Kejadian bunuh diri pada anak dan remaja begitu memprihatinkan dalam beberapa tahun belakangan ini. Pada Oktober 2008, seorang siswa STM mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri di kusen jendela kamar rumah orang tuanya. Aksi nekat anak berusia 15 tahun ini dipicu oleh rasa kecewa dirinya karena tidak dibelikan motor oleh orang tuanya. Beberapa hari sebelumnya, tindakan mengerikan juga nyaris merenggut nyawa seorang anak perempuan berusia 7 tahun. Dia gantung diri pakai kain selendang di kamar rumah orang tuanya di kawasan Jakarta Selatan. Diduga kuat Ia nekat bunuh diri karena takut dimarahi oleh kedua orang tuanya, setelah ia merusak sepeda yang baru saja dibelikan oleh ayahnya.
Tingkat bunuh diri di Indonesia dinilai masih cukup tinggi. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2005 saja, sedikitnya 50 ribu orang Indonesia melakukan bunuh diri setiap tahunnya termasuk di dalamnya adalah bunuh diri yang dilakukan oleh anak remaja.
Mengerikan memang, miris dan pilu hati ini dibuatnya. Bagaimana tidak, hanya karena persoalan yang sepertinya sederhana namun ternyata bisa berakibat tragis. Percobaan bunuh diri (tentament suicide) atau bahkan tindakan bunuh diri pada anak dan remaja menjadi fenomena yang menarik saat ini. Belakangan diketahui bahwa tindakan bunuh diri ini merupakan klimaks dari akumulasi tekanan batin yang dialami anak dalam waktu yang cukup lama. Sebagaimana disinggung pakar psikologi Jonh W Santrock (1996), peristiwa bunuh diri biasanya didahului oleh depresi yang melanda pelakunya dalam waktu yang cukup lama. Depresi didahului oleh frustasi, yakni situasi di mana seseorang tidak mampu mencapai tujuan yang diinginkan. Sedangkan frustasi didahului oleh stres, yakni respon individu terhadap keadaan, yang mengancam dan mengganggu kemampuan seseorang untuk menghadapinya.
Ada persoalan besar disini, yaitu perasaan depresi dan frustasi yang mendalam yang biasanya di miliki orang dewasa – itu pun dalam keadaan tertentu yang sangat khusus – ternyata saat ini sudah bisa dirasakan oleh seorang anak yang baru menginjakkan umur belasan tahun. Bisa dibayangkan betapa dunia anak-anak serta remaja yang melingkupi mereka saat ini begitu tidak kondusif bagi proses perkembangan mental dan jiwanya. Sebenarnya tidak hanya bunuh diri, kitapun mengenal ”aksi-aksi” keputusasaan lainnya yang merupakan ekspresi ketidakmampuan pengendalian diri remaja seperti penyalahgunaan NARKOBA, tawuran dan seks bebas.
Telah banyak data yang menyebutkan keterlibatan anak dan remaja terhadap NARKOBA, tawuran dan seks bebas yang sudah sangat memprihatinkan. Lalu bagaimana seharusnya kita merespon ini semua?
Menumbuhkan Jiwa Kepemimpinan Anak Sejak Dini
Setiap anak terlahir dengan potensi kepemimpinannya. Apabila potensi ini dikembangkan secara maksimal, maka akan meraih hal-hal yang lebih besar dari kemampuan yang dimiliki anak tersebut. Ketiadaan sifat-sifat kepemimpinan pada anak membuatnya lemah dalam bergaul, sehingga dengan mudah diperdaya dan diajak ke arah negatif, menurut saja tanpa perlawanan. Karena sifat takut yang lebih dominan, maka sang anak menurut saja jika diajak ke hal negatif, terlebih sang anak merasa takut disisihkan dalam pergaulannya.
Sungguh luar biasa perjalanan serta pembelajaran yang dialami Muhammad Saw di masa kecil, masa remaja dan menginjak dewasa hingga Beliau akhirnya diutus oleh Allah SWT menjadi Rasul penutup umat manusia. Kita menjadi lebih memahami dari perjalanan hidup Muhammad Saw bahwa betapa pola hidup seseorang di masa kecil akan sangat berpengaruh pada perjalanan hidup seseorang dimasa depannya.
Kepemimpinan diri (Self Leadership) merupakan kemampuan dalam mengendalikan hawa nafsu, yaitu kemampuan dalam mengordinasikan niat, pikiran, serta tindakan agar nafsu yang telah dianugerahkan Allah dapat disalurkan sebagaimana mestinya (Syafii Antonio, 2007).
Dan Self Leadership ini sangat ditegaskan oleh Rasulullah Saw sebagaimana sabdanya: “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan ditanya tentang kepemimpinannya.” (H.R. Bukhary Muslim)
Inti dari kepemimpinan adalah pengendalian diri dengan segenap kemampuan yang dimilikinya sehingga mampu menciptakan pengaruh positif bagi diri maupun lingkungannya.
Itulah sebabnya, sangat strategis menumbuhkan jiwa kepemimpinan sejak dini kepada anak-anak kita. Karena proses kemunculan kepemimpinan dalam diri yang paling baik adalah melalui tahap-tahap pembelajaran hidup yang dialami seseorang termasuk pada usia keemasan waktu masih anak-anak menuju ke usia dewasa.
Jiwa kepemimpinan yang diterapkan sejak anak-anak akan menghardik sikap-sikap cengeng dan rendah diri pada anak dan akan menghantarkan mereka menjadi sosok yang kuat di masa yang akan datang.
Dengan penanaman nilai-nilai kepemimpinan sejak dini, anak dan remaja bisa bersikap lebih kuat dan produktif dalam menjalani dinamika hidupnya. Anak akan semakin tampil berani untuk menolak setiap bujukan lingkungan yang mengarahkan dirinya pada kehancuran hidupnya.
Anak akan belajar mengenali, menemukan, mengorganisasikan, serta mengaktualisasikan peran dirinya secara positif pada lingkungannya. Jika jiwa kepemimpinan ini sudah tumbuh dan berkembang secara baik pada diri anak, maka fenomena kenakalan remaja yang saat ini menggejala kemungkinan besar bisa dihindari.
Anak adalah investasi masa depan. Tugas kita sebagai orang tua adalah memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anak kita. Membekali anak-anak dengan pendidikan yang memadai adalah sebuah pilihan cerdas. Membentuk keterbukaan anak-anak terhadap tradisi berpendidikan adalah investasi menjanjikan untuk masa depan mereka (Maulia D. Kembara, 2007). Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Muliakanlah anak-anakmu dan didiklah mereka dengan baik” (HR. Ibnu Majah).
Tentunya kita menginginkan anak kita tampil sebagai generasi pemimpin yang kuat. Generasi yang memiliki Self Leadership yang tangguh. Mereka mampu mengelola dinamika batin serta meredam rasa takut kalah atau kehilangan. Generasi yang siap menghadapi berbagai tantangan serta perubahan di masa depan. Generasi yang memiliki semangat mempertahankan kemandirian karakter dan kekuatan impian mereka. Sebaliknya, kita tidak berharap anak kita tampil tidak berdaya di tengah lingkungannya.