KEKUASAAN sebagai salah satu perhiasan dunia, selain harta dan keluarga, selalu membawa kecenderungan manusia untuk meraihnya. Fenomena saat ini menunjukkan bagaimana orang berbondong-bondong mengejar kekuasaan, bahkan tidak sedikit di antara mereka yang meninggalkan pekerjaan dan mengeluarkan materi yang tidak sedikit untuk memperlicin jalan meraihnya. Sebagian besar memimpikan bahwa dengan kekuasaan akan- langsung atau tidak langsung- meningkatkan status sosial mereka di masyarakat, selain beberapa beranggapan kehidupan ekonominya kelak akan terjamin.
Dari sini kita bisa melihat fenomena pre-power syndrome seperti itu berkembang selain akibat dorongan psikologis dari masing-masing individu, juga sangat dipengaruhi kehidupan sosial-politik yang berkembang di masyarakat. Dalam sebuah masyarakat dengan budaya feodal yang masih sangat kuat seperti di Indonesia, kekuasaan tentu seperti mimpi indah bagi semua orang.
Kondisi ini diperburuk oleh munculnya juga gejala in-power syndrome, yaitu sindrom orang yang sedang berkuasa. Dengan gaya hidup para penguasa yang cenderung mewah, juga hak-hak istimewa yang mereka miliki terutama sebagai hasil kebijakan-kebijakan pemerintah yang masih sangat menguntungkan mereka, maka makin ìindah’ mimpi berkuasa dalam masyarakat kita.
Inilah permasalahan besar yang dihadapi kita sekarang. Kondisi ini makin rumit dan tidak menguntungkan akibat penegakan hukum yang lemah, yang cenderung berpihak pada elite penguasa atau golongan yang dekat dengan mereka. Hal ini bisa kita saksikan akhir-akhir ini, misalnya dengan bebasnya beberapa orang yang telah jelas-jelas merugikan negara dalam jumlah sangat besar.
Sehingga tidak heran bila korupsi yang dilakukan oleh pejabat atau penguasa dikatakan sebagai kejahatan berganda, atau corruptio optimi pessima (penyelewengan oleh orang terbaik merupakan penyelewengan yang terburuk). Sebab selain merupakan pengkhianatan atas amanat dan kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada mereka, kejahatan yang mereka lakukan memiliki pengaruh sangat buruk dan luas bagi masyarakat, jauh lebih buruk dibandingkan dengan hal tersebut dilakukan oleh masyarakat atau rakyat biasa. Salah satu dampak buruk tersebut, seperti disebutkan, yaitu menciptakan ilusi kekuasaan yang mendorong orang untuk ‘gila kuasa’.
Ilusi kekuasaan yang begitu besar dalam masyarakat kita tentu tidak bisa dibiarkan terus-menerus berkembang dan membawa dampak buruk bagi perjalanan bangsa. Opini publik yang melihat bahwa jabatan atau pejabat adalah ‘anugerah’ harus dikikis sedikit demi sedikit. Dalam hal ini diperlukan upaya menciptakan pendapat umum bahwa jabatan atau pejabat bukanlah sesuatu yang istimewa dan agung, melainkan amanat yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, dengan konsekuensi sosial yang besar bila diselewengkan.
Upaya yang harus kita usahakan adalah memperluas kesadaran baik di kalangan rakyat kebanyakan dan terutama di kalangan pejabat sendiri bahwa tugas utama pejabat adalah melayani rakyat, bukan malahan minta dilayani. Sehingga dari sini diharapkan tercipta cara pandang baru masyarakat kepada pejabat yang lebih egaliter, yang sekaligus melahirkan suatu kontrol sosial yang efektif dalam meningkatkan kinerja para penguasa atau pejabat.
Hal lain yang terpenting dalam konteks kekinian di negeri kita adalah dengan menjadikan hukum sebagai benteng terakhir bagi keadilan. Ini penting di tengah krisis ekonomi, sosial, dan politik yang melanda kita beberapa tahun terakhir.
Bila hukum berjalan adil, maka kita dapat berharap akan lahirnya tatanan masyarakat yang lebih egaliter, optimistis, yang selanjutnya akan menghasilkan kontrol sosial yang efektif bagi jalannya pemerintahan.
Sebaliknya, bila hukum hanya menguntungkan golongan tertentu saja, dan tidak mencerminkan keadilan masyarakat, yang muncul adalah putus asa dan apatisme dalam masyarakat, lebih jauhnya akan menghasilkan orang-orang yang ‘gila kekuasaan’.