Percikan Iman – Melihat postingan beberapa selebritis berpose dengan kostum ala barbie, melihat postingan orang-orang di medsos nonton film Barbie, ingin rasanya merasakan euforia yang mereka rasakan. Dalam diri kita muncul kecemburuan, khawatir ketinggalan tren, takut ketinggalan zaman (FOMO). Memang tak semua tren itu buruk, namun kita harus waspada. Jangan sampai kita ikut tren tanpa sadar, malah beresiko pada keselamatan kita di akhirat.
Kehadiran media sosial membuat kita dapat dengan mudah memperoleh informasi. Paparan informasi berbalut sensasi membuat banyak orang kebingungan, akibatnya terjebak pada pengambilan keputusan tanpa sadar. Tergerak oleh tren atau hype. Intensitas informasi yang berulang menjebak kita pada realitas yang seolah-olah “semua orang udah ikutan lho, masa kamu enggak?” Akibatnya, muncul ketakutan tidak menjadi bagian dari dunia.
Padahal faktanya tak seperti itu juga. Namun, algoritma medsos membuatnya seperti itu. Sekali terpancing oleh satu konten, mesin akan menganggapnya sebagai “sesuatu yang kita senangi, maka supply-lah sebanyaknya yang semacam itu”. Tayangan atau postingan yang mengandung euforia menimbulkan fear of missing out (FOMO). Selanjutnya, kita berupaya untuk turut merasakan euforia tersebut.
Euforia sendiri merupakan istilah yang dapat kita temukan dalam studi psikologi atau psikiatri. Sejatinya, euforia merupakan istilah yang mengacu pada sensasi senang karena tertriger oleh fenomena atau perlakuan yang secara umum dinilai memang menyenangkan. Contohnya ialah ketika bapak yang penggemar Persib mendapati tim kesayangannya tersebut menang setelah berkali-kali pertandingan kalah. Bapak bersorak, bahkan sujud syukur. Itu kesenangan yang normal.
Namun, pada tahap tertentu, euforia juga dapat termasuk dalam salah satu bentuk penyakit jiwa. Yaitu, ketika kemenangan tersebut memicu ekspresi, yang secara tak sadar, mungkin mencelakakan kita. Misal, ketika Persib menang, bapak teriak-teriak sampai terdengar se-RT, bahkan menggerung-gerung motor, ugal-ugalan di jalan. Semua itu dapat merugikan bapak bahkan orang lain.
Kemudian, euforia tersebut dapat memicu fear of missing out (FOMO) ketika kita membagikannya di media sosial misalnya. Atau disebarkan dengan sengaja oleh mereka yang memang menginginkan orang ramai-ramai membeli produk mereka. Misal, fenomena konser Coldplay beberapa waktu lalu. Postingan-postingan nuansa konser, kepedulian coldplay pada lingkungan, ditambah postingan orang-orang yang berebut tiket konser, memicu orang-orang yang bahkan tak hafal satu pun lagunya, membeli tiket konser tanpa sadar.
Kendaraan untuk mencari nafkah dijual. Kalaupun tak mendapati barang untuk dijual, pinjol menjadi “solusi” ketakutan mereka. Mereka berpikir, dengan mereka dapat nonton, mereka dapat merasakan euforia yang memapar mereka ratusan hingga ribuan kali (lewat konten). Mereka terjebak pada halusinasi seolah-olah dapat merasakan kesenangan. Padahal tak lama setelah riak tersebut berlalu, kecemasan atau kekhawatiran yang lebih berat menanti mereka.
Sahabat, ketahuilah bahwa memang begitulah dunia. Ia begitu ramah menawarkan berbagai kesenangan pada kita. Namun, jika kita tidak waspada, kita bisa mabuk olehnya. Menjebak kita pada kesenangan semu, padahal jatah umur kita terbatas. Padahal dunia itu sebentar, akhirat itu abadi.
Meski begitu, bukan berarti kita tak boleh menikmati atau tidak berinteraksi dengan perkara yang bersifat duniawi. Bahkan Allah Swt. memang menciptakan dunia untuk kita nikmati. Buktinya, hukum segala sesuatu itu pada dasarnya boleh, hingga ada dalil yang mengharamkannya. Ada begitu banyak hal yang Allah Swt. perbolehkan tuk kita nikmati. Namun, sekali lagi, jangan sampai kita terlena apalagi mabuk, kita harus bijak menyikapinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ ۗوَلَلدَّارُ الْاٰخِرَةُ خَيْرٌ لِّلَّذِيْنَ يَتَّقُوْنَۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ
Kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau, sedangkan negeri akhirat itu sungguh lebih baik bagi orang-orang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti? (QS. Al-An’am:32)
Allah Swt. menegaskan dalam ayat tersebut, dunia itu memang tempatnya permainan dan senda gurau. Namun, bukan berarti kita tidak boleh menikmatinya, melainkan jangan sampai kesenangan tersebut melenakan kita. Bahkan, kita harus berpikir bagaimana menjadikan kesenangan tersebut sebagai sarana kita untuk memperoleh kebahagiaan yang hakiki, yakni di akhirat kelak.
Misal, di sela-sela kesibukan bapak bekerja, ibu mengurus anak dan rumah tangga, bapak-ibu menyempatkan waktu di akhir pekan untuk jalan-jalan. Bapak-Ibu mengajak anak-anak ke kebun binatang atau ke taman-taman kota. Kalau ada rizki lebih, bisa ke Taman Safari. Menyenangkan anak itu bagian dari pemenuhan tanggung jawab kita selaku orang tua, yakni memberikan pengalaman (bagian dari pendidikan) sekaligus memenuhi rasa disayangi oleh orang tuanya. Dalam hal ini, kesenangan justru menjadi sarana ibadah.
Namun, di sisi lain, kesenangan dunia ini juga dapat melenakan. Masalahnya, jiwa manusia memang cenderung memiliki sifat “tidak kunjung puas”, sampai “perutnya penuh oleh tanah” alias meninggal.
Dari Ibnu ‘Abbas, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ أَنَّ لاِبْنِ آدَمَ مِثْلَ وَادٍ مَالاً لأَحَبَّ أَنَّ لَهُ إِلَيْهِ مِثْلَهُ ، وَلاَ يَمْلأُ عَيْنَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ
“Seandainya manusia memiliki lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan harta yang banyak semisal itu pula. Mata manusia barulah penuh jika diisi dengan tanah. Allah tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6437)
Juga dalam hadits lainnya,
bnu Az Zubair pernah berkhutbah di Makkah, lalu ia mengatakan,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَقُولُ « لَوْ أَنَّ ابْنَ آدَمَ أُعْطِىَ وَادِيًا مَلأً مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَانِيًا ، وَلَوْ أُعْطِىَ ثَانِيًا أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَالِثًا ، وَلاَ يَسُدُّ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ »
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya manusia diberi lembah penuh dengan emas, maka ia masih menginginkan lembah yang kedua semisal itu. Jika diberi lembah kedua, ia pun masih menginginkan lembah ketiga. Perut manusia tidaklah akan penuh melainkan dengan tanah. Allah tentu menerima taubat bagi siapa saja yang bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6438)
Allah Swt. memang memberikan kecenderungan pada harta, sebagaimana lelaki pada perempuan – perempuan pada lelaki. Namun, kalau kita tak mengikuti ketentuan-Nya, bisa-bisa kita terjebak pada kepuasan yang tak berujung. Akibatnya, terbukalah peluang maksiat, misal korupsi, yang justru membahayakan kita di negeri akhirat. Cari harta, nikmati secukupnya, infakk-kan sisanya. Karena itu, infak selain bukti iman, juga bermanfaat untuk mencegah kita dari jebakan hawa nafsu tanpa batas.
Waspadalah dengan trik marketing para pelaku industri ponsel pintar. Dari tahun ke tahun, mereka selalu mengeluarkan serial terbaru. Bagi yang mengetahui dan memang menyadari kebutuhan digital safety atau kreasi konten, bisa jadi kebutuhan itu ada karena memang setiap keluarnya serial terbaru, biasanya disertai dengan peningkatan performa. Namun, waspadalah jika tidak ada kebutuhan. Padahal, belum genap setahun membeli ponsel flagship, eh ketika keluar produk teranyar, tanpa pikir panjang, kita langsung membelinya. Itu contoh kecil jebakan “ketidakpuasan”.
Padahal, segala sesuatu yang ada di tangan kita akan lenyap.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللّٰهِ بَاقٍۗ وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِيْنَ صَبَرُوْٓا اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Segala sesuatu yang ada di sisimu akan lenyap dan sesuatu yang ada di sisi Allah adalah kekal. Kami pasti akan memberi balasan kepada orang sabar dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl:96)
Baju yang kita pakai saat bayi, kini sudah tak lagi kita pakai. Mainan yang dulu kita tenteng-tenteng, sepeda yang dulu kita pakai jarambah – main ke desa sebelah, kita sudah menjadi rongsokan. Sebelum lenyap, di dunia pun apa yang kita miliki, pada suatu saat akan berpindah; pindah kepemilikan, hilang, atau bahkan rusak (hancur). Apalagi, ketika kita meninggal, semua yang kita “mati-matian” kita perjuangkan untuk memilikinya, akan kita tinggalkan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۗوَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ
Setiap makhluk bernyawa akan merasakan mati. Kami akan mengujimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami. (QS. Al-Anbiya’:35)
Pahamilah, bahwa semua yang kita miliki, apa yang kita senangi, selama kita masih hidup di dunia (fana), selalu mengandung ujian di dalamnya. Sebulan awal menikah, bisa jadi kita senang, selanjutnya adalah ujian demi ujian. Apalagi ketika sang istri menjadi Ibu. Masa-masa ketika dulu nongkrong, kini harus tertinggalkan. Beralih peran mengurus generasi pelanjut. Belum lagi ujian dari yang menjadi suami. Setiap hari kita menemukan persoalan sehingga kita tertuntut belajar terus menerus.
Begitulah hidup, beda dengan ketika sekolah. Ketika sekolah, belajarnya sebelum ujian, sementara dalam hidup kita belajar setelah ujian. Ketika kita bersabar, menerima dan berjuang, maka kita layak untuk meraih ketenangan. Ketenangan di sela-sela ujian (sepanjang hidup), ketenangan kala meninggal, ketenangan di alam barzakh, dan ketenangan di akhirat. Kembali sebagai jiwa yang tenang, masuk ke dalam surga-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, pasti Kami akan berikan kehidupan yang baik kepadanya dan balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl:97)
Jauhi kesenangan yang haram, nikmati kesenangan yang halal secukupnya tanpa terlena, lebih jauh, jadikan ia sebagai instrumen investasi untuk kita semai di akhirat nanti. Ingat, setiap pilihan hidup ada konsekuensinya. Sekecil apapun, akan dijadikan bahan pertimbangan di Yumil Mizan nanti.
____
Tulisan merupakan pengembangan resume materi Kajian Utama Majelis Percikan Iman yang disampaikan oleh gurunda Ustadz Dr. Aam Amirudin, M.Si pada Ahad (30/7/2023) di Masjid Peradaban Percikan Iman, Arjasari