Bergandengan Tangan ke Surga

Percikan Iman – Bayangkan, setelah Anda lelah dengan ragam urusan dunia, kemudian melalui fase hisab di yaumil akhir, kemudian Anda kembali berkumpul dengan keluarga di surga. Itulah salah satu nikmat terbesar penghuni surga. Jika memiliki rumah bagus saja kita perlu berjuang, bukankah untuk mendapatkan sepetak “tanah” di surga lebih layak untuk kita lebih bersungguh-sungguh? Maka, pegang erat-erat anak, pasangan, juga orang tua kita menuju surga.

Sebagai orang tua, kita adalah figur utama dalam rumah tangga. Bangunan rumah hanya medium, sedangkan suasana di dalamnya, terbina berkat sikap, perilaku, dan hubungan ayah-ibu sebagai orang tua. Ketika suasana rumah terbina dengan baik, maka ibarat lahan yang subur, bibit fitrah dalam diri anak-anak bisa tumbuh subur. Namun, takkan ada rumah yang nyaman untuk bertumbuh ketika penghuni-penghuninya tak pandai merawatnya. Maka, sebagai pilar utama dalam rumah tangga, penting bagi orang tua untuk membina diri sehingga mewujud pribadi orang tua yang shaleh. 

Ketahuilah, orang tua shaleh merupakan washilah kebaikan bagi anak-anaknya, sebagaimana kisah dua anak yatim dalam Qur’an, surat Al-Kahf ayat 92. Allah Swt. berfirman, 

وَاَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلٰمَيْنِ يَتِيْمَيْنِ فِى الْمَدِيْنَةِ وَكَانَ تَحْتَهٗ كَنْزٌ لَّهُمَا وَكَانَ اَبُوْهُمَا صَالِحًا ۚفَاَرَادَ رَبُّكَ اَنْ يَّبْلُغَآ اَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِّنْ رَّبِّكَۚ وَمَا فَعَلْتُهٗ عَنْ اَمْرِيْۗ ذٰلِكَ تَأْوِيْلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَّلَيْهِ صَبْرًاۗ ࣖ

Adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu. Di bawah rumah itu tersimpan harta milik mereka berdua. Ayahnya pun seorang yang saleh. Tuhanmu menghendaki agar keduanya hidup sampai dewasa dan mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Perbuatanku ini bukan menurut kemauanku sendiri. Itulah penjelasan atas perbuatan-perbuatanku yang membuat kamu tidak sabar.”

Menurut Ibnu Katsir, ayat tersebut mengandung pelajaran, bahwa seorang lelaki yang saleh dapat menyebabkan keturunannya terpelihara. Kemudian, berkah ibadah yang dilakukannya dapat menaungi anak-keturunannya di dunia dan akhirat. Di akhirat, ibadah orang tuanya tersebut dapat menjadi syafaat dan meningkatkan derajat anak-keturunannya ke tingkat yang tertinggi di dalam surga. Pada akhirnya, semua orang tuanya merasakan kebahagiaan yang paripurna sebab dapat berkumpul dengan anak-keturunannya di surga. 

Hanya, ketika orang tua sholeh, bukan berarti anak-anaknya, otomatis akan menjadi sholeh juga. Kita dapat melihat kembali kisah Kan’an, anak dari seorang Nabi dan Rasul, Nuh As. Bahkan, anak Nabi Nuh As. bukan hanya tidak sholeh, namun kafir. Kan’an menolak bahkan memusuhi ajaran Nabi Nuh As. secara terang-terangan. Anak-keturunan yang akan Allah Swt. kumpulkan di surga, hanya mereka, anak keturunan yang beriman, sebagaimana firman Allah Swt. dalam Qur’an, surat At-Thur ayat 21,

وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِاِيْمَانٍ اَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآ اَلَتْنٰهُمْ مِّنْ عَمَلِهِمْ مِّنْ شَيْءٍۚ كُلُّ امْرِئٍ ۢبِمَا كَسَبَ رَهِيْنٌ 

Orang-orang beriman dan anak cucu mereka yang mengikutinya dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucunya di dalam surga. Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal kebajikan mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.

Dalam al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibnu ‘Asyur, dikatakan pemilihan lafaz أَلْحَقْنَا yang berarti “kami pertemukan mereka”, adalah untuk menunjukkan pemahaman bahwa bisa jadi anak-anaknya dimasukan terlebih dahulu ke neraka untuk membersihkan dosa-dosanya, kemudian barulah dimasukan ke surga yang sederajat dengan orang tuanya. Inilah karunia Allah bagi orang-orang yang beriman. 

Jangankan di akhirat, di dunia pun, anak keturunan dari orang yang mulia, seperti Nabi Ibarahim As. tidak akan mewarisi kemuliaan orang tua atau datuknya. Mereka yang mewarisi kemuliaan di mata Allah Swt. adalah mereka yang menempuhi ajaran lurus sebagaimana orang tuanya tempuh. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 124,

۞ وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّ ۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا ۗ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ ۗ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْنَ

Ingatlah, ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa perintah dan larangan, lalu ia melaksanakannya dengan sempurna. Allah berfirman, “Sungguh, Aku menjadikanmu sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Ibrahim berkata, “Dari anak cucuku juga?” Allah berfirman, “Benar, tetapi janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.”

Dalam kitab tafsirnya, Ibnu Katsir mengatakan, Ketika Allah Swt. hendak menjadikan Ibrahim sebagai imam untuk seluruh umat manusia, Ibrahim memohon kepada Allah, hendaknya para imam sesudahnya terdiri atas kalangan keturunannya. Maka Allah memperkenankan apa yang dimintanya itu dan memberitahukan kepadanya bahwa kelak di antara keturunannya terdapat orang-orang yang zalim, dan janji Allah tidak akan mengenai mereka yang zalim itu; mereka tidak akan menjadi imam dan tidak dapat dijadikan se­bagai panutan yang diteladani.

Dalil yang menunjukkan bahwa permintaan Nabi Ibrahim a.s. di­kabulkan ialah firman Allah Swt. di dalam surat Al-‘Ankabut, yaitu:

Dan Kami jadikan kenabian dan Al-Kitab pada keturunannya. (Al-‘Ankabut: 27)

Maka, setiap Nabi yang diutus oleh Allah Swt. dan setiap kitab yang diturunkan Allah sesudah Nabi Ibrahim, semuanya itu terjadi di ka­langan anak cucu keturunannya. Namun, Allah Swt mengecualikan anak keturunan Nabi Ibarahim As yang berbuat zalim atau menganiaya diri sendiri. Ayat ini juga sekaligus memberitahu bahwa di antara keturunan Nabi Ibrahim As. yang bertabur Nabi dan Rasul, tetap akan ada yang berlaku zalim. 

Artinya, orang tua yang sudah sholeh tersebut tidak cukup dengan “menjadi sholeh”, namun juga harus mengajak anak-cucu-nya untuk menempuhi cara hidupnya. Dalam Qur’an, surat At-Tahrim ayat 6, Allah Swt. berfirman, 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ 

Hai, orang-orang beriman! Jauhkan diri dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat kasar dan tegas, yang tidak durhaka kepada Allah dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya.

Dalam kitab tafsirnya, Ibnu Katsir mengutip pendapat Qatadah yang mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah

  1. Hendaknya engkau perintahkan mereka untuk taat kepada Allah dan engkau cegah mereka dari perbuatan durhaka terhadap­Nya. 
  2. Dan hendaklah engkau tegakkan terhadap mereka perintah Allah dan engkau anjurkan mereka untuk mengerjakannya serta engkau bantu mereka untuk mengamalkannya. 
  3. Dan apabila engkau melihat di kalangan mereka terdapat suatu perbuatan maksiat terhadap Allah, maka engkau harus cegah mereka darinya dan engkau larang mereka melakukannya.

Pada poin ini, guru kita, Ustadz Aam Amirudin merumuskannya dalam tiga prinsip. Pertama, menjadi teladan (memberi contoh alias memperlihatkan, memperdengarkan). Kedua, memperhatikan ucapan. Ketiga, pembiasaan. Untuk prinsip yang pertama, kita sma-sama sudah mengetahui, bahwa setiap ajaran atau ilmu itu tidak ada “wujudnya” kecuali ketika ada contohnya. Allah Swt. Maha Tahu karakteristik tersebut. Karenanya, Allah Swt. memberikan kita role model paripurna, yakni Rasulullah Saw. sebagaimana firman Allah Swt. dalam Qur’an Al-Ahzab ayat 21, 

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ

Sungguh, pada diri Rasulullah itu ada suri teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharapkan rahmat Allah dan yakin akan kedatangan hari Kiamat serta banyak mengingat Allah.

Bagaimana menjadi teladan? Yaitu dengan mencontohkan alias memperlihatkan. Misalnya, kita mengajak anak kita ke Masjid, agar mereka melihat kita shalat. Rasulullah Saw. juga mengajarkan kita selaku orang tua agar melaksanakan semua shalat, kecuali shalat fardhu di rumah. Selain untuk memperbanyak saksi di yaumil akhir, juga agar menjadi contoh bagi anak-anak kita. 

