Percikan Iman – “Hidup ini pahit, maka buat ia manis dengan meminum kopi,” begitu ungkapan pembenaran yang biasa diungkapkan oleh penikmat kopi. Meski itu kalimat terdengar sebagai pembenaran, namun ada benarnya juga. Mungkin kita kadang bosan dengan kehadiran orang-orang di sekitar kita, seperti pasangan, anak, atau orang tua kita. Maka, jika kita mendapati kepahitan dalam realita kehidupan kita, anggaplah itu sebagai kopi sehingga kita jadi lebih bersyukur dengan kehadiran orang-orang yang bersikap lembut pada kita.
Dalam kehidupan, bersyukur kita pada Allah Swt. karena dapat mengenal ragam warna dan rasa. Keragaman tersebut, pada dasarnya saling memberi arti satu sama lain dalam kehidupan kita. Warna hitam identik dengan suram, kelam, atau kegelapan. Namun, tanpa warna hitam putih takkan ada artinya. Ibarat kertas kosong dengan titik hitam, maka kita akan memaknai titik hitam sebagai noda, sementara area putihnya sebagai area bersih. Pun ketika kita bicara soal rasa. Karena hadirnya rasa asin, maka makanan manis jadi terasa lebih manis. Cobalah Anda makan semangka dengan sedikit ditaburi garam, niscaya semangka akan terasa lebih manis.
Pun dalam kehidupan kita, ada ragam pengalaman atau perilaku atau apapun yang terindera oleh panca indera kita dengan “ragam rasa”, dan bisa berubah seiring waktu atau kondisi yang menyertainya. Misal, pernikahan. Di awalnya mungkin terasa manis, seiring waktu, seiring berlalunya fase “bulan madu”, perlahan kemanisannya berkurang. Perlahan ragam rasa lainnya masuk dalam pernikahan. Mulai dari yang pedas, asin, hingga yang pahit. Pun, dalam konteks relasi lainnya, dalam relasi bertetangga, dalam relasi kolega kerja, hingga bernegara.
Kadang bersifat transaksional, kadang bersifat hiburan, kadang bersifat emosional, kadang bersifat informatif, kadang bercampur aduk.
Misal, ketika Anda sebagai istri sudah melaksanakan semua tugas yang disepakati, mulai dari mengantar anak sekolah, beberes rumah, hingga memasak. Saat suami tiba di rumah, bukannya menyediakan waktu untuk mendengarkan segala keluh kesah atau mengobrol, eh dia malah melengos seenaknya ke kasur lantas mendengkur. Seolah dia tak peduli denganmu, padahal seharian kamu tak mendapati orang yang bisa jadi partner ngobrol, sedang suami seharian bisa berinteraksi dengan banyak orang di luar sana.
Kemudian, dalam relasi bertetangga, ketika Anda menjalankan sunnah Rasul untuk berbagi, terutama ketika ada oleh-oleh, tetangga selalu saja mengembalikan piring dalam keadaan kosong. Malah, tiga piring dari sepuluh kiriman Anda belum kembali. Malah, kadang Anda mendengar bisik-bisik kalau Anda digosipkan oleh tetangga Anda kalau Anda melakukan pesugihan. Padahal nyatanya Anda seorang afiliator e-commerce yang gacor.
Dalam kondisi seperti itu, pikiran Anda penuh dengan ragam bisikan, antara bisikan untuk membalasan perilaku buruknya atau membiarkannya. Anda tahu jika membalas keburukan itu idealnya dengan yang lebih baik. Namun, rasanya begitu berat. Pasti berat, wong Anda sudah “menanam” biji semangka, yang Anda dapat malah duren tanpa isi. Sakiit.
Sebenarnya, Anda boleh membalas keburukan orang lain dengan yang setimpal. Misal, Anda menghentikan budaya berbagi oleh-oleh dengan tetangga. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Qur’an, surat Asy-Syuro ayat 40,
وَجَزٰۤؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا ۚفَمَنْ عَفَا وَاَصْلَحَ فَاَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَ
Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan setimpal. Tetapi, barang siapa memaafkan dan berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat, maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang zalim.
Kenyataannya, ketika seseorang berkemampuan membalas, sulit untuk seseorang mengendalikan diri sehingga membalasnya dengan kadar yang pas atau setimpal. Manusia cenderung tidak puas ketika membalas, dan ketahuilah semakin dituruti, semakin Anda “haus” malah jadi mengganggu balik tetangga Anda. Atau dalam kehidupan rumah tangga, Anda jadi kepikiran tidak lagi melayani suami Anda atau tidak lagi memberi uang nongkrong di cafe atau nonton bioskop pada istri. Padahal, awalnya hanya perilaku yang sepele, namun Anda yang overthinking.
Padahal, memendam amarah atau mendendam berdampak buruk pada kesehatan Anda. Bayangkan, ketika Anda memendam amarah, orang yang melakukannya menertawakan Anda karena apa yang diinginkannya, yakni terganggunya Anda, terwujud. Mengutip halodoc, berikut adalah dampak buruk mendendam pada kesehatan mental Anda;
- Kemarahan menempatkan seseorang dalam mode “terjaga” sehingga memberikan perubahan pada respons fisik mulai dari detak jantung, tekanan darah, dan respons imun.
- Kondisi ini meningkatkan risiko depresi, penyakit jantung dan diabetes, dan gangguan kesehatan lainnya.
- Dalam kondisi marah, tekanan darah meningkat, sehingga bisa mengalami gangguan tidur.
- Dalam kondisi emosi tidak stabil, Anda cenderung berkeinginan mengkonsumsi makanan manis untuk menenangkan hati, yang pada akhirnya bisa berdampak pada kesehatan. Obesitas, diabetes melitus, peningkatan kolesterol merupakan efek dari terlalu banyak makanan manis.
- Memikirkan kesalahan orang secara berulang juga meningkatkan risiko mengalami gangguan obsesif-kompulsif (OCD), stres pasca-trauma (PTSD), atau bahkan gangguan psikosomatik. Gangguan psikosomatik terjadi ketika stres dan kecemasan menyebabkan penyakit fisik, seperti sakit perut atau migrain
Maka, tak ada cara lain untuk kita melepaskan belenggu tersebut, melainkan dengan menerima kepahitan yang Anda alami, kemudian memaafkan orang yang memberi kepahitan tersebut. Dengan begitu, hidup Anda akan jauh lebih tenang dan bahagia. Untuk menguatkan, tentu kita butuh pertolongan Allah Swt. yang bisa kita akses lewat dzikir dan do’a.
Orang bijak mengatakan, rasa pahit dalam hidup itu tergantung dari selapang apa dada kita. Ibarat air segelas yang ditaburkan segelas garam, akan terasa lebih pahit daripada air sedanau Toba yang ditaburi garam sesendok. Ibarat yang keseringan makan satu jenis makanan, maka akan bosan juga pada akhirnya. Pun, perilaku buruk orang lain pada kita, suatu saat akan terasa biasa saja. Bukan karena pedas ucapannya yang turun level, namun karena lidah Anda sudah jauh lebih tahan terhadap pedasnya.
Dada yang lapang hidup merupakan modal bagi Anda sehingga Anda lebih mudah beradaptasi dengan ragam lingkungan. Anda tidak mudah tersinggung, pun Anda tidak mudah menyerah dengan tantangan yang menghadang. Di zaman yang kian tidak menentu, perubahan yang begitu cepatnya karena penggunaan teknologi informasi yang masif, membuka potensi kecemasan yang berlebih pada diri generasi zaman ini. Agility atau kemampuan bertahan dan adaptif merupakan syarat untuk bisa survive di zaman ini.
Ketika Anda sudah ada di tahap tersebut, maka Anda akan lebih nyaman dengan kehidupan Anda, dan Anda pun siap untuk menghadapi tantangan yang lebih besar sekaligus membuka peluang rizki yang lebih baik. Ingatlah, pada dasarnya, anak, kendaraan, atau apapun fasilitas yang Allah Swt. berikan pada kita, itu betul anugerah. Namun, di sisi lain merupakan ujian atas kita, untuk menguji seberapa kita tergantung pada Allah Swt. Maka, karena Allah Swt. sayang pada seorang hamba, Ia takkan memberikannya saat kita belum mampu memikulnya karena bisa melalaikan seseorang dari berzikir pada Allah Swt.
Wallahu a’lam bi shawwab
_____
Tulisan ini, kami kembangkan berdasarkan materi yang disampaikan oleh guru kita, Dr. Aam Amirudin, M.Si. pada Majelis Percikan Iman (MPI) di Masjid Trans Studio Mall, serial “Manusia Paripurna”, pada Sabtu, 10 Agustus 2024