Pertama, fikih, berperan dalam membersihkan dan menyehatkan panca indra dan anggota tubuh. Karenanya, fikih banyak berurusan dengan dimensi lahiriah manusia.
Kedua, filsafat, berperan dalam menggerakkan menyehatkan akal pikiran. Karenanya filsafat banyak berurusan dengan dimensi metafisik.
Ketiga, tasawuf, berperan dalam membersihkan hati sanubari. Karenanya tasawuf banya berurusan dengan dimensi batin manusia. Dengan demikian, antara fikih, filsafat, dan tasawuf memiliki korelasi yang cukup dekat, yang tidak mungkin dipisahkan lagi antara satu dengan yang lainnya.
Ketiga potensi tersebut dijelaskan oleh Allah dalam Al Qur’an surat Al Mulk ayat 23. “Katakanlah: Dialah yang menciptakan kamu dan memberikan kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, tetapi sedikit sekali kamu bersyukur.” (QS. Al Mulk 67:23).
Ditinjau dari segi bahasa, tasawuf memiliki makna sikap menal yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan, dan selalu bersikap bijaksana. Sikap yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak mulia. Adapun dari segi istilah, pengertian tasawuf amat bergantung pada sudut pandang yang digunakan para ahli yang memberikan definisi tersebut.
Selama ini, ada tiga sudut pandang yang diguakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu sudut pandang manusia sebagai mahluk yang memiliki keterbatasan, manusia sebagai mahluk yang harus berjuang, dan manusia sebagai mahluk yang bertuhan. Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai mahluk yang memiliki keterbatasan, tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah swt.
Jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, tasawuf dapat didefinisikan sebagi upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Selanjutnya, jika sudut pandang yang digunakan adalah manusia sebagai makhluk yang bertuhan, tasawurf dapat disefinisikan sebagai kesadaran fitrah (ketuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungakan manusia dengan Tuhan.
Abul Hasan Al Fusyandi, seorang tabi’in yang hidup sezaman dengan Hasab Al Bisri mengatakan, “Pada zaman Rasulullahs saw., tasawuf ada realitasnya, tetapi tidak ada namanya. Dan sekarang, ia hanyalah sekedar nama, tetapi tidak ada realitasnya.” Pernyataan ulama dari kalangan tabi’in inibisa menjadi acuan bahwa zaman Rasulullah saw. memang tidak dikenal istilah tasawuf, namun ada realitasnya seperti sikap zuhud, qona’ah, taubat, ridha, shabar, dan lain-lain.
Nah, sikap-sikap mulia tersebut dirangkum dalam sebuah nama yang sekarang dikenal dengan istilah tasawuf. Jadi, kita tidak perlu mempersoalkan nama, yang penting realitas atau substansinya. Dalam mengarungi kehidupan, kita harus punya jiwa zuhud, qana’ah, taubat, muraqabatullah, ‘iffah, dan lain-lain.
Bila Anda memberi nama untuk sederet istilah itu dengan sebutan Tasawuf, tentu saja boleh dan tidak termasuk bid’ah. Namun, kalau Anda tidak suka dengan istilah Tasawuf dengan alasan istilah tersebut tidak digunakan pada zaman Rasulullah saw., pakai saja istilah lain seperti ilmu zuhud misalnya (istilah yang digunakan Imam Ahmad).
Yang pasti, materi yang dibahas dalam ilmu zuhud dan ilmu tasawuf substansinya sama, yang berbeda hanyalah masalah nama. Apalah arti sebuah nama, yang penting substansinya! Jadi, inti dari tasawuf adalah usaha pensucian jiwa dengan amaliah-amaliah yang shaleh yang sesuai dengan sunah Rasulullah saw. Prof. Hamka (alm) menyebutnya dengan istilah Tasawuf Modern.
Namun demikian, kita pun perlu membuka mata bahwa memang ada juga ajaran tasawuf yang menyimpang dari sunah Rasulullah saw. Inilah yang disebut dengan tasawuf yang bid’ah. Sementara usaha pensucian hati yan gmengikuti sunah Rasulullah saw. sama sekali tidak bid’ah. Kesimpulannya, pada zaman Rasulullah saw. tidak ada istilah tasawuf, yang ada adalah realitas atau substansinya seperti zuhud, qana’ah, ridha. ‘iffah, dan lain-lain. Kita dibenarkan untuk mempelajari dan mengamalkan tasawuf yang mengikuti sunah Rasulullah saw. dan haram mempelajari serta mengamalkan tasawuf yang tidak sesuai dengan sunah Rasulullah saw. (tasawuf yang bid’ah).
Jadi, kita tidak bisa men-generalisasi bahwa semua tasawuf itu bid’ah. Sungguh bijak bila kita dapat menempatkan segala sesuatu secara proporsional. Wallahu a’lam.