“Qorun, demikian nama saudagar kaya raya yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Saudara sepupu Nabi Musa a.s. ini menguasai berbagai macam usaha, perkebunannya terhampar luas, rumahnya megah bak istana raja, budaknya banyak, siap melayaninnya setiap waktu. Namun, ia sangat menentang semua hal yang berbau agama. Baginya, harta yang melimpah ruahlah agamanya. Ia acapkali berkata, “Apa gunanya agama jika tidak bisa memberikan kita harta, apa kekuatan Musa jika ia berdakwah tanpa dana. Aku takkan kaya jika ikut agama Musa. Rizki tak bakal datang dari langit, bumilah tempatnya.â€?, ucapnya dengan congkak.
Ajaran Qorun mulai termakan oleh umat Nabi Musa. Mereka ingin sekali menikmati lezatnya kemewahan. Menimbun harta sebanyak-banyaknya adalah obsesi mereka, tak peduli dari mana asalnya, bagaimana caranya, kononlah lagi halal-haramnya. Yang penting, uang dan kemewahan didapatkan. Tapi ternyata bukannya kesenangan yang diterima, malah kesengsaraan datang menimpa. Hidup mewah yang melanda sebagian masyarakat Nabi Musa yang mengikuti jejak Qorun ternyata menimbulkan wabah penyakit sosial, masing-masing pihak lebih mementingkan kepentingan pribadinya. Si miskin berontak kepada si kaya, perselisihan merajalela akibat sikap saling curiga, kekacauan pun melanda. Tragisnya, Qorun sendiri bangkrut. Hartanya ludes akibat kesombongannnya, hidupnya terkatung-katung dan sangat menyedihkan.
Saat ini, Qorunisme sepertinya sudah diidap banyak orang, tak terkecuali di tanah air tercinta. Gaya hidup hedonis dan konsumtif kemudian berkembang menjadi sebuah paham yang mengobral kemewahan dan kesenangan. Yang penting aku senang, aku enak, aku suka, tanpa melihat kondisi masyarakat banyak yang ditimpa kesuasahan.
Jika ditelusuri, cara hidup seperti itu relevan dengan pendapat Freud yang materialistik. “Nasib manusia tidak ditentukan oleh nilai-nilai yang diperbuat. Buktinya bencana ternyata tidak membedakan korbannya, orang saleh maupun orang salah sama-sama kena. Musibah tidak hanya melanda si kaya, si papa pun kebagian. Bahkan pemuja syetan dapat meraih pujian dan kebaikan di dunia, sementara kaum beriman malahan gigit jari dan hanya mendapatkan angan-angan dan impian. Keadilan samawi, yang konon merupakan kekuatan pengatur dunia serta segala isinya, ternyata dalam kenyataannya tidak terbukti.
Tentu saja paham demikian sangat mudah dicerna dan tumbuh subur dalam setiap hati sanubari manusia yang rendah imannya. Akibatnya, kesenjangan sosial menganga. Begitu pula penguasa dan rakyat. Tatkala si papa bergelut dengan kesulitan, si kaya malah berasyik masyuk membuang uang dengan entengnya di tempat-tempat maksiat. Gejalanya terlihat jelas, korupsi merajalela, kolusi menggejala, dan suap-menyuap sudah menjadi hal biasa. Sementara itu rakyat jelata terbius dengan mimpi-mimpi indahnya lewat judi buntut, judi togel, undian berhadiah, serta janji-janji kosong lainnnya.
Uang dijadikan raja. Jika dulu ada pepatah, Anda bisa membeli seks tapi tak dapat membeli cinta, Anda bisa membeli buku hukum tetapi tak dapat membeli hakim, sekarang dengan uang kedua-duanya bisa Anda beli.
Namun, Rasulullah meperingatkan umatnya agar tidak diperbudak oleh uang.
“Tersungkurlah hamba dirham, hamba dinar, sandang, dan pakaian. Bila diberi ia suka, bila tidak diberi ia berduka.� (Shahih Bukhari)
Saat ini, banyak sekali yang terperosok ke dalam jurang kemewahan. Banyak orang saleh pada masa sempit menjadi salah ketika lapang. Ketika hidupnya fakir ia banyak berdzikir, tapi saat hartanya melimpah, lupa beribadah. Ketika menjadi mahasiswa, ia lantang meneriakan ketidakadilan, setelah memegang jabatan diam seribu bahasa.
“Geld dat stom is maakt recht wat krom is�. Uang yang bisu dapat meluruskan yang bengkok, uang yang bengkok pun telah membuat orang lurus menjadi bisu. Itulah pepatah Jerman yang menjelaskan betapa hebatnya uang.
Bangun Sikap Zuhud
Islam sebenarnya telah membuat aturan untuk menangkal sikap hedonis, yaitu dengan sikap hidup yang mampu membelenggu nafsu rendah manusia. Sikap hidup yang lebih mementingkan ketentraman batiniah daripada kesenangan lahiriah. Itulah sikap zuhud.
Zuhud secara harfiah (etimologis) berarti sikap untuk meninggalkan sesuatu yang bersifat keduniawian. Di tengah gemerlapnya kehidupan dunia, zuhud termasuk salah satu alat penangkal yang mujarab untuk mengatasi hal tersebut. Orang yang zuhud lebih mementingkan kehidupan surgawi yang abadi ketimbang kehidupan dunia yang fana.
Hal ini sesuai dengan firman Allah,
“Katakanlah, kesenangan dunia itu hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak dianiaya sedikitpun.� (Q.S. An-Nisa: 70).
Ayat di atas menunjukkan bahwa kehidupan dunia hanyalah sekejap, sedangkan akhirat adalah kekal dan tak terbatas. Orang yang memiliki sikap zuhud tak kan rela mengorbankan kebahagiaan hidupnya di akhirat hanya karena mengejar kehidupan duniawi.
Sikap zuhud saat ini sudah menjadi barang langka, susah dicari. Lihatlah Mall-Mall kota besar, selalu penuh sesak oleh pengunjung yang tidak hanya dari kalangan berdompet tebal, masyarakat yang keuangannya “senin-kamis� pun ikut berbelanja ria dengan senangnya. Anehnya, Mereka membeli barang bukan karena butuh, melainkan karena gengsi. Hal tersebut ditambah dengan derasnya iklan-iklan televisi yang menganjurkan masyarakat Indonesia, yang konon termasuk salah satu negara termiskin, untuk berperilaku konsumtif. Ironis memang.