Secara prinsip, setiap individu muslim wajib berdakwah yang disesuaikan dengan kapasitas dan kemampuannya masing-masing. “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah … ” (Q.S. Ali Imran 3: 110)
Menyuruh kepada yang ma’ruf (amar ma’ruf) berarti menegakkan nilai-nilai kebenaran, memperjuangkan perbaikan kehidupan dan penghidupan dengan pembangunan di bidang ekonomi, meningkatkan mutu pendidikan, meningkatkan pelayanan kesehatan dalam rangka menuju kesejahteraan lahir batin, dan lain-lain.
Mencegah diri dari yang munkar (nahyi munkar) berarti berusaha untuk memberantas kemaksiatan, memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme, narkoba, dan lain-lain.
Beriman kepada Allah berarti adanya kesadaran spiritual akan keyakinan kepada Allah swt. dalam kehidupan sehari-hari, baik sosial, politik, ekonomi, pertahanan, dan keamanan.
Amar ma’ruf dan nahyi munkar akan lebih efektif jika kita memiliki kekuasaan, sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasulullah saw. Berikut, ”Siapa yang melihat kemunkaran, maka ubahlah dengan kekuasaan. Kalau tidak mampu, maka ubahlah dengan lisan (tulisan). Kalau tidak mampu juga, maka ubahlah dengan hati. Dan inilah iman yang paling lemah.”
Apabila ada di antara kita yang aktif dalam partai dengan niat berdakwah lewat parlemen (kekuasaan), tentu kita harus menghargainya karena hal itu tidak terlarang, bahkan dikategorikan amal mulia kalau benar-benar dilakukan dengan niat yang lurus. Bukankah Nabi saw. bersabda dalam hadis riwayat Bukhari, ”Innamal A’maalu binniyyah (Setiap amal itu bergantung pada niat).”
Hukumnya haram apabila kita menjadi anggota legislatif hanya untuk mendapatkan jabatan semata, sekadar untuk kesenangan pribadi dengan fasilitas yang serba mudah, namun tidak memperjuangkan aspirasi rakyat.
Abu Sa’id (Abdurrahman) bin Samurah r.a. berkata, Rasulullah saw. telah bersabda kepada saya, “Ya Abdurrahman bin Samurah, jangan menuntut kedudukan dalam pemerintahan, karena jika kamu diserahi jabatan tanpa minta, kamu akan dibantu oleh Allah untuk melaksanakannya, tetapi jika dapat jabatan itu karena ambisimu, maka akan diserahkan ke atas bahumu atau kebijaksanaanmu sendiri…” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Jabatan sebagai anggota parlemen merupakan amanat yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Jangan meminta jabatan, tetapi seandainya terpilih, terimalah dengan penuh tanggung jawab. Abu Bakar r.a., Umar bin Khathab r.a., Utsman bin Affan r.a., dan Ali bin Abi Thalib r.a. merupakan insan-insan yang tidak berambisi untuk mendapatkan jabatan, akan tetapi umat telah memilihnya sebagai khalifah, maka mereka pun menerimanya. Umar bin Khatab r.a. berkata, “Andai ada kuda terperosok di jalan, Umarlah yang bertanggung jawab”.
Suatu hari, Abdullah bin Umar (putranya Umar bin Khathab) berkunjung ke kantornya. Abdullah ditanya, apakah engkau datang mengunjungi aku sebagai ayah atau atas nama pemerintahan. Abdullah menjawab, aku datang atas nama pribadi karena aku rindu kepada ayah. Maka Umar memadamkan lentera di kantornya dengan alasan bahwa itu milik rakyat dan tidak berhak untuk menggunakannya di luar urusan pemerintahan.
Ini gambaran bahwa Umar bin Khathab r.a. adalah seorang khalifah yang sangat memegang amanatnya sebagai pemimpin. “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…” (Q.S. An-Nisa 4: 58).
Rasulullah saw. bersabda, “Apabila amanat disia-siakan, maka nantikan kehancurannya.” Nabi saw. ditanya, apa yang dimaksud dengan menyia-nyikan itu? Rasulullah saw. menjawab, “Apabila wewenang pengelolaan diserahkan kepada yang tidak mampu.” (H.R. Bukhari). Jadi, kalau kita tidak punya kapabilitas untuk menjadi anggota legislatif tapi memaksakan diri, sesungguhnya kita telah menghianati amanat.
Bertolak dari analisis ini, bisa disimpulkan bahwa kita boleh dakwah melalui parlemen asal niatnya lurus amar makruf nahyi munkar (dakwak) dan kita pun punya kapabilitas dan kemampuan untuk memegang amanah sebagai anggota legislatif. Wallahu A’lam
Menyuruh kepada yang ma’ruf (amar ma’ruf) berarti menegakkan nilai-nilai kebenaran, memperjuangkan perbaikan kehidupan dan penghidupan dengan pembangunan di bidang ekonomi, meningkatkan mutu pendidikan, meningkatkan pelayanan kesehatan dalam rangka menuju kesejahteraan lahir batin, dan lain-lain.
Mencegah diri dari yang munkar (nahyi munkar) berarti berusaha untuk memberantas kemaksiatan, memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme, narkoba, dan lain-lain.
Beriman kepada Allah berarti adanya kesadaran spiritual akan keyakinan kepada Allah swt. dalam kehidupan sehari-hari, baik sosial, politik, ekonomi, pertahanan, dan keamanan.
Amar ma’ruf dan nahyi munkar akan lebih efektif jika kita memiliki kekuasaan, sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasulullah saw. Berikut, ”Siapa yang melihat kemunkaran, maka ubahlah dengan kekuasaan. Kalau tidak mampu, maka ubahlah dengan lisan (tulisan). Kalau tidak mampu juga, maka ubahlah dengan hati. Dan inilah iman yang paling lemah.”
Apabila ada di antara kita yang aktif dalam partai dengan niat berdakwah lewat parlemen (kekuasaan), tentu kita harus menghargainya karena hal itu tidak terlarang, bahkan dikategorikan amal mulia kalau benar-benar dilakukan dengan niat yang lurus. Bukankah Nabi saw. bersabda dalam hadis riwayat Bukhari, ”Innamal A’maalu binniyyah (Setiap amal itu bergantung pada niat).”
Hukumnya haram apabila kita menjadi anggota legislatif hanya untuk mendapatkan jabatan semata, sekadar untuk kesenangan pribadi dengan fasilitas yang serba mudah, namun tidak memperjuangkan aspirasi rakyat.
Abu Sa’id (Abdurrahman) bin Samurah r.a. berkata, Rasulullah saw. telah bersabda kepada saya, “Ya Abdurrahman bin Samurah, jangan menuntut kedudukan dalam pemerintahan, karena jika kamu diserahi jabatan tanpa minta, kamu akan dibantu oleh Allah untuk melaksanakannya, tetapi jika dapat jabatan itu karena ambisimu, maka akan diserahkan ke atas bahumu atau kebijaksanaanmu sendiri…” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Jabatan sebagai anggota parlemen merupakan amanat yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Jangan meminta jabatan, tetapi seandainya terpilih, terimalah dengan penuh tanggung jawab. Abu Bakar r.a., Umar bin Khathab r.a., Utsman bin Affan r.a., dan Ali bin Abi Thalib r.a. merupakan insan-insan yang tidak berambisi untuk mendapatkan jabatan, akan tetapi umat telah memilihnya sebagai khalifah, maka mereka pun menerimanya. Umar bin Khatab r.a. berkata, “Andai ada kuda terperosok di jalan, Umarlah yang bertanggung jawab”.
Suatu hari, Abdullah bin Umar (putranya Umar bin Khathab) berkunjung ke kantornya. Abdullah ditanya, apakah engkau datang mengunjungi aku sebagai ayah atau atas nama pemerintahan. Abdullah menjawab, aku datang atas nama pribadi karena aku rindu kepada ayah. Maka Umar memadamkan lentera di kantornya dengan alasan bahwa itu milik rakyat dan tidak berhak untuk menggunakannya di luar urusan pemerintahan.
Ini gambaran bahwa Umar bin Khathab r.a. adalah seorang khalifah yang sangat memegang amanatnya sebagai pemimpin. “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…” (Q.S. An-Nisa 4: 58).
Rasulullah saw. bersabda, “Apabila amanat disia-siakan, maka nantikan kehancurannya.” Nabi saw. ditanya, apa yang dimaksud dengan menyia-nyikan itu? Rasulullah saw. menjawab, “Apabila wewenang pengelolaan diserahkan kepada yang tidak mampu.” (H.R. Bukhari). Jadi, kalau kita tidak punya kapabilitas untuk menjadi anggota legislatif tapi memaksakan diri, sesungguhnya kita telah menghianati amanat.
Bertolak dari analisis ini, bisa disimpulkan bahwa kita boleh dakwah melalui parlemen asal niatnya lurus amar makruf nahyi munkar (dakwak) dan kita pun punya kapabilitas dan kemampuan untuk memegang amanah sebagai anggota legislatif. Wallahu A’lam