Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. Didalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syari’at, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah Swt tidak memberi perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Al-Qur’an yang membutuhkan tafsir, apalagi sering menggunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah, diperlukan penjelasan berupa tafsir Al-Qur’an.
Tafsir berasal dari kata al fusru yang mempunyai arti al-ibanah wa al-kasyf (menjelaskan dan menyingkap sesuatu). Makna ini sesuai dengan surat Al Furqan ayat 33, “wa laa ya’ tuunuka bimatsalin illa ji’ naaka bil haqqi wa ahsana tafsiirin.”
Menurut pengertian terminologi, tafsir ialah ilmu untuk memahami kitab Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya (Al-Hafizh As-Suyuthi dari Al-Imam Az-Zarkasyi)
Al Imam Ibnu Katsir (700-774 H) menyebutkan bahwa cara yang baik dan paling aman dalam menafsirkan Al-Qur’an, adalah :
Pertama, menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.
Sesungguhnya antara satu ayat dengan ayat lainnya kadang saling menjelaskan, apa yang tidak jelas pada salah satu bagiannya akan dijelaskan pada bagian lainnya. Yang kita lakukan di sini adalah merujuk kepada Pemilik Al-Qur’an dalam menafsirkan maksud dan kehendak-Nya yang tertera dalam fi rman-Nya. Sebab Dialah yang lebih tahu apa yang Ia sampaikan dan apa yang Ia inginkan.
Kedua, jika penjelasan itu tidak dapat kita temukan dalam Al-Qur’an, langkah selanjutnya adalah Menafsirkan Al-Qur’an dengan Sunah Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw adalah utusan Allah yang bertugas menyampaikan wahyu kepada umat manusia. Karena itulah ia lebih mengerti maksud dan kehendak-Nya. Allah Swt. telah menjamin bahwa Rasulullah Saw. tidak pernah mengucapkan sesuatu dari hawa nafsunya tapi selalu dengan bimbingan wahyu. Karena itu, merujuk pada tafsirnya tentu lebih utama dan lebih layak daripada yang lain.
Sebagai penguat apa yang dikatakan di atas, silakan perhatikan fi rman-fi rman berikut, “
…Agar kamu terangkan kepada ma nusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka berpikir.”(QS.An-Naĥl [16]: 44)
“Allah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang memba cakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan jiwa mereka, dan mengajar kan Kitab dan Hikmah (Sunnah) kepada mereka meskipun sebelumnya mereka dalam kesesatan nyata.” (QS. Al-Jumu‘ah [62]: 2).
Yang dimaksud dengan mengajarkan ayat-ayatnya kepada mereka adalah menjelaskan makna-makna dan hukum-hukumnya.
Ketiga, jika kita tidak menemukan penjelasan itu dalam sunah Rasulullah Saw., langkah selanjutnya adalah Menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat para sahabat.
Sahabat adalah umat Islam yang pernah bertemu dengan Rasulullah Saw. para sahabat menyaksikan proses turunnya Al-Qur’an kepada Rasulullah Saw., mengetahui sebab-sebab, serta berbagai situasi dan peristiwa saat Al-Qur’an diturunkan.
Di samping itu, merekalah generasi yang lebih memahami pelik-pelik bahasa Al-Qur’an, sebab Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka. Di atas semua itu, mereka telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, percaya pada seluruh kandungan dan makna Al-Qur’an, serius dalam memahami dan merenungi makna-maknanya, kemudian mengamal kannya secara konsisten, sepanjang hayat mereka.
Keempat, jika kita tidak menemukan penjelasan dari para sahabat Rasulullah Saw., langkah selanjutnya adalah mencari penjelasan dari para tabi’in (Menafsirkan Al-Qur’an dengan penjelasan para tabi’in).
Tabi’in adalah murid para sahabat. Rasulullah Saw. sendiri telah menyatakan bahwa mereka adalah generasi terbaik setelah generasi sahabat.
Sabdanya, “Sebaik-baik zaman adalah zamanku, kemudian zaman sesudahku, kemudian zaman sesudahya lagi.” (HR.Muslim dari Abdullah, Sahih Muslim, Fadhoilu al-Shahabat, vol.II, hal.503, Daar el-Fikr).
Itulah sebabnya, merujuk pada penjelasan dan tafsir mereka jauh lebih baik dan lebih layak dibandingkan tafsir yang lain.
Bertolak dari analisis di atas, bisa kita simpulkan bahwa cara yang paling baik dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah dengan merujuk pada ayat Al-Qur’an lagi, kalau kita tidak menemukan penjelasannya dalam ayat lain, kita merujuk pada sunah Rasul Saw. Kalau dalam sunah Rasul pun kita tidak menemukan penjelasannya, kita merujuk pada pendapat para sahabat. Kalau kita tidak mendapatkan penjelasan dari mereka, kita merujuk pada para muridnya, yaitu para tabi’in.
Dan kalau kita tidak mendapatkan penafsiran para tabi’in, kita diperbolehkan ber-ijtihad (mencurahkan segala potensi intelektual untuk memahaminya). Wallahu A’lam
Sumber : Dr.Aam Amiruddin, MS.i