Percikan Iman – Di kalangan sosial, sebagian dari kita pasti pernah mendengar jika kedatangan kupu-kupu ke dalam rumah itu pertanda akan kedatangan tamu. Selanjutnya, sebagian dari kita juga pasti pernah mendengar, jika kedatangan kucing hitam merupakan pertanda sial.
Padahal bisa jadi kupu-kupu itu datang ke rumah kita karena di sekitar rumah kita terdapat sumber makanan baginya. Bisa jadi kedatangan kucing ke rumah kita atau mendekati diri kita itu karena lapar dan ingin sekadar meminta makanan pada kita. Kasihan sekali kucing tersebut ketika sudah lapar, malah kita fitnah.
Anggapan semacam itu faktanya berkembang menjadi keyakinan sebagian orang. Mereka yakin, jika kedatangan binatang ke rumah merupakan sebentuk pertanda atau terkait dengan satu peristiwa. Dalam ajaran Islam perilaku tersebut bernama tathoyyur.
Tathayyur secara bahasa adalah masdar dari kata َطَيَّ ر ت (Tathayyara) asal mulanya diambil dari kata ُ ْر يَالط (Burung). Istilah tersebut muncul berdasarkan perilaku bangsa Arab sebelum datangnya Islam. Mereka terbiasa menentukan nasib baik atau buruk menggunakan burung.
Caranya, pertama-tama mereka akan melepaskan seekor burung. Kemudian mereka melihat apakah burung tersebut terbang ke kanan, ke kiri, ataukah terbang ke arah yang mendekati (kanan atau kiri). Jika burung tersebut terbang ke arah kanan, maka dia pun pergi. Sebaliknya, jika terbang ke arah kiri, maka dia pun menahan diri.
“Selaku Mukmin, kita tidak boleh percaya dengan tathoyyur,” kata Ustadz Aam Amirudin dalam sesi tanya-jawab pada Majelis Percikan Iman (MPI) edisi 21 Agustus 2022 di Masjid Peradaban percikan Iman Arjasari.
Tathoyyur, menurut guru kita, Ustadz Aam merupakan perilaku menghubung-hubungkan kedatangan binatang dengan satu peristiwa yang akan menimpa kita atau akan datang pada kita tanpa landasan ilmiah. Lain halnya ketika ada latar belakang penelitian empiris.
“Misalnya, ketika sekelompok binatang ramai-ramai meinggalkan hutan atau gunung. Tak lama setelah itu, terjadilah gempa atau gunung meletus. Nah kalau itu beda,” kata Ustadz Aam.
Penelitian menunjukkan, jika para binatang Allah S.W.T. berikan insting yang lebih tajam, lebih peka daripada kita manusia. Dengan begitu, mereka dapat merasakan potensi bencana berdasarkan tanda-tanda alam, yang bisa jadi, kita tidak mampu rasakan.
Apabila melihat perilaku binatang semacam itu, masyarakat di zaman dulu atau di zaman ketika teknologi belum terjangkau, lari meninggalkan tempat tinggal mereka. Kini, tanda-tanda tersebut juga dapat kita rasakan dengan adanya tekonologi bernama seismograf.
Jika merujuk pada salah satu hadits, tathoyyur atau tiyaroh merupakan sebentuk sirik kecil. Hukum ini dapat kita lihat pada hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda :
الطِّيَرَةُ شِركٌ ، الطِّيَرَةُ شِركٌ ، الطِّيَرَةُ شِركٌ ، وما منا إلا ، ولكنَّ اللهَ يُذهِبُه بالتَّوَكُّلِ
“Thiyarah adalah kesyirikan, thiyarah adalah kesyirikan, thiyarah adalah kesyirikan. Dan setiap kita pasti pernah mengalaminya. Namun Allah hilangkan itu dengan memberikan tawakkal (dalam hati)” (HR. Abu Daud no. 3910, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).
Hukuman bagi mereka yang melakukan tathoyyur-pun tidak main-main. Rasulullah S.A.W. tidak akan mengakui mereka yang melakukan tathoyyur sebagai bagian dari umat beliau. Itu konseukensi yang tidak main-main. Bagaimana tidak, ketika seseorang tidak diakui sebagai umatnya Nabi Muhammad S.A.W., artinya, tidak akan mendapatkan syafa’at di yaumil akhir.
ليس منا من تطيَّر أو تُطُيِّرَ له
“Bukan bagian dari kami orang yang melakukan tathayyur atau orang yang meminta dilakukan tathayyur untuknya” (HR. Al Bazzar no. 3578, dihasankan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah [6/311]).
Mungkin sebagian dari sahabat akan bertanya-tanay, “memang siriknya tathoyyur di mana?”
Orang yang melakukan tathayyur menyandarkan kebaikan dan keburukan, untung dan sial, selamat dan bencana, kepada selain Allah S.W.T. Padahal segala sesuatu terjadi atas ketetapan Allah. Allah ta’ala berfirman :
فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Jika datang kebaikan pada mereka, mereka berkata: ini karena kami. Jika datang keburukan pada mereka, , mereka ber-thiyarah dengan Musa dan kaumnya. Ketahuilah sesungguhnya yang menetapkan ini semua adalah Allah namun kebanyakan mereka tidak mengetahui” (QS. Al A’raf: 131).
Simpulannya, perilaku mencocok-cocokkan kedatangan binatang ke rumah kita dengan nasib merupakan perilaku yang terlarang dalam Islam, bahkan masuk kategori sirik. Meski masyarakat umum meyakininya, kita tidak boleh ikut-ikutan mempercayainya dan hendaknya meninggalkan keyakinan tersebut.
Pada dasarnya, masa depan merupakan hal gaib dan hanya Allah S.W.T. yang mengetahuinya. Untuk itu, kita harus mengamalkan tawakkal, tentunya setelah kita menyusun rencana dengan sebaik-baiknya. Yakinlah, tidak ada yang dapat menimpakkan mudharot pada kita melainkan Allah S.W.T. berkehendak. Mari gantungkan nasib kita hanya pada Allah S.W.T. teriring prasangka baik pada-Nya.