Nabi Muhammad Saw. pernah mewasiatkan bahwa kematian itu seperti kambing yang tengah dikuliti dalam keadaan hidup-hidup. Itulah juga yang dialami oleh Al-Qamah. Penderitaan sesakit kambing yang dikuliti hidup-hidup itu tengah dikecapnya. Apa yang menyebabkan Al-Qamah begitu “betah” dengan sakaratul maut yang menyiksa? Rupanya, Al-Qamah tidak mendapatkan ridho dari ibunya. Ibunya marah dan sakit hati lantaran Al-Qamah lebih memedulikan istrinya ketimbang dirinya.
Setelah dibujuk sedemikian rupa, ibunda Al-Qamah tetap pada pendiriannya untuk tidak meridhoi dan memaafkan Al-Qamah. Bahkan, orang sekaliber Nabi Muhammad Saw. pun tidak membuat ibunda Al-Qamah mengubah pendiriannya. Betapa terlalu menyakitkan apa yang telah dilakukan Al-Qamah terhadapnya.
Nabi Muhammad Saw. lalu menyuruh sahabat untuk membakar Al-Qamah agar penderitaan Al-Qamah lekas berakhir. Tentu saja, itu siasat belaka. Pendirian ibunda Al-Qamah goyah, lalu maaf pun diberikannya. Selepas itu, Al-Qamah mengembuskan napas terakhir. Ke alam baka, dia menggendong maaf ibunda.
Lalu, apakah memang berat memaafkan itu sehingga ada yang mencetuskan kalimat “memaafkan itu lebih sulit daripada meminta maaf”?
Menurut Dr. Ibrahim Elfiky, kiranya ada tiga mitos yang berkembang di masyarakat tentang betapa beratnya memaafkan. Pertama, memaafkan berarti menunjukkan kelemahan diri. Kedua, memaafkan berarti menerima luka dan penderitaan orang lain. Ketiga, memaafkan berarti melupakan.
Jika kita tilik, memaafkan biasanya berasal dari orang yang terzalimi. Sudah menjadi tabiat manusia, ketika diri terzalimi maka keinginan untuk membalas dengan perlakuan sama, bahkan lebih, akan muncul. Pembalasan setimpal atau lebih ini di masyarakat kita dianggap sebagai sebuah kelaziman, bahkan menunjukkan bahwa orang yang terzalimi sama sekali tidak lemah. Sehingga, ketika seseorang memaafkan orang yang menzaliminya dianggap sebagai orang yang lemah, atau justru memberikan kekuatan kepada orang yang menzalimi untuk berbuat zalim lagi. Membalas dengan setimpal, bahkan lebih, kepada orang yang menzalimi dianggap akan membuatnya jera.
Padahal, membalas dengan setimpal, bahkan lebih, kepada orang yang menzalimi hanya akan menempatkannya pada posisi terzalimi dan tidak menutup kemungkinan akan membalas kembali dengan balasan setimpal atau lebih. Memendam dendam sama sekali tidak memberikan manfaat. Yang ada, malah kita akan dikuasai kebencian yang membuat hidup tidak nyaman. Kita akan dilingkupi prasangka jelek yang membuat makan, tidur, dan segala aktivitas kita tidak mengenakkan.
Bukankah api hanya akan padam dengan air? Kalau api dibalas api, alamat kebakaran yang akan terjadi.
Akan tetapi, memaafkan juga tidak berarti kita menyetujui perbuatan zalim. Ini juga yang lalu menjadi mitos kedua bahwa memaafkan kesalahan orang lain dianggap sebagai penerimaan atas luka dan penderitaan yang ditimpakan oleh orang yang menzalimi.
Dr. Ibrahim Elfiky mengatakan, ada perbedaan besar antara memaafkan dan menyetujui sebuah tindakan. Meskipun kita memaafkan kesalahan seseorang, kita juga punya hak untuk tidak setuju dengan perbuatan seseorang. Kita hanya boleh membenci perilakunya, bukan orangnya.
Itulah mengapa, menurut Dr. Ibrahim Elfiky, memaafkan seseorang bukan berarti kita mesti melupakan perbuatannya. Di tengah masyarakat kita, dan ini menjadi mitos yang ketiga, memaafkan perbuatan seseorang berarti juga melupakannya. Padahal, menurut Dr. Ibrahim Elfiky, dengan tidak melupakan perbuatan zalim meskipun kita memaafkannya, akan membuat diri mawas sehingga kita tidak mengulangi perbuatan yang sama di masa depan. Yang harus dilakukan, kata Dr Ibrahim, adalah memaafkan orangnya, ambil pelajaran dari situasinya, ingat selalu pelajarannya, lalu lepaskan emosi negatif yang menyertainya.
Rasulullah Itu Pemaaf
Di awal risalah, orang yang paling banyak menerima perbuatan zalim adalah Rasulullah Saw. Betapa beliau dinistakan, dilempari kotoran unta, dilempari batu, diancam akan dibunuh, bahkan terusir dari tanah kelahiran.
Namun, sederet kezaliman yang menimpa Rasulullah itu tidak lantas melunturkan pribadi agung Rasulullah sebagai pemaaf. Hal ini terbukti manakala Rasulullah berhasil menaklukkan Mekkah. Saat itu, posisi Rasulullah sudah bukan lagi si tertindas, tetapi penguasa yang memiliki kekuatan besar.
Orang-orang Quraisy yang pernah menzalimi Rasulullah di masa lalu sangat waswas bahwa Rasulullah akan menuntut balas. Nyatanya, Rasulullah Saw. memaafkan semua kesalahan kaum Quraisy yang pernah diterimanya.
Sifat pemaaf Rasulullah tidak jarang membuat orang-orang terpesona. Seperti yang dialami oleh seorang Yahudi, Sa‘ad bin Syan‘ah. Kejadiannya, Rasulullah punya utang kepada Sa’ad bin Syan‘ah. Pada saat jatuh tempo pembayaran masih menyisakan waktu tiga hari, Sa‘ad sudah menagih. Dia mencari Rasulullah dan bertemulah mereka di jalan. Sa‘ad langsung memegang selendang Rasulullah dengan keras seraya berkata,
“Kamu telah lalai membayar utang.” Umar bin Khattab yang sedang bersama Rasulullah langsung mengeluarkan pedang, hendak menebas leher Sa‘ad. Namun, Rasulullah mencegahnya, lalu berkata, “Saya memang punya utang kepada Sa‘ad.”
Rasulullah lantas menasihati Umar, “Sikap kamu yang lebih tepat wahai Umar adalah menyuruhku untuk membayar utang dan menyuruh dia menagih utang dengan cara yang baik. Sebenarnya, jatuh tempo utang masih tiga hari lagi. Tapi baiklah, tolong bayarkan utang itu dan tambahkan beberapa dirham agar hilang kemarahannya.”
Melihat sikap pemaaf dan pemurah Rasulullah Saw., Sa‘ad menjadi malu dan terpesona. Dia langsung menyatakan masuk Islam.
Memaafkan juga Menyehatkan
Memaafkan juga berimbas positif dengan kesehatan. Banyak psikolog yang telah melakukan penelitian mengatakan bahwa memaafkan dengan tulus akan meringankan beban hidup. Worthington Jr., pernah melakukan riset dengan menggunakan piranti pencitraan otak. Dua orang, yang satu pemaaf dan yang satu pendendam, direkam pola gambaran otaknya.
Hasil percobaan menunjukkan, pendendam memiliki kecenderungan peningkatan kekentalan darah, ketegangan otot, dan tekanan darah yang tidak stabil, bahkan cenderung stres. Sedangkan yang terjadi dengan pemaaf justru sebaliknya, yakni tekanan darah stabil sehingga kinerja tubuh menjadi optimal.
Memaafkan itu sungguh ajaib. Allah Swt. berfirman, “Dan jika kamu memaafkan, itu lebih dekat pada takwa.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 237). Dalam ayat lain, “Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu?” (Q.S. An-Nuur [24]: 22). Rasulullah pun pernah bersabda, “Seseorang tidak dikatakan kuat karena dapat membanting lawan-lawannya. Tapi, orang yang kuat adalah dia yang mampu menahan emosinya saat marah.” (H.R. Bukhari) [Fatih]
Sumber : Fokus, MaPI Mei 2012