Percikan Iman – Dengan menerima seutuhnya setiap ketetapan Allah Swt. baginya, Nabi Ibrahim As. dimuliakan oleh Allah Swt. Ia mendapatkan pujian dari Allah Swt., diabadikan puja-puji baginya hingga akhir zaman.
وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِى الْاٰخِرِيْنَ ۖ
Kami abadikan pujian untuk Ibrahim di kalangan generasi berikutnya,
سَلٰمٌ عَلٰٓى اِبْرٰهِيْمَ
“Selamat sejahtera bagi Ibrahim.”
كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ
Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
اِنَّهٗ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِيْنَ
Sungguh, Ibrahim termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.
Lantas, bagaimana bisa dengan “menerima”, kita dapat meraih kemuliaan di sisi Allah Swt.? Rupanya menerima seutuhnya itu pintu yang membukakan kita tiga akhlak mulia selaku hamba Allah Swt. yakni isti’anah, tha’ah, dan istiqomah. Ketiganya menjadi penopang sosok Ibrahim As. posisi yang tinggi atau mulia di sisi Allah Swt.
Isti’anah
Isti’anah ialah senantiasa meminta pertolongan pada Allah Swt. Sedangkan tha’ah merupakan bentuk ketundukan kita pada Allah Swt. Sedangkan istiqomah ialah kendaraan yang menghantarkan manusia pada akhir nan membahagiakan di jalan kebaenaran hingga akhir hayat.
Selama kita hidup di dunia, ujian ialah hal yang niscaya. Ada kalanya, kita harus menghadapi masalah yang pelik, ujian yang berat, atau gangguan. Kita cemas dan khawatir, itu manusiawi. Namun, selaku orang beriman, itu adalah momen terbuktinya kita lemah dan tak berdaya.
Memohon pertolongan pada Allah Swt. satu sisi merupakan bentuk pengakuan, bahwa diri lemah di hadapan-Nya. Dia rabb kita, sedang kita adalah hamba-Nya. Allah Swt. pencipta sedang kita adalah ciptaan-nya. Kita mengakui, kita tak memiliki kekuatan melainkan dari-Nya. Secanggih apapun teknologi, serapi apapun rencana, kalau Allah Swt. berlum berkehendak, maka tidak akan terjadi.
Itulah yang juga dialami oleh Nabi Ibrahim As. saat meninggalkan istri dan bayi merahnya di padang pasir Mekah. Nabi juga manusia yang sama merasakan getir kala harus berpisah dengan istri dan anaknya. Apalagi ini di tempat yang tiada tumbuhan, apalagi air. “Bagaimana mereka dapat bertahan hidup”? Ibrahim As. yakin, bahwa Allah Swt. takkan menyia-nyiakan hamba-Nya. Namun, sisi manusiawinya memaksa dia tetap khawatir.
Maka berdo’alah Ia, mengangkat tangannya tinggi-tinggi, memohon pertolongan pada Allah Swt.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ وَاِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلَّا عَلَى الْخٰشِعِيْنَۙ
Mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan salat. Salat itu berat, kecuali bagi orang-orang khusyuk, (QS. Al-Baqarah:45)
Apapun yang Allah Swt. tetapkan pada kita, terima seutuhnya. Dia yang menjadi istri kita, yang menjadi anak kita, ujian yang menerpa diri, terima semua dengan seutuhnya. Namun, jangan hanya menerima, namun, mintalah pertolongan Allah Swt. dengan sabar, jalannya shalat. Jadi khusyu itu kita yakin bahwa kita akan kembali pada Allah Swt.
Terima seutuhnya, ketika perilaku pasangan, anak kita, melelahkan kita. Yakinlah kalau itu akan menjadi kebaikan di akhirat. Untuk itu, minta tolonglah pada Allah Swt. lewat do’a agar diberikan kekuatan demi menghadapi takdir kita. Ketika orientasi kita akhirat, maka kita akan menikmati lelah kita, kaki lecet kita, luka kita. Itulah isti’anah.
Tha’ah
Menerima seutuhnya itu akan melahirkan taat, meski bertentangan dengan perasaannya. Nabi Ibrahim As. pun begitu. Selain taat pada perintah Allah Swt. seorang istri juga harus ta’at pada suami selama memerintahkan kebenaran dan kebaikan. Juga bagi murid, Anda wajib ta’at pada guru, sebagaimana tertuang dalam surat Al-Mujadilah ayat 11.
Kalau kita menerima seutuhnya, kemudian menta’ati perintah Allah Swt., maka kita akan bersama dengan orang-orang baik. Mari kita buka surat An-Nisa ayat 69-70,
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ فَاُولٰۤىِٕكَ مَعَ الَّذِيْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ مِّنَ النَّبِيّٖنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاۤءِ وَالصّٰلِحِيْنَ ۚ وَحَسُنَ اُولٰۤىِٕكَ رَفِيْقًا
Siapa pun yang menaati Allah dan Rasul (Muhammad), mereka akan bersama-sama dengan orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahi, dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.
ذٰلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللّٰهِ ۗوَكَفٰى بِاللّٰهِ عَلِيْمًا ࣖ
Itu adalah karunia Allah dan cukuplah Allah yang Maha Mengetahui.
Jadi menerima seutuhnya itu, barengi dengan keta’atan (berlaku benar). Siapapun yang menta’ati Rasul, mereka akan bersama-sama dengan “orang yang diberi nikmat; para nabi, shiddiqin, syhada, dan orang-orang sholeh”. Lakukan saja, cukup Allah Swt. yang menjadi saksi.
Ketahuilah, ketaatan itu kualitasnya beda-beda. Ada yang ta’at karena semata-mata karena Allah Swt. Ada juga yang karena termotivasi oleh pujian atau takut oleh manusia. Ada yang ta’at pada suami karena tahu Allah Swt. memerintahkan istri ta’at pada suami. Ada juga yang ta’at pada suami karena takut jatah bulanannya dikurangi kalau tidak ta’at. Itulah kualitas yang hanya Alah Swt. yang mengetahui (isi hati).
Istiqomah
Istiqomah itu teguh pendirian dan konsisten. Mari kita buka pengertiannya dalam surat Al-Ahqaf ayat 13-14. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَۚ
Sesungguhnya, orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah,” kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada rasa khawatir pada mereka dan mereka tidak pula bersedih hati.
اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْجَنَّةِ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۚ جَزَاۤءً ۢبِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Mereka itulah para penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.
Ayat ini dengan tegas mengatakan, bahwa orang yang total menerima ketetapan dan takdir Allah Swt. kemudian konsisten, barulah baginya surga. Imam Ghazali punya rumus, kalau mau istiqomah, mulai dengan tanpa terputus selama 40 hari non-stop. Misal, tahajjud, meski sampai menyender karena ngantuk, tetap lakukan agar kita terbiasa.
Dalam konteks interaksi dengan manusia, istiqomah lah yang akan meninggalkan kesan yang baik. Bekas yang mendalam itulah yang nantinya akan menjadi kenangan kala seseorang itu tiada. Misal, ketika istri terbiasa melayani suami, meski sekadar menyiapkan seragam di kasur atau menyediakan air minum seketika pulang ke rumah. Ketika jauh dari istri, suami mungkin akan rindu, ketika sudah wafat suami akan kehilangan.
“Istiqomah itu akan meninggalkan bekas karena konsisten.”
Untuk bisa istiqomah, lakukanlah amal sekemampuan. Meski sedikit, namun bisa kita lakukan secara konsisten.
Dari ’Aisyah, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنَ الأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَإِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ
”Wahai sekalian manusia, lakukanlah amalan sesuai dengan kemampuan kalian. Karena Allah tidaklah bosan sampai kalian merasa bosan. (Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (ajeg) walaupun sedikit.” (HR. Muslim no. 782)
______
Tulisan merupakan reume materi kajian utama Majelis Percikan Iman yang disampaika oleh Guru kita, Ustadz Aam Amirudin pada Ahad (23/7/2023) di Masjid Peradaban Percikan Iman Arjasari