Percikan Iman – Sudah berjam-jam Ibu memasak, eh suami tak menghabiskan porsi makan malamnya. Ayah pergi gelap-pulang gelap, eh penghasilannya tak kunjung mencukupi biaya perawatan istri. Adik-adik sudah sampai begadang demi menuntaskan tugas sekolah dan kuliah, nyatanya ketika nilai akhir keluar, tak memuaskan.
Rasanya sudah begitu banyak pengorbanan yang kita lakukan; waktu tercurah, energi terkuras, namun hasilnya nampak sia-sia. Ke-sia-sia-an itu kadang nampak dari respon, kadang nampak dari nilai. Terpaku padanya dapat menyesakkan dada, terkadang menyembur dalam bentuk amarah.
Beruntung-nya kita karena kita dapat hadir di Majelis Percikan Iman. Di sana, guru kita, Ustadz Aam Amirudin, mengabarkan pada kita jika setiap pengorbanan yang kita lakukan sejatinya tidak ada yang sia-sia. Syaratnya, kata beliau, ialah kita tidak menggantungkan harap balasan pada manusia.
Ustadz Aam menyampaikan jika sejatinya Allah S.W.T. menilai 10 kali lipat setiap rupiah, meter, langkah, putaran roda yang kita keluarkan dalam ruang lingkup amal sholeh. Beliau menyitir Q.S. Al-An’am ayat 160:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَنْ جَاۤءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهٗ عَشْرُ اَمْثَالِهَا ۚوَمَنْ جَاۤءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزٰٓى اِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ
Siapa pun yang berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat dari amalnya. Siapa pun yang berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan.
Ketika ridho Allah S.W.T. menjadi tujuan, ketika fokus kita arahkan pada balasan akhirat, seraya menisbikan harap pada sesama manusia, di situ-lah kita akan menemukan pengorbanan yang pasti untung. Kecewanya kita pada manusia tak menghentikan kita terus berjuang dan berkorban karena ada harapan tertinggi, yakni ridho Allah S.W.T.
Begitu-lah selayaknya majelis ilmu. Balasan repot-repot-nya kita tuk dapat menghadirinya Allah S.W.T. balas bukan hanya untuk akhirat, namun sebagiannya Allah S.W.T. segerakan di dunia. Allah S.W.T. menyajikan bagi mereka yang menghadirinya sajian berupa tujuan hidup yang jelas seraya jalan yang terang.
“Tujuan hidup”, “alasan hidup”, “siapa kita”, “jalan mana”, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang kerap menganggu sebagian manusia. Akibatnya, manusia-manusia tersebut terombang-ambing dalam arus hidup yang tak kunjung menghantarkannya pada kecenderungan fitrah jiwanya, yakni kebahagiaan.
Begitulah kondisi manusia-manusia di zaman kegelapan atau biasa kita sebut masa jahiliah. Hidup tanpa tujuan dan aturan yang jelas menghantarkan kemanusiaan pada jurang akibat kedzaliman antar sesama.
Pada kondisi tersebutlah, Allah S.W.T. hadirkan Rasul-Nya dengan Kitab Al-Qur’an. Rasulullah Muhammad S.A.W. sebagai penunjuk arah jalan, Al-Qur’an sebagai cahayanya. Ketika cahaya hadir tanpa penunjuk jalan, manusia akan tersesat. Ketika penunjuk jalan datang tanpa cahaya, terperosoklah kita semua.
Ya, Rasulullah S.A.W. kini sudah tiada. Namun, risalahnya terwarisi oleh sahabat, tabi’in, tabi’u at-taabi’iin, para ulama, para mujahid, para ustadz. Al-Qur’an mengandung banyak makna yang perlu upaya untuk meraihnya. Karena-nya para ulama dan ustadz Allah S.W.T. hadirkan dengan peran tersebut.
Mereka membedah, menggali, dan menghantarkannya pada kita dalam bentuk ilmu yang bermanfaat. Ilmu tersebut menawarkan kita tujuan yang jelas, menghantarkan makna pada setiap fenomena dan aktifitas kita. Di situlah kita akan menemukan wujud iman yang selama ini kita daku. Keimanan yang akan menghantarkan kita ke jannah.
Di sinilah kita patut bersyukur pada Allah S.W.T. ketika hati kita bergeming dengan tawaran bersantai di akhir pekan. Meski harus berepot-repot, Allah S.W.T. cenderungkan hati kita untuk tetap berangkat menempuhi perjalanan ke Majelis Percikan Iman.