Percikan Iman – Ketika fisik hadir di satu tempat, di samping pasangan, pikiran dan hatinya belum tentu hadir pula di situ. Setiap orang bisa hadir, namun belum tentu mampu sepenuh hati. Apalagi zaman sekarang, zaman serba ponsel.
Seorang ayah secara fisik, hadir di rumah. Sepulang kerja, wujudnya ada, motornya ada, namun ia malah sibuk bermain ponsel. Meski wujudnya nampak, namun anak tidak merasakan kehadirannya.
Untuk dapat hadir sepenuh hati itu dimulai dengan mendengar/ “menyimak”. Ada empat tipe mendengar;
- Pretending
Fisiknya hadir, tapi pikirannya melayang-layang. Dapat juga dikatakan, “pura-pura mendengarkan”. Ketika anak bercerita panjang lebar soal sekolahnya, ketika istri bercerita panjang lebar soal kesehariannya, namun pikiran ayah masih soal kerjaan, itu pretending dan bisa termasuk zolim.
Juga, seorang mahasiswa, sepanjang semester tercatat hadir. Namun, selama materi kuliah disampaikan, pikiran dan hatinya malah tertinggal di kosan. Itu juga pretending.
- Selective listening
Mendengarkan topik-topik yang disukai saja. Misal, Ibu senang mendengar ketika suami bicara soal gajihan, namun ketika bicara soal kesehatan, ibu tidak mendengarkan. Juga, ketika kita di majelis ta’lim. Karena kita tertarik dengan pembicara intinya, kita akhirnya tidak terlalu memperhatikan pembicara lainnya.
- Attentive listening
Mendengarkan seksama dan berusaha memahami. Biasanya kita menggunakan metode ini ketika mendengarkan kajian ilmiah. “Pokoknya yang dia sampaikan itu”. Apa yang disampaikan ditangkap dengan kognitif-nya saja.
- Emphatic listening
Hadir mendengarkan sepenuh hati. Pada tahap ini, seseorang akan menggunakan seluruh panca indera-nya untuk memahami. Matanya menatap, intonasinya terperhatikan, hatinya hadir mencoba “merasakan” suasana yang terbangun dalam pesan-pesan yang terdengar oleh kita.
Untuk kelas-kelas ilmiah, tentu kita cukup dengan tipe mendengarkan yang ketiga, di mana logika dikedepankan. Sementara, ketika bersama keluarga kita, mari kita hadir sepenuh hati.
Ketika istri curhat, mengeluarkan 200 ribu jatah kata-katanya, mari simak dengan baik, “ikat pikiran dan hati kita” hingga istri terpuaskan. Ketika anak bercerita soal aktifitasnya, tatap matanya, hingga bapak mampu merasakan binar semangat dan antusiasnya.
Soal mendengar, Allah S.W.T. sejatinya telah mengajarkan kita soal ini
وَاللّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Allah mengeluarkanmu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apa pun. Allah memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani agar kamu bersyukur. (An-Nahl: 78)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَهُوَ الَّذِيْٓ اَنْشَاَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَۗ قَلِيْلًا مَّا تَشْكُرُوْنَ
Allah-lah yang telah menciptakan pendengaran, penglihatan, dan nurani bagimu, tetapi sedikit sekali kamu bersyukur. (QS. Al-Mu’minun:78)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ هُوَ الَّذِيْٓ اَنْشَاَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَۗ قَلِيْلًا مَّا تَشْكُرُوْنَ
Katakan, “Allah-lah yang menciptakanmu dan menjadikan untukmu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani. Tetapi, sedikit sekali kamu bersyukur.” (QS. Al-Mulk:23)
Ayat-ayat tersebut, Allah S.W.T. berkali-kali menyebut pendengaran di awal. Hal tersebut mengajarkan pada kita, agar kita lebih banyak mendengar daripada berbicara. Dalam hidup, ada yang yang harus kita kurangi dan harus kita perbanyak.
“Kurangi bicara, perbanyak mendengarkan
Kurangi komplain, perbanyak apresiasi.
Kurangi mengambil, perbanyak memberi (waktu)”
Walau ayah lelah setelah seharian bekerja, ayah tetap mendengarkan istrinya, membantu pekerjaan istrinya. Di akhir pekan, walau sepekan lelah bekerja, waktu leha-leha-nya ayah berikan untuk keluarga. Ibu mau berangkat pengajian, ayah mengantarnya. Anak pingin jalan-jalan, ayah temani.
Begitu juga Ibu, ketika ayah sedang curhat soal kerjaan di kantornya, dengarkan dan sambut dengan apresiasi. Kurangi komplain dan berikan hak ibu.
Dalam surat Al-Isra’, ayat 36 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا
Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani akan diminta pertanggungjawabannya.
Jangan kamu bicara tanpa ilmu, mengikuti tanpa ilmu. Sesungguhnya, “pendengaran, peglihatan, dan hati nurani” akan dimintai pertanggungjawabannya. Ketahuilah, “pendengaran” itu pintu hati.
Cibiran, nyinyiran, dan fitnah merupakan dua racun yang ketika masuk telinga, terus masuk ke dalam hati, rasanya sakit. Pembicaraan buruk soal pasangan misalnya, dapat menumbulkan curiga dalam hati alias prasangka buruk.
Waspadalah dengan apa yang terdengar oleh telinga kita! Hadirkan diri kita agar kita dapat menyaring apa yang masuk. Jangan biarkan julidan tentangga tentang kita justru dibiarkan masuk dalam hati kita.
Tulisan merupakan resume dari materi serial “Seni Melukis Hidup” yang disampaikan oleh guru kita, Ustadz Aam Amirudin di Majelis Percikan Iman (MPI) di Masjid Peradaban Percikan Iman, Arjasari pada Ahad (22 Januari 2023)