalah sebagai berikut :
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakaatuh,
Pornografi adalah pengumbaran aurat wanita serta ekslpoitasi daya tarik seksualnya. Hukumnya haram 100% tanpa ada khilaf secuil pun. Bahkan dalam kacamata syariah, jangankan pornografi, sekedar membuka bagian tubuh yang ‘wajar’ terlihat seperti rambut, lengan, kaki bagian bawah atau leher, sudah haram hukumnya. Apalagi sampai memperlihatkan dada, paha serta aurat besar lainnya.
Tidak pernah ada kesepakatan manusia di muka bumi tentang standart batasan pornografi. Kalau pun ada, sifatnya sangat subjektif dan kapan pun bisa diubah-ubah seenak selera masing-masing.
Buat masyarakat timur umumnya, mungkin sekedar terlihat rambut, leher, lengan dan kaki dianggap wajar dan bukan pornografi. Buat masyarakat barat umumnya, terlihat belahan dada, paha dan wilayah lainnya pun belum lagi dianggap pornografi. Bahkan buat kalangan tertentu seperti seniman tak bermoral, telanjang bulat-bulat pun tidak dianggapnya pornografi, melainkan sebuah ekspresi seni.
Kalau urusan aurat wanita diserahkan kepada rasa dan karsa manusia, jangan harap ada kesepakatan dan standarisasinya. Kalaulah pemerintah RI membuat sebuah departemen khusus yang menangani masalah pornografi, misalnya bernama Departemen Pornografi, lalu departemen itu membuat batasan pornografi, pastilah batasan itu akan terus berubah setiap kali ganti menteri.
Kalaulah DPR/MPR kita membentuk sebuah komisi khusus misalnya komisi pornografi, sama saja. Pastilah batasan itu akan terus menerus menjadi perdebatan, bahkan setiap kali akan terus direvisi.
Buat umat Islam, batasan itu bukan urusan manusia, melainkan urusan Allah SWT. Ada wilayah dalam kehidupan ini yang memang Allah SWT serahkan kepada manusia dalam menentukannya. Namun ada wilayah pokok yang menjadi hak Allah SWT sepenuhnya dan tidak bisa diganggu-gugat oleh siapa pun.
Salah satunya adalah masalah batasan aurat wanita.Allah telah mengharamkan para wanita terlihat atau memperlihatkantubuhnya, kecuali hanya sebatas wajah dan tapak tangan. Dan itulah batasan pornografi versi Islam.
`…Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya…` (an-Nur: 31 )
Kalau kita konsekuen dengan Al-Quran dan As-Sunnah, gambar wanita yang terlihat rambutnyatermasuk kategorigambar porno, karena rambut itu aurat dan aurat itu wajib ditutup. Sedangkan sengaja berpakaian yang tidak menutup aurat itu dosa besar.
Demikian juga dengan gambar wanita yang terlihat tangan atau lengannya, atau betis bagian bawah, atau leher atau tapak kakinya,juga termasuk ke dalam kategori gambar porno, karena semua itu adalah aurat wanita.
Namun kalau pun harus berkompromi dengan mereka yang menentang penetapan batas tentang pornografi itu, paling tidak kita harus menyatakan bahwa di luar masalah pornografi, ada sebuah perbuatan terlarang lainnya, yaitu membuka aurat.
Sedangkan masalah suku terasing di pedalaman Papua, tentu saja urusannya beda. Keragaman budaya tidak lantas kita mengorbankan akhlak, moral dan etika yang bersifat umum.
Orang Papua yang tiap hari pakai koteka, pasti dia akan berpakaian pantas dan sempurna kalau masuk Jakarta. Rasa malu pasti akan segera menghinggapinya. Koteka boleh saja digunakan, dengan syarat di dalam hutan sana, dimana semua orang pakai koteka.
Tapi tidak ada cerita pakai koteka di tengah Jakarta, dimana semua orang pakai celana. Jadi urusan koteka jangan dibawa-bawa sampai Jakarta. Kadang sebagian kalangan anti moral itu suka cari-cari alasan saja. Moral dirinya yang bejat, tapi semua orang harus memakluminya.
Kalau mereka -para pendukung syahwat itu- mau pakai koteka silahkan saja. Tapi jangan wajibkan orang bebas pakai koteka. Jadi mungkin nama-nama mereka nanti didaftarkan secara khusus, siapa saja dari kalangan penghamba syahwat itu yang mau pakai koteka, bisa diberi izin khusus. ada surat izin pakai koteka, karena dirinya aktifis pembela pornografi. Wajahnya boleh kita tayangkan di TV.
Tapi ada syaratnya, tiap hari harus pakai koteka. Kuliah, kerja, ke pasar dan kemana-mana, harus pakai koteka. Termasuk naik bus kota dan ke tempat-tempat publik, harus pakai koteka. Kalau dicopot atau malu, kita telanjangin sekalian.
Jadi jangan sok membela koteka, tapi dia sendiri malah tidak pakai koteka. Itu namanya mengada-ada. Lha wong orang Papua asli yang hidup di gunung dan pedalaman hutan saya, tidak pernah protes dengan RUU itu, kok ini ada orang tinggal di Jakarta, seumur-umur tidak pernah pakai koteka, eh tiba-tiba sok jadi pahlawan koteka.
Itu namanya pahlawan kesiangan, alias cari gara-gara. Undang-undang pornografi harus ditetapkan segera, karena bangsa ini sudah lama hidup bagai binatang. Jadi binatang kok bangga…?
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakaatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.