Hukum Mengadopsi Anak

Adopsi artinya pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri, dalam bahasa Arab disebut At-tabanni. Pada tataran praktis ada dua macam pengangkatan anak (adopsi).

Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang tanpa diberi hak-hak sebagai anak kandung, ia hanya diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri. Para ulama sependapat mengadopsi anak dengan cara seperti ini tidak dilarang oleh agama, bahkan kalau dilakukan dengan niat yang ikhlas akan menjadi amal shaleh.

Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri serta diberi hak-hak sebagai anak kandung, sehingga ia memamakai nama keturunan (nasab) orang tua angkatnya, saling mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak lainnya persis seperti anak kandungnya.

Cara seperti ini hukumnya haram sebagaimana difirmankan Allah swt., “…dan tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanya perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka panggillah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama…” (QS. Al Ahzab 33:4-5)

Para ahli tafsir menyebutkan, awalnya ayat ini berkaitan dengan kasus anak angkat Rasul saw. yaitu Zaid bin Haritsah. Kata imam Al-Qurthubi, sebelum kenabian, Rasulullah saw. pernah mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi anak angkatnya, beliau tidak memanggil Zaid dengan nama ayahnya (Haritsah) tetapi ditukar dengan nama Zaid bin Muhammad.



Pengangkatan Zaid sebagai anaknya diumumkan Rasulullah saw. di depan kaum Kuraisy. Nabi saw. juga menyatakan bahwa dirinya dan Zaid saling mewarisi. Setelah Rasulullah saw. diangkat menjadi Rasul, turunlah surat Al Ahzab ayat 4-5 ini, yang salah satu intinya melarang pengangkatan anak seperti diatas (saling mewarisi dan memanggilnya sebagai anak kandung).

Imam Al-Qurthubi menyatakan bahwa kisah di atas sebagai latar belakang turunnya ayat tersebut. Berdasarkan analisis di atas, apabila kita mengadopsi anak orang lain untuk dicintai, diasuh, dididik, dibesarkan sebagaimana membesarkan anak sendiri, dan tidak memutuskan silaturahmi dengan orang tua kandungnya, serta tetap diberi status sebagai anak angkat, hukumnya mubah (boleh) bahkan bernilai ibadah kalau dilakukan dengan ikhlas lillahi ta’ala.

Namun, jika kita mengadopsinya dengan memberi status sebagai anak kandung yang bisa saling mewarisi, bahkan memutuskan silaturahmi dengan orang tua kandungnya (dirahasiakan siapa orang tua kandungnya), hukumnya haram. Persoalan sensitif yang sering terjadi dalam kasus adopsi adalah masalah warisan. Menurut hukum Islam, antara anak angkat dan orang tua tidak bisa saling mewarisi.

Alasannya, menurut para ahli hukum Islam ada tiga sebab seseorang bisa saling mewarisi. Pertama, al-qarabah (seketurunan/hubungan darah), kedua, al-mushaharah (karena hasil perkawinan yang sah), dan ketiga al-‘itqu (hubungan perwalian antara hamba sahaya dan wali yang memerdekakannya).

Status anak angkat tidak masuk pada salah satu dari tiga sebab ini, maka disimpulkan bahwa anak angkat tidak bisa saling mewarisi dengan orang tua angkatnya. Anak angkat bisa menerima harta dari orang tua angkatnya melalui dua cara.

Pertama, melalui hibah, yaitu pemberian mutlak dari orang tua angkat kepada anak angkat sehingga harta yang dihibahkan menjadi milik mutlak anak angkatnya. Jumlah hibah tidak dibatasi, berapapun bisa dihibahkan asal tidak menimbulkan kecemburuan dari keluarga lainnya, artinya harus bersikap adil. Kedua, melalui wasiat, yaitu pesan penyerahan/pemberian harta secara sukarela dari seseorang kepada pihak lain (dalam konteks ini orang tua angkat kepada anak angkatnya) yang berlaku setelah orang itu wafat. Jadi, wasiat itu baru berlaku kalau orang yang berwasiatnya sudah wafat.

Adapun jumlah wasiat, Para ulama sepakat berdasarkan hadits Nabi saw. bahwa batas maksimal harta yang boleh diwasiatkan adalah sepertiganya. Persoalan berikutnya menyangkut nama nasab dalam akte kelahiran atau ijazah. Banyak kasus, orang tua angkat menggantikan nama orang tua kandung anak angkatnya. Misalnya, kita punya anak angkat bernama Yayat, nama orang tua kandungnya Hidayat, sedangkan orang tua angkatnya bernama Kusnadi.

Seharusnya di akte kalahiran Yayat bin Hidayat, karena Hidayat ayah kandungnya. Namun kenyataannya, namanya menjadi Yayat bin Kusnadi. Nah, cara seperti ini dilarang dalam Islam seperti diterangkan pada ayat di atas. Bagaimana kalau sudah telanjur? Bertaubat saja kepada Allah.Bukankah Allah swt. itu Maha Pengampun dan Penerima taubat? Bila anak angkat sudah dewasa, kita sebagai orang tua angkat harus berani menjelaskan duduk persoalannya kepadanya agar terhindar dari murka Allah.

Lalu, bagaimana kalau tidak diketahui ayah kandungnya padahal nama ayah harus tercantum di akte kelahiran atau ijazahnya? Kalau kasusnya seperti ini, nggak masalah nama ayah angkatnya tercantum dalam akte. Namun tetap, suatu saat kalau anak itu sudah dewasa harus dijelaskan bahwa dia adalah anak angkat. Memang akan menyakitkan bagi anak dan orang tua angkat, namun inilah ketentuan Allah swt. yang harus kita laksanakan.

Kesimpulannya, kita diperbolehkan mengadopsi anak untuk ikut mencintai, mendidik, dan membesarkannya dengan tidak memutuskan hubungan silaturrahmi dengan orang tua kandungnya, serta tetap menempatkannya sebagai anak angkat dalam hak waris, nasab, dll., dan haram mengadopsi anak dengan memberikan hak-hak anak kandung kepadanya. Wallahu a’lam.
Humas PI

Humas PI

PERCIKAN IMAN ONLINE DIGITAL - Ruko Komplek Kurdi Regency 33A Jl. Inhoftank, Pelindung Hewan Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40243 Telp. 08112216667 | info@percikaniman.org

Related Post

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hukum Mengadopsi Anak

Anda betul, kita disunahkan melaksanakan shaum enam hari di bulan Syawwal sebagaimana disabdakan Rasulullah saw. “Diriwayatkan dari Abu Ayyub r.a. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa shaum pada bulan Ramadan, kemudian diikuti dengan shaum (sunah) enam hari pada bulan Syawal, seolah-olah ia shaum sepanjang tahun.� (H.R.Muslim).

Hadis ini tidak menjelaskan apakah shaum tersebut dikerjakan harus berturut-turut atau terpisah-pisah. Ini menunjukkan bahwa kita diberi kebebasan untuk menentukan sendiri, apakah mau berturut-turut atau terpisah-pisah. Itu semua tergantung pada situasi dan kondisi per individu. Yang penting harus dilakukan pada bulan syawwal.

Lantas, mana yang harus kita dahulukan, Qadha atau Syawwal? Paling tidak, ada dua pendapat mengenai masalah ini. Pendapat pertama menyatakan harus memprioritaskan shaum qadha karena shaum qadha hukumnya wajib, sementara shaum Syawwal sunah. Kalau bentrok antara yang wajib dan yang sunah, tentu yang yang wajib harus diprioritaskan. Pendapat kedua menyatakan, shaum enam hari pada bulan Syawwal itu terikat waktu. Kalau bulan Syawwal habis, berarti habis juga kesempatan shaum sunah. Karena itu shaum Syawwal harus diprioritaskan. Sementara shaum Qadha walaupun wajib, namun waktunya leluasa, bulan apa saja bisa kita lakukan.

Mencermati kedua pendapat di atas, sesungguhnya kita bisa melakukan kompromi. Kalau mampu, alangkah baiknya pada bulan syawwal itu kita lakukan dulu shaum qadha kemudian dilanjutkan dengan shaum sunah Syawwal. Dengan demikian kedua-duannya bisa kita kerjakan dengan baik di bulan Syawwal. Ini kompromi yang paling ideal.

Kalau tidak memungkinkan, hal ini diserahkan pada kebijakan kita (per-individu). Tidak tercela kalau kita memprioritaskan shaum Syawwal. Insya Allah, kita akan mendapatkan pahala shaum sunah Syawwal walaupun masih punya utang shaum Qadha. Juga tidak tercela kalau kita memprioritaskan shaum qadha dengan pertimbangan yang wajib harus lebih diutamakan dari pada yang sunah. Insya Allah, kita akan mendapat pahala dari segi memprioritaskan yang wajib.

Kesimpulannya, alangkah utama kalau shaum qadha dan Syawwal bisa kita laksanakan pada bulan Syawwal. Namun tidak salah kalau kita mau memprioritaskan salah satunya. Mengutamakan qadha akan mendapat pahala dari segi mengutamakan yang wajib. Mengutamakan Syawwal akan mendapat pahala dari aspek ibadah sunahnya.
Wallahu A’lam.

Humas PI

Humas PI

PERCIKAN IMAN ONLINE DIGITAL - Ruko Komplek Kurdi Regency 33A Jl. Inhoftank, Pelindung Hewan Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40243 Telp. 08112216667 | info@percikaniman.org

Related Post

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *