Faraidh Memeratakan Ekonomi

Percikan Iman – Apa yang sahabat rasakan ketika mendengar ada seseorang yang mewariskan hartanya sejumlah USD 65 juta (Rp 1 triliun) pada seekor simpanse? Terdengar aneh? Namun itu nyata. Yang lainnya, ada yang mewariskan hartanya pada seekor kucing, bahkan ayam. 

Sahabat mungkin bertanya-tanya, “Memangnya hewan-hewan itu punya kehendak apa? Apa yang dapat mereka lakukan dengan harta sebanyak itu?” Apalagi jika melihat kondisi ekonomi penulis yang masih belum termasuk dalam golongan muzakki (mereka yang pendapatannya memenuhi syarat untuk berzakat), sesak rasanya. 

Dunia menggila. Namun, begitulah, aturan di negara-negara tersebut memungkinkan untuk terjadi-nya fenomena tersebut. Binatang yang tak punya hasrat, tak memiliki akal, “memperoleh” harta sebesar itu. 

Mari kita sedikit berpindah ke ketinggian. Kita mungkin dapat melihat fenomena “ketimpangan”, ditambah tiadanya kebijakan yang memungkinkan seseorang memenuhi kebutuhan dasarnya, hidup, kesehatan, dan pendidikan. Salah satu masalahnya, “uang” yang terhambat terlampau besar. 

Untuk itu, upaya pemerintah agar dapat mendistribusikan kekayaan dari mereka yang kebanyakan uang ke yang kekurangan uang pun diberlakukan. Abu A’la Al-Maududi, dalam salah satu teks pidatonya mengatakan, ada tiga pilar dalam Islam untuk menunjang pendistribusian harta, Zakat, Baitul Maal, dan Faraidh. 

Dalam tulisan ini, kita akan coba mengulas Faraidh (kewarisan). Faraidh ini menarik karena lingkup kebijaksanaan dan pelaksanaannya ada dalam ruang lingkup keluarga. Sebagaimana Ustadz Ayat Priyatna pernah sampaikan, waris mewarisi hanya berlaku bagi mereka mukmin yang memiliki hubungan darah atau pernikahan. 

Dalam satu jurnal, dikatakan tujuan “waris” dalam Islam memang sebagai sarana distribusi harta sehingga terjadinya pemerataan ekonomi. Menurut penulis ada dua asas dalam pembagian waris Islam yang membuatnya menjadi saarana pemerataan ekonomi; Ijbari dan individual.

Maksud asa ijbari ialah berpindahnya harta dari individu yang meninggal pada orang yang masih hidup dengan “sendirinya”; sesuai dengan kehendak Allah S.W.T. tanpa usaha dari yang akan meninggal atau kehendak dari orang yang akan menerimanya. Sebagaimana kita dapat temukan dalam Al-Qur’an, Allah S.W.T. mengatur “langsung” cara peralihan harta, jumlah harta, sekaligus kepada siapa harta itu akan beralih. 

Dengan asas ini, almarhum tidak dapat memberikan warisan sekehendaknya pada ahli waris tertentu. Di sisi lain, tidak akan ada ahli waris yang memonopoli harta warisan atas nama “amanat almarhum”. Itu karena , sistem warisan Islam menetapakan setiap bagian sesuai ketentuan Allah S.W.T.

Hal ini tentunya dapat mencegah kecemburuan satu sama lain karena kebijakannya langsung Allah S.W.T. yang mengatur. Tidak ada keponakan yang akan membunuh pamannya, apalagi pewarisan oleh hewan peliharaan. 

Kemudian, dalam sistem waris Islam, harta warisan bersifat individual. Artinya, bagian harta waris dibagikan secara menyeluruh pada masing-masing ahli waris secara tersendiri. Tidak ada warisan “Anak pertama dan istrinya”, tidak ada harta waris “nenek dan ibunya”. 

Sifat individual ini diungkapkan dalam atura pembagian harta itu sendiri. Dalam surat An-Nisa ayat 7, laki-laki dan perempuan masing-masing berhak memperoleh bagian sesuai dengan ketentuan. Artinya, Islam mengakui hak-hak kepemilikan setiap individu. 

Selanjutnya, ketika harta sudah di tangan ahli waris, maka konsumsi masyarakat akan naik dan otomatis mendorong tingkat produksi dan menambah keuntungan produsen. Selain itu, harta waris juga dapat menekan angka pengangguran. Ini terjadi lantaran peningkatan aspek produksi yang menstimuli kebutuhan tenaga kerja.

Kemudian, diakuinya dan dilindunginya kepemilikan pribadi merupakan tonggak terciptanya stabilitas sosial di masyarakat. Itu karena pilar utama masyarakat, yakni keluarga sudah tertib. Stabilitas sosial, selanjutnya akan memicu pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Seseorang tidak perlu khawatir hartanya akan diserobot oleh negara atau orang lain.

Islam memiliki aturan yang tegas. Selama harta masih berfungsi sosial, kepemilikan individu atas harta tersebut diakui dan dilindungi. Selanjutnya, ketika  pertumbuhan ekonomi terwujud, otomatis pasar tenaga kerja pun akan meningkat. Pada titik inilah, pemerataan ekonomi akan perlahan meningkat. 

Sahabat, mari kita kembalikan “waris” pada tata cara yang Islam bawa. Sudah selayaknya, jika kita mengaku orang beriman, memilih cara yang Islam bawa. Ketahuilah, di setiap hukum yang berlaku, terkandung mashlahat yang meluas dalam kehidupan bermasyarakat.

Mari, kita bersama belajar hibah, wasit, dan waris bersama guru kita, Ustadz Ayat Priyatna Muhlis dengan menghubungi +62 812-2002-2782.


Referensi: “Sistem Kewarisan Islam dan Pemerataan Distribusi Kekayaan” oleh A. Chairul Hadi Sekolah Tinggi Ekonomi Syariah (STES), Islamic Village

Media Dakwah Percikan Iman

Media Dakwah Percikan Iman

Yayasan Percikan Iman | Ruko Komplek Kurdi Regency 33A Jl. Inhoftank, Pelindung Hewan Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40243 Telp. 08112216667

Related Post

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *