Mengambil hikmah dari perjuangan masyarakat Palestina
Percikan Iman – Selama di dunia, persoalan dalam hidup itu hal yang pasti menghampiri kita. Ada dua pilihan untuk menyikapinya, menyerah atau berserah. Ada yang kehilangan kekasih, langsung putus asa. Namun, di Palestina sana, kita dapat menemukan mereka yang kehilangan rumah, bahkan keluarganya, namun malah mengucapkan “alhamdulillah” yang notabene merupakan ucapan ekspresi syukur.
Di antara banyak video yang tersebar terkait rangkaian penjajahan yang dilakukan oleh zionist belakangan ini, di balik puing-puing gedung, di balik jasad korban-korban, dengan backsound berupa tangisan, subhanallah, kita masih dapat menemukan, semburat syukur dari para korban. Salah satunya, seorang pria yang kehilangan rumahnya. Bukan ekspresi syukur yang biasa. Namun, syukur karena optimisme berlandaskan keimanan pada Allah Swt.
Tentu bukan hal mudah bagi siapapun untuk melihat nilai di balik satu peristiwa bencana, kecuali dengan kacamata iman. Kok bisa kehilangan rumah, hancur, kehilangan orang tercinta tetap bersyukur? Bukankah itu anomali? Namun, begitulah ketika iman menjadi kacamata. Itulah mungkin keajaiban yang baginda Rasulullah Saw. maksudkan dalam salah satu haditsnya yang masyhur,
Dari Shuhaib, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999)
Begitulah, ketika keimanann pada Allah Swt. hidup, mustahil seseorang berputus asa. Mereka yang yakin dengan janji Allah Swt. bahwa di balik kesulitan ada dua kemudahan, mereka yakin bahwa apa yang menimpa mereka ialah sebentuk kasih sayang dari Allah Swt., dan mereka yakin bahwa kesudahan yang baik di akhirat menanti ketika mereka bersabar menghadapi ujian yang menimpa mereka, apalagi jika mereka harus mati dengan kondisi syahid.
Tahukah sahabat, jika manusia bisa mati meski kita melihatnya masih bisa beraktifitas? Yakni ketika jiwa mereka kehilangan harapan. Seorang profesor psikologi klinik, Anthony Scioli mengatakan, “Harapan sama esensialnya bagi kehidupan layaknya udara yang kita hirup”. Mungkinkah manusia hidup tanpa bernapas? Tentu tidak bisa.
Mereka yang hidup tanpa harapan, ibarat mereka yang hidup dalam gelap, tak mampu melangkah, kalau pun melangkah tak tahu ke arah mana harus melangkahkannya. Manusia tanpa harapan juga ibarat zombie, mereka hidup namun tanpa kesadaran bahwa dirinya masih hidup.
Sahabat, jangan berhati-hatilah dengan bisikan putus asa. Salah satu ulama dunia, (alm.) Yusuf Qardhawi bahkan sampai mengatakan putus asa mereupakan penyakit mematikan. “Putus asa merupakan penyakit yang mematikan dan membahayakan jiwa manusia”. Benarlah apa yang beliau katakan karena puncak dari putus asa ialah bunuh diri. Ketika seseorang bunuh diri, betapa berat hukuman yang Allah Swt. telah peringatkan pada kita.
“Putus asa, di dunia mematikan, di akhirat menyengsarakan”
Sahabat, ada tiga jenis putus asa yang dapat kita temukan di dalam Al-Qur’an. Jika ada salah satunya pada diri kita atau orang terdekat kita (naudzubillahi min dzaalik), hendaknya kita menyadari dan segera tanggulangi. Tiga raga putus asa itu ialah yaisa, balasa, dan puncaknya qanata.
Yaisa itu ialah sikap putus asa ketika apa yang kita inginkan atau kita cari tidak dapat kita gapai atau temukan. Misal, kita sudah berusaha keras, banting tulang membangun bisnis. Eh, karena satu kondisi, bisnis kita bangkrut. Kemudian, setelah itu, kita berhenti berbisnis. Itu Yaisa.
Kedua, ialah balasa. Balasa ialah kondisi putus asa pada level selanjutnya. Yakni sikap putus asa yang mengakibatkan pikiran kita terganggu sampai susah tidur atau bahkan hingga gangguan jiwa. Yang pada akhirnya, dapat mengantarkan pengidapnya membunuh atau setidaknya menyakiti dirinya sendiri.
Terakhir ialah qanata, ini putus asa yang juga amat berbahaya. Yakni, berputus asa dari rahmat Allah Swt. Biasanya, tipe penyakit putus asa yang satu ini terkait dengan mereka yang terjerembab dalam kubangan dosa. “Sudah kadung banyak dosa lah aku mah, gak mungkin Allah ampuni saya”. Ini amat berbahaya, padahal, Allah Swt. membuka pintu tauba sampai menjelang kematian seseroang, yakni selama ruh belum mencapai kerongkongan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
۞ قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا ۗاِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Katakan, “Hai, hamba-hamba-Ku yang pernah terjerumus dosa! Jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya, Allah mengampuni semua dosa-dosamu. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. Az-Zumar:53)
Kata Anthony Scioli dan Henry B. Biller, dalam bukunya Hope in the Age of Anxienty, setidaknya, ada sembilan pintu keputusasaan. Ialah, keterasingan, pengabaian, kurang inspirasi, tak mampu, penindasan, keterbatasan, malapetaka, pengekangan, dan tak berdaya.
Coba dari kesembilan pintu tersebut, mana yang tidak ada di tengah-tengah penduduk Palestina. Mereka diasingkan dari dunia dengan diblokade dengan benteng, berita-berite tentang kondisi di sana ditutupi dari mata dunia dengan fitnah, akibatnya orang terhalang dari simpati, akses pada ilmu pengetahuan dan informasi pun terbatas karena akses internet juga listrik terbatas, kemampuan terbatas, merekapun jelas ditindas dengan pemboman yang membantai anak dan orang terdekat mereka.
Semua pintu keputusasaan terbuka lebar di tengah-tengah mereka, namun setan tak mampu menggoyahkan keimanan mereka atau setidaknya gagal melunturkan cinta mereka pada tanah airnya. Justru, mereka memilih pintu yang penuh dengan harapan, merdeka di dunia atau merdeka di akhirat dengan menjadi syuhada.
Di titik terendahnya, manusia akan menemukan pintu keputusasaan. Di sanalah setan merayu agar kita menyerah. Hanya mukhlasin atau orang yang terus melatih dirinya untuk ikhlas yang kebal dengan bisikan setan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قَالَ رَبِّ بِمَآ اَغْوَيْتَنِيْ لَاُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِى الْاَرْضِ وَلَاُغْوِيَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ
Iblis berkata, “Tuhanku, karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan menjadikan kejahatan itu terlihat indah pada mata manusia di bumi. Aku pun akan menyesatkan mereka semua,
اِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِيْنَ
kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih (yakni golongan mukhlashin).”
Sahabat, melihat orang-orang di Palestina, hendaknya kita merendahkan hati kita. Menerima mereka, bukan sebagai objek tuk kita tolong. Sejatinya, kitalah yang perlu ditolong agar mampu sabar dan hidup penuh asa layaknya mereka. Bagaimana bisa, dalam kondisi yang kritis, mereka masih dapat menampakkan wajah optimis. Sedikit sedih karena kehilangan, itu manusiawi. Namun, mereka membasuhnya segera dengan berserah pada-Nya.
_____
Tulisan merupakan pengembangan dari materi yang disampaikan oleh Ustadz Aam Amirudin pada Majelis Percikan Iman pada Ahad, 22 Oktober 2023 di Masjid Peradaban Percikan Iman, Arjasari