عَنْ زَيْدٍ بْنِ ثَابِتٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( صَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ ، فَإنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ المَرْءِ في بَيْتِهِ إِلاَّ المَكْتُوبَةَ )) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalatlah kalian, wahai manusia, di rumah-rumah kalian, karena sebaik-baiknya shalat adalah shalat seseorang di rumahnya, kecuali shalat wajib.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 731 dan Muslim, no. 781]

Kemudian, praktikkan akhlak yang baik pada anak-anak sehingga mereka dapat melihat bagaimana khasiat shalat, maupun puasa, atau ibadah mahdhoh lainnya dalam tingkah laku kita, termasuk di dalamnya tutur kata pada pasagan maupun anak-anak kita. Dalam Qur’an, surat An-Nisa ayat 9, Allah Swt. berfirman, 

وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا

Hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka dan khawatir terhadap kesejahteraannya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan berbicara dengan tutur kata yang benar.

Dalam ayat tersebut, kita mendapati ada korelasi antara kualitas keturunan kita dengan “tutur kata yang benar”. Guru kita, Ustadz Aam Amirudin mengatakan, yang dimaksud dengan perkataan yang benar ialah “benar isinya, benar juga cara menyampaikannya”. Beliau juga mengatakan jika kata-kata itu ibarat pahat, dia dapat membentuk seseorang, apakah baik ataupun buruk. Kata yang diulang-ulang, kata-kata yang disampaikan pada kondisi emosi tertentu pada seorang anak, bisa jadi dianggapnya sebagai kebenaran tentang dirinya.

Sebagai orang tua, terutama Ibu harus benar-benar mengontrol apapun yang keluar di mulutnya karena bisa menjadi do’a. Kita tentu pernah mendengar kisah masyhur Imam Masjidil Haram yang dulunya pernah dimarahi Ibunya karena “kenakalan”-nya. Meski marah, Ibunya mengeluarkan “umpatan” yang isinya positif, “jadilah engkau imam haramain!”. Allah Swt. Maha Mendengar dan Maha Berkuasa, maka jadilah Imam As-Sudais Imam dari dua Masjid di tanah Haram, Mekah dan Madinah.  

Selanjutnya, dalam rangka menjaga pasangan dan anak keturunan kita dari api neraka, kita juga perlu melatih mereka dalam ketaatan. Melakukan ketaatan pada Allah Swt. itu berat, kecuali bagi mereka yang mengenal Allah Swt. senantiasa berlatih. Maka, pada tahap awal tumbuh kenal anak, para ulama menganjurkan para orang tua agar mengenalkan Allah Swt. dan Rasul-Nya. Dengan harapan, tumbuh kecintaan mereka pada Allah Swt. dan Rasul-Nya. Kalau sudah cinta, jangankan shalat, yang lebih berat dari itupun akan terasa ringan dilakukan. 

Kemudian, cinta itu akan lebih baik kita ekspresikan jika kita tahu caranya. Maka, penting untuk orang tua memperkenalkan dan melatih anak-anak soal cara “mengekspresikan” cinta dengan proporsional, tidak berlebihan sehingga membuat cepat bosan, juga tidak terlalu kurang sehingga tidak mencukupi. Untuk itu, Rasulullah Saw. telah memberikan kita, para orang tua, panduan bagaimana melatih anak untuk taat pada Allah Swt. secara bertahap.

Dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu, beliau meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ

“Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berumur 7 tahun. Pukul mereka jika tidak mengerjakannya ketika mereka berumur 10 tahun. Pisahkanlah tempat-tempat tidur mereka“. (HR. Abu Daud no. 495. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih ).

Pamungkas, dalam rangka menggandeng pasangan dan anak-keturunan ke surga, adalah dengan do’a. Bagaimanapun juga, Anak dan pasangan harus memiliki tiket masing-masing untuk masuk gerbang surga. Kita hanya bisa berupaya lewat keteladanan dan tutur kata yang baik, sedang yang bisa membolak-balikkan hati hanya Allah Swt. Dalam Qur’an, surat Al-Qasas ayat 56, Allah Swt. berfirman, 

اِنَّكَ لَا تَهْدِيْ مَنْ اَحْبَبْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚوَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ 

Sungguh, kamu tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu cintai, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.

Maka, perbanyaklah do’a dengan penuh keyakinan,

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَذُرِّيّٰتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَّاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا

“Ya Tuhan, anugerahkan kepada kami pasangan dan keturunan yang menjadi penyejuk hati kami dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang- orang bertakwa.”

Wallahu a’lam bi shawwab

_____

Tulisan ini, kami kembangkan berdasarkan materi yang disampaikan oleh guru kita, Dr. Aam Amirudin, M.Si. pada Majelis Percikan Iman (MPI) di Masjid Al-Irsyad, Kota Baru Parahyangan, serial “Sekeluarga ke Surga”, pada Jum’at, 23 Agustus 2024

Media Dakwah Percikan Iman

Media Dakwah Percikan Iman

Yayasan Percikan Iman | Ruko Komplek Kurdi Regency 33A Jl. Inhoftank, Pelindung Hewan Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40243 Telp. 08112216667

Related Post

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *