Dari Nawas bin Sam’an rodhiallohu ‘anhu bahwa Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kebajikan itu adalah budi pekerti yang baik, dan dosa itu adalah segala sesuatu yang menggelisahkan perasaanmu dan yang engkau tidak suka bila dilihat orang lain.” (HR. Muslim)
Dan dari Wabishah bin Ma’bad rodhiallohu ‘anhu dia berkata: Aku datang kepada Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Apakah engkau datang untuk bertanya tentang kebajikan?” Aku berkata,” Ya.” Beliau bersabda, “Bertanyalah kepada hatimu. Kebajikan adalah apa yang menjadikan tenang jiwa dan hati, sedangkan dosa adalah apa yang menggelisahkan jiwa dan menimbulkan keraguan dalam hati, meskipun orang-orang terus membenarkanmu.” (Hadits hasan yang kami riwayatkan dari Musnad Imam Ahmad bin Hambal dan Musnad Imam Ad-Darimi dengan sanad hasan)
Maraji’ul Hadits (Referensi hadits)
1. Shahih Muslim : Kitabul Al-Birr wa As-Shilah,, Bab Tafsir Al-bir wa Al-itsm…Hadits nomor 2553.
2. Musnad Imam Ahmad: (4/228)
3. Sunan Ad-Darimi (2/246)
Ahammiyatul Hadits (Urgensi Hadits)
Ibnu Hajar Al-Haitamy berkata, “Hadits ini termasuk jawami’ul kalim. Bahkan termasuk paling singkat. Karena kata Al-Birr (kebajikan) adalah kata yang mencakup semua perbuatan dan etika baik. Sedangkan kata Al-Itsmu (dosa) adalah kata yang mencakup semua perbuatan jahat dan semua perbuatan keji, yang besar dan yang kecil. Karena itulah, Nabi saw. menyebutkan keduanya secara langsung dan menjadikannya saling berlawanan.
Fiqhul Hadits (Kandungan Hadits)
1. Definisi Al-Birr (kebaikan)
Dalam hadits Nawwas bin Sam’an ra., Nabi saw. mendefinisikan kebaikan dengan akhlak yang terpuji. Sedangkan dalam Hadits Wabishah bin Ma’bad ra., dijelaskan bahwa kebajikan adalah apa-apa yang mendatangkan ketenangan dalam hati dan jiwa.
Sekilas, dua hadits tersebut memiliki perbedaan dalam mendefinisikan kebajikan. Hal ini bisa dijabarkan, bahwa mempunyai dua pengertian, yaitu :
a. Yang dimaksud dengan kebajikan adalah bermuamalah dengan orang lain dengan berbuat baik kepada mereka. Bisa juga secara khusus kepada dua orang tua, seperti sering disebutkan, “Birrul Walidain.”
b. Yang dimaksud dengan Al-Birru (kebajikan) adalah semua perbuatan yang merupakan wujud dari ketaatan kepada Allah, baik lahir ataupun batin meliputi semua ketaatan kepada Allah yang bersifat batin, seperti : iman kepada Allah, kepada malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan iman kepada hari Akhir. Juga meliputi perbuatan zahir, seperti : Infak, shalat, zakat, menepati janji, sabar, dan lain sebagainya.
2. Kebenaran bisa diketahui dari Fitrah manusia.
Rasulullah saw. bersabda,”Bahwa kebajikan adalah sesuatu yang mendatangkan ketenangan dalam hati dan jiwa”, merupakan bukti bahwa Allah swt. telah memberikan fitrah kepada hambanya untuk bisa mengetahui dan menerima kebenaran. Rasulullah bersabda, “Setiap bayi dilahirkan dalam kemurnian fitrahnya (dalal keadaan suci).”
Abu Hurairah ra., yang meriwayatkan hadits ini berkata, “Jika kalian mau, bacalah, “Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.” (Ar-Ruum:30)
Allah juga telah memberitahukan bahwa hati seorang mukmin akan merasa tenang dengan zikir kepada-Nya, kerana hati akan lapang kengan cahaya keimanan, maka ketika berhadapan dengan sesuatu yang sifatnya samar (tidak jelas), akan dikembalikan kepada hati. Jika hati merasa tenang maka hal itu adalah kebajikan. Namun jika hati merasa resah dan gelisah maka bisa dipastikan bahwa hal itu adalah dosa.
Allah berfirman, “Ingatlah, dengan zikir kepada Allah hati akan tenang.” (Ar-Ra’d:13)
3. Tanda-tanda dosa.
Dosa memiliki dua tanda. Tanda yang sifatnya di dalam dan tanda yang sifatnya di luar. Tanda yang sifatnya di dalam adalah kegundahan di dalam hati atau tidak merasa tenang.
Rasulullah bersabda, “Dosa adalah apa-apa yang menimbulkan kegundahan di dalam gati.” Dengan demikian, betul apa yang dikatakan Ibnu Mas’ud bahwa dosa adalah kepedihan hati.
Adapun tanda-tanda luar adalah tidak suka (rasa tidak suka yang diukur oleh ukuran agama) jika dilihat orang lain.
4. Keraguan terhadap fatwa.
Jika seorang muslim meragukan suatu fatwa, karena bertentangan dengan suara hatinya. Maka ia boleh meninggalkan fatwa tersebut. Karena fatwa berbeda dengan sikap takwa dan wara’. Seorang mufti (pemberi fatwa), melihat dari sisi zahirnya dan tidak mengetahui sisi batin orang yang diberi fatwa. Sedangkan seorang muslim (yang meminta fatwa tersebut) lebih mengetahui kondisi dirinya. Atau, fatwa yang diberikan didasari oleh praduga dan kecenderungan hawa nafsu.
Imam Nawani berkata, “Jika sebuah hadiah diberikan oleh seseorang yang hartanya didominasi oleh barang yang haram, sementara penerima hadiah ragu akan kehalalan hadian tersebut. Lalu mufti manfatwakan kehalalan hadian tersebut. Maka, hadiah tersebut tetap meragukan, dan sebaiknya ia tidak memakannya.
Lain halnya jika fatwa dikuatkan oleh dalil syar’i, maka setiap muslim harus mengikuti fatwa tersebut. Meskipun terasa berat baginya. Misalnya masalah rukhshah (keringanan) yang diberikan oleh syari’at, seperti berbuka puasa ketika bepergian atau sakit, menqashar shalat ketika bepergian.
5. Mukjizat Rasulullah saw.
Hadits yang diriwayatkan oleh Wabishah ra. Mengungkap satu mukjizat besar yang dimiliki Nabi Muhammad saw. Yaitu ketika beliau mengabarkan apa yang ada dalam hati Wabishah ra. sebelum ia mengungkapkannya. Rasulullah saw. bersabda kepadanya, “Kamu datang untuk menanyakan tentang al-birr (kebaikan)?”
Wabishah ra. menceritakan, “Saya datang kepada Rasulullah. Saya ingin menanyakan semua tentang kebaikan dan dosa. Saya berkata kepada para sahabat yang ada di sekitarku, “Biarkan aku mendekat kepada Rasulullah. Aku sungguh sangat merindukan untuk dekat dengan beliau.” Rasulullah saw. bersabda, “Mendekatlah, hai Wabishah.” Aku mendekat, hingga dua lututku menyentuh dua lutut beliau. Beliau berkata, “Maukah kamu, aku beritahu tentang permasalahan yang ingin kamu tanyakan?” “Silahkan, Ya Rasulullah.” Beliau bersabda, “Kamu datang untuk bertanya tentang kebaikan dan dosa.” “Ya.” Lalu beliau merapatkan jari-jarinya dan menepuk dadaku seraya bersabda, “Hai Wabishah, tanyalah kepada hati nuranimu. Kebaikan adalah apa yang mendatangkan ketenangan diri. Sedangkan dosa adalah yang menjadikan hatimu gundah dan ragu-ragu. Meskipun orang lain memberikan pendapat yang berbeda.”
6. Memposisikan orang lain pada posisi yang semestinya.
Rasulullah saw. menyuruh Wabishah ra. agar bertanya pada hati nuraninya. Rasulullah mengetahui bahwa Wabishah ra. mampu untuk melakukannya, karena beliau tahu bahwa Wabishah adalah orang yang memiliki cara berpikir yang baik dan hati yang bersih. Seandainya berhadapan dengan orang yang hatinya keras dan cara berpikirnya tidak baik, tentu beliau tidak memberikan jawaban seperti itu. Jawaban yang diberikan tentu secara rinci tentang perintah dan larangan.
Sungguh satu gambaran metode pendidikan yang tepat dan memikat. Rasulullah saw. mendidik para sahabat sesuai dengan kemampuan nalar mereka. Bahkan beliau memerintahkan agar memposisikan orang lain pada posisi yang semestinya.
7. Rasulullah memiliki Akhlak yang paling mulia.
Akhlak Rasulullah adalah paling mulia, karena merupan implementasi dari syariat dan berbagai adab dalam Al-Qur’an. Karenanya, Allah memuji beliau dalam ayat-Nya, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Al-Qolam:4)
Aisyah ra. berkata, “Akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an.” Ini tidak lain karena Rasulullah melaksanakan semua adab yang ada dalam Al-Qur’an, menjalankan semua perintah dan menjauhi semua larangan yang ada dalam Al-Qur’an, sehingga implementasi dari semua nilai-nilai yang ada dalam Al-Qur’an tersebut telah menyatu dan menjadi kebiasaan serta tabiat.
Hadits di atas mendorong kita untuk berusaha memiliki akhlak yang mulia, karena akhlak yang mulia merupakan bagian yang terbesar dari kebajikan.
8. Agama memiliki kontrol dari dalam diri manusia. Sedangkan hukum wadh’i (buatan manusia) hanya memiliki kontrol luar.
9. Agama memiliki kontrol dari dalam diri manusia. Sedangkan hukum wadh’i (buatan manusia) hanya memiliki kontrol luar.
10. Agama mencegah seseorang dari melakukan suatu dosa, karena agama menjadikan jiwa sebagai pengawas bagi setiap manusia. Berbeda dengan hukum wadh’i, yang hanya menekankan sisi luar. Sehingga mudah bagi manusia untuk melakukan tipu muslihat.
Semoga bermanfaat. terutama bagi yang merasa belum pernah menemukan apa itu ‘dosa’.
Dan dari Wabishah bin Ma’bad rodhiallohu ‘anhu dia berkata: Aku datang kepada Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Apakah engkau datang untuk bertanya tentang kebajikan?” Aku berkata,” Ya.” Beliau bersabda, “Bertanyalah kepada hatimu. Kebajikan adalah apa yang menjadikan tenang jiwa dan hati, sedangkan dosa adalah apa yang menggelisahkan jiwa dan menimbulkan keraguan dalam hati, meskipun orang-orang terus membenarkanmu.” (Hadits hasan yang kami riwayatkan dari Musnad Imam Ahmad bin Hambal dan Musnad Imam Ad-Darimi dengan sanad hasan)
Maraji’ul Hadits (Referensi hadits)
1. Shahih Muslim : Kitabul Al-Birr wa As-Shilah,, Bab Tafsir Al-bir wa Al-itsm…Hadits nomor 2553.
2. Musnad Imam Ahmad: (4/228)
3. Sunan Ad-Darimi (2/246)
Ahammiyatul Hadits (Urgensi Hadits)
Ibnu Hajar Al-Haitamy berkata, “Hadits ini termasuk jawami’ul kalim. Bahkan termasuk paling singkat. Karena kata Al-Birr (kebajikan) adalah kata yang mencakup semua perbuatan dan etika baik. Sedangkan kata Al-Itsmu (dosa) adalah kata yang mencakup semua perbuatan jahat dan semua perbuatan keji, yang besar dan yang kecil. Karena itulah, Nabi saw. menyebutkan keduanya secara langsung dan menjadikannya saling berlawanan.
Fiqhul Hadits (Kandungan Hadits)
1. Definisi Al-Birr (kebaikan)
Dalam hadits Nawwas bin Sam’an ra., Nabi saw. mendefinisikan kebaikan dengan akhlak yang terpuji. Sedangkan dalam Hadits Wabishah bin Ma’bad ra., dijelaskan bahwa kebajikan adalah apa-apa yang mendatangkan ketenangan dalam hati dan jiwa.
