Citra Partai Politik Islam Dipertaruhkan

Proses pencalonan presiden dan wakil presiden dalam Pemilu 2009 melahirkan citra buruk bagi partai politik ataupun politisi muslim. Proses penentuan calon wakil presiden pendamping SBY pun dimanfaatkan lawan politiknya untuk menyudutkan partai Islam.

Tiga pasangan capres-cawapres yang akan ikut pilpres Juli nanti, yaitu Mega-Letjen Prabowo Subianto , yang diajukan oleh PDIP-Gerindra, Jusuf Kalla-Jendral Wiranto, yang diajukan Golkar-Hanura, dan Jendral Susilo Bambang Yudhoyono-Budiono, yang diajukan Partai Demokrat dan mitra koalisinya. Ketiga calon pasangan ini mencerminkan campuran antara sipil – militer. Dimana posisi partai-partai Islam?

Sejak zaman Orde Baru, sampai hari ini, belum ada, baik itu perorangan atau kolektif, melalui wadah organisasi politik, yang secara serius dan sungguh-sungguh, membangun sebuah kekuatan Islam politik, yang bersifat nasional. Ini menjadi sebuah tanda tanya besar. Apa sejatinya yang melatarbelakangi kondisi dikalangan umat Islam?

Kiprah parpol Islam dalam Pemilu 2009 ini tak bisa dipisahkan dari Pemilu 2004. tepatnya, politisi muslim belajar dari pahit getirnya Pemilu 2004. Saat itu, hampir semua parpol menggandeng santri agar dapat memenangi pilpres. Sebutlah, Wiranto menggandeng K.H Salahudin Wahid, Megawati menggandeng K.H Hasyim Muzadi, Siswono Yudhohusodo menggandeng Amien Rais. Yang berhasil, justru Yudhoyono yang menggandeng Jusuf Kalla. Pasangan yang tidak dikenal publik sebagai santri. Satu-satunya dalam sejarah politik Indonesia, partai Islam, yang berhasil mendapatkan suara relative besar, hanya Partai Masyumi,di dalam pemilu tahun 1955 mendapatkan suara 20 persen.

Belajar dari pengalaman itu, partai Islam dalam Pemilu 2009 tak seorang pun yang percaya diri mencalonkan sendiri calon presiden. Mereka lebih banyak bersandar kepada Yudhoyono yang popularitasnya memang terus naik. Mereka lebih memilih menjadikan para pemimpin militer, yang mereka jadikan patron politik mereka. Apakah memang seperti ini kondisi internal partai-partai Islam, yang tidak memiliki kualitas yang baik, dan hanya tipologi pemimpin yang pragmatik dan oportunistik?

http://www.republika.co.id/images/news/2009/04/20090421174727.jpg


Seharusnya kekuatan Islam politik ini harus mempunyai kesadaran yang sifatnya kolektif, membangun kekuatan Islam politik, melalui konsolidasi yang sifatnya permanent, yang berkelanjutan, tidak hanya menjelang pemilu legislative, atau pemilu presiden/wakil presiden. Sifatnya terus menerus atau berkelanjutan. Harus dibangun komunikasi politik diantara para pemimpin partai Islam, dan kerjasama antara partai-partai Islam, membangun persamaan persepsi, khususnya menghadapi persoalan-persoalan pokok yang menjadi agenda bersama, dan tujuan bersama. Sekarang, partai-partai Islam terus mengalami konflik diinternal mereka, perbedaan persepsi, hilangnya ‘ghiroh’ Islam, dan bahkan tidak berani menampilkan ciri dan prinsip Islam, ketika berpolitik. Padahal, di era demokrasi (kebebasan) seperti sekarang ini, tidak ada restriksi (pembatasan) terhadap mereka dalam melakukan aktifivitas berpolitik.

Kaum sekuleris, melalui wadah politik, mereka secara terang-terangan dan terbuka, berani mengangkat agenda-agenda mereka, dan memperjuangkan kepentingan, cita-cita dan ideologi sekuler mereka. Sementara, para pemimpin Islam dan partai-partai Islam, menjauhkan diri dari cita-cita, ideologi, dan prinsip Islam, dan mereka cenderung menolak secara terang-terangan agenda-agenda Islam, dan kepentingan umat Islam. Ketika memimpin, mereka seakan-akan tidak ada keterkaitan dengan Islam. Inilah problem yang sifatnya fundamental yang terjadinya dikalangan para pemimpin partai-partai Islam.

Seiring dengan dinamika ini, maka runyamlah wajah bangunan partai Islam. Kalau alasan utamanya hanya tidak suka terhadap cawapres pasangan capres SBY, sebetulnya partai-partai Islam bisa keluar dari koalisi. Meskipun hanya memiliki waktu dalam hitungan jam, mereka bisa melakukan konsolidasi setelah mendaftar sebagai capres-cawapres. Lagi pula, pada saat politisi nasionalis terpecah ke dalam tiga kelompok – Koalisi SBY Berbudi, JK-Win, dan Mega-Pro – maka peluang partai Islam terbuka lebar.

Situasi ini bisa disamakan dengan pilkada Jawa Barat, ketika Ahmad Heryawan mampu memenangi pemilu gubernur. Sebab, peta kekuatan politik Indosesia sampai saat ini belum berubah nasionalis dan agamis. Kaum nasionalis berjumlah sekitar 60 persen dan agamis 40 persen. Pada saat nasionalis terpecah ke dalam tiga blok, maka partai agamis berpeluang menang.
Kenyataannya, partai Islam tidak berani keluar dari koalisi. Sehingga dinamika politik ini meninggalkan kesan kurang baik pada parpol dan politisi Islam. Bagaimana membersihkan citra ini? Inilah pekerjaan rumah mereka yang tidak ringan. Sebab, memulihkan citra pun bagian dari dakwah.


Wallahu A’lam

Penulis :
– Teh Emilia

Sumber:
– www.eramuslim.com
– Harian umum Pikiran Rakyat, 17 Mei 2009

Humas PI

Humas PI

PERCIKAN IMAN ONLINE DIGITAL - Ruko Komplek Kurdi Regency 33A Jl. Inhoftank, Pelindung Hewan Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40243 Telp. 08112216667 | info@percikaniman.org

Related Post

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *