Pertanyaan Anda barangkali mewakili sebagian besar para istri yang kebingungan antara memegang idealisme keislaman secara mutlak atau mengikuti realitas yang ada. Dalam pengamatan saya, ada dua bentuk wanita karier.
Pertama, wanita karier sebagai pilihan hidup.
Kedua, wanita karier karena terpaksa atau adanya desakan kebutuhan.
Tipe wanita karier pertama (secara prinsip) dibolehkan dalam Islam karena Islam tidak pernah mengebiri hak-hak kaum perempuan untuk meraih mimpinya. Islam mengakui hak-hak gender secara sama namun tetap pada fitrahnya masing-masing dan bukan lantas disamaratakan dalam segala hal sebagaimana diinginkan sebagian kalangan.
Namun demikian, para wanita karier tersebut harus benar-benar memperhatikan rambu-rambu yang sudah ditetapkan Islam, seperti mengenakan pakaian yang menutup aurat, tidak tabarruj atau memamerkan perhiasan dan kecantikan, tidak melunakkan atau memerdukan atau mendesahkan suara, menjaga pandangan, aman dari fitnah, serta mendapatkan izin dari orangtua atau suaminya.
Jika satu di antaranya dilanggar, maka apapun alasannya, hal itu akan menjadi kebaikan jika ia meninggalkan karier demi tetap memegang tali keridhaan Allah. Hendaknya kita menempatkan karier sebagai bagian dari meniti hidup dalam mencari kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.
Artinya, karier hendaknya dijalani di atas pijakan duniawi dan ukhrawi. Jika yang terjadi malah sebaliknya (dunia didahulukan, akhirat dikorbankan), maka segeralah tinggalkan karier tersebut atas dasar keimanan.
Lain halnya jika memang karier atau pekerjaan tersebut dilakukan atas dasar keterpaksaan atau desakan ekonomi yang bila tidak dilakukan akan berakibat fatal terhadap masa depan keluarga sehingga beberapa hal harus dengan terpaksa dikorbankan seperti pendidikan anak. Dalam batas tertentu, Allah akan tetap memaafkannya.
Akan tetapi harus ada ikhtiar untuk keluar dari kondisi tersebut. Satu hal yang perlu diingat bahwa sesuatu (kemudharatan) yang boleh dilakukan karena terpaksa tidak dibenarkan melebihi batas kewajarannya.
Jika suatu saat ada peluang lain yang lebih maslahat, maka disarankan untuk meninggalkan karier tersebut dengan segera. Perlu diingat pula, jangan pernah mengukur sukses hanya dari kacamata materi saja.
Wallahu a’lam.
Sumber : MAPI Februari 2010