Sekilas, dua hadits tersebut memiliki perbedaan dalam mendefinisikan kebajikan. Hal ini bisa dijabarkan, bahwa mempunyai dua pengertian, yaitu :
a. Yang dimaksud dengan kebajikan adalah bermuamalah dengan orang lain dengan berbuat baik kepada mereka. Bisa juga secara khusus kepada dua orang tua, seperti sering disebutkan, “Birrul Walidain.”
b. Yang dimaksud dengan Al-Birru (kebajikan) adalah semua perbuatan yang merupakan wujud dari ketaatan kepada Allah, baik lahir ataupun batin meliputi semua ketaatan kepada Allah yang bersifat batin, seperti : iman kepada Allah, kepada malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan iman kepada hari Akhir. Juga meliputi perbuatan zahir, seperti : Infak, shalat, zakat, menepati janji, sabar, dan lain sebagainya.
2. Kebenaran bisa diketahui dari Fitrah manusia.
Rasulullah saw. bersabda,”Bahwa kebajikan adalah sesuatu yang mendatangkan ketenangan dalam hati dan jiwa”, merupakan bukti bahwa Allah swt. telah memberikan fitrah kepada hambanya untuk bisa mengetahui dan menerima kebenaran. Rasulullah bersabda, “Setiap bayi dilahirkan dalam kemurnian fitrahnya (dalal keadaan suci).”
Abu Hurairah ra., yang meriwayatkan hadits ini berkata, “Jika kalian mau, bacalah, “Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.” (Ar-Ruum:30)
Allah juga telah memberitahukan bahwa hati seorang mukmin akan merasa tenang dengan zikir kepada-Nya, kerana hati akan lapang kengan cahaya keimanan, maka ketika berhadapan dengan sesuatu yang sifatnya samar (tidak jelas), akan dikembalikan kepada hati. Jika hati merasa tenang maka hal itu adalah kebajikan. Namun jika hati merasa resah dan gelisah maka bisa dipastikan bahwa hal itu adalah dosa.
Allah berfirman, “Ingatlah, dengan zikir kepada Allah hati akan tenang.” (Ar-Ra’d:13)
3. Tanda-tanda dosa.
Dosa memiliki dua tanda. Tanda yang sifatnya di dalam dan tanda yang sifatnya di luar. Tanda yang sifatnya di dalam adalah kegundahan di dalam hati atau tidak merasa tenang.
Rasulullah bersabda, “Dosa adalah apa-apa yang menimbulkan kegundahan di dalam gati.” Dengan demikian, betul apa yang dikatakan Ibnu Mas’ud bahwa dosa adalah kepedihan hati.
Adapun tanda-tanda luar adalah tidak suka (rasa tidak suka yang diukur oleh ukuran agama) jika dilihat orang lain.
4. Keraguan terhadap fatwa.
Jika seorang muslim meragukan suatu fatwa, karena bertentangan dengan suara hatinya. Maka ia boleh meninggalkan fatwa tersebut. Karena fatwa berbeda dengan sikap takwa dan wara’. Seorang mufti (pemberi fatwa), melihat dari sisi zahirnya dan tidak mengetahui sisi batin orang yang diberi fatwa. Sedangkan seorang muslim (yang meminta fatwa tersebut) lebih mengetahui kondisi dirinya. Atau, fatwa yang diberikan didasari oleh praduga dan kecenderungan hawa nafsu.
Imam Nawani berkata, “Jika sebuah hadiah diberikan oleh seseorang yang hartanya didominasi oleh barang yang haram, sementara penerima hadiah ragu akan kehalalan hadian tersebut. Lalu mufti manfatwakan kehalalan hadian tersebut. Maka, hadiah tersebut tetap meragukan, dan sebaiknya ia tidak memakannya.
Lain halnya jika fatwa dikuatkan oleh dalil syar’i, maka setiap muslim harus mengikuti fatwa tersebut. Meskipun terasa berat baginya. Misalnya masalah rukhshah (keringanan) yang diberikan oleh syari’at, seperti berbuka puasa ketika bepergian atau sakit, menqashar shalat ketika bepergian.
5. Mukjizat Rasulullah saw.
Hadits yang diriwayatkan oleh Wabishah ra. Mengungkap satu mukjizat besar yang dimiliki Nabi Muhammad saw. Yaitu ketika beliau mengabarkan apa yang ada dalam hati Wabishah ra. sebelum ia mengungkapkannya. Rasulullah saw. bersabda kepadanya, “Kamu datang untuk menanyakan tentang al-birr (kebaikan)?”
Wabishah ra. menceritakan, “Saya datang kepada Rasulullah. Saya ingin menanyakan semua tentang kebaikan dan dosa. Saya berkata kepada para sahabat yang ada di sekitarku, “Biarkan aku mendekat kepada Rasulullah. Aku sungguh sangat merindukan untuk dekat dengan beliau.” Rasulullah saw. bersabda, “Mendekatlah, hai Wabishah.” Aku mendekat, hingga dua lututku menyentuh dua lutut beliau. Beliau berkata, “Maukah kamu, aku beritahu tentang permasalahan yang ingin kamu tanyakan?” “Silahkan, Ya Rasulullah.” Beliau bersabda, “Kamu datang untuk bertanya tentang kebaikan dan dosa.” “Ya.” Lalu beliau merapatkan jari-jarinya dan menepuk dadaku seraya bersabda, “Hai Wabishah, tanyalah kepada hati nuranimu. Kebaikan adalah apa yang mendatangkan ketenangan diri. Sedangkan dosa adalah yang menjadikan hatimu gundah dan ragu-ragu. Meskipun orang lain memberikan pendapat yang berbeda.”
6. Memposisikan orang lain pada posisi yang semestinya.
Rasulullah saw. menyuruh Wabishah ra. agar bertanya pada hati nuraninya. Rasulullah mengetahui bahwa Wabishah ra. mampu untuk melakukannya, karena beliau tahu bahwa Wabishah adalah orang yang memiliki cara berpikir yang baik dan hati yang bersih. Seandainya berhadapan dengan orang yang hatinya keras dan cara berpikirnya tidak baik, tentu beliau tidak memberikan jawaban seperti itu. Jawaban yang diberikan tentu secara rinci tentang perintah dan larangan.
Sungguh satu gambaran metode pendidikan yang tepat dan memikat. Rasulullah saw. mendidik para sahabat sesuai dengan kemampuan nalar mereka. Bahkan beliau memerintahkan agar memposisikan orang lain pada posisi yang semestinya.
7. Rasulullah memiliki Akhlak yang paling mulia.
Akhlak Rasulullah adalah paling mulia, karena merupan implementasi dari syariat dan berbagai adab dalam Al-Qur’an. Karenanya, Allah memuji beliau dalam ayat-Nya, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Al-Qolam:4)
Aisyah ra. berkata, “Akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an.” Ini tidak lain karena Rasulullah melaksanakan semua adab yang ada dalam Al-Qur’an, menjalankan semua perintah dan menjauhi semua larangan yang ada dalam Al-Qur’an, sehingga implementasi dari semua nilai-nilai yang ada dalam Al-Qur’an tersebut telah menyatu dan menjadi kebiasaan serta tabiat.
Hadits di atas mendorong kita untuk berusaha memiliki akhlak yang mulia, karena akhlak yang mulia merupakan bagian yang terbesar dari kebajikan.
8. Agama memiliki kontrol dari dalam diri manusia. Sedangkan hukum wadh’i (buatan manusia) hanya memiliki kontrol luar.
9. Agama memiliki kontrol dari dalam diri manusia. Sedangkan hukum wadh’i (buatan manusia) hanya memiliki kontrol luar.
10. Agama mencegah seseorang dari melakukan suatu dosa, karena agama menjadikan jiwa sebagai pengawas bagi setiap manusia. Berbeda dengan hukum wadh’i, yang hanya menekankan sisi luar. Sehingga mudah bagi manusia untuk melakukan tipu muslihat.
Semoga bermanfaat. terutama bagi yang merasa belum pernah menemukan apa itu ‘dosa’.
Teh Emil
Sumber : Kitab al Wafi