Percikan Iman – Bila seorang lelaki menjadi seorang suami sedangkan ia dalam kondisi sakit-sakitan, bisa jadi itu pintu surga bagi istrinya. Sabar dan ikhlas-lah, rawat dengan cermat dan sebaik-baiknya. Namun, bagaimana, jika belum menikah?
Seorang jama’ah haji usia 40 istrinya strok berat sehingga harus menggunakan kursi roda. Saat berhaji, suaminya mengurusi semua keperluan istrinya; mulai dari menceboki kala berkakus, menyuapi saat makan, hingga memandikan. 20 tahun berlalu hingga akhirnya istrinya wafat. Suaminya, begitu sedih kala itu. Dia begitu kehilangan ketika tak lagi ada yang ia urusi.
Setahun kemudian, sang suami ikut wafat.
Ketika sudah menjadi pasangan hidup, siappaun dia, apapun keadaaannya, terima. Itu karena dia menjadi pasangan kita, Allah S.W.T. yang menakdirkan. Jadi, kita mendapatkan takdir dari Allah S.W.T. misal diuji dengan sakit, terima. Lain hal ketika belum menikah.
Sekarang, bagaimana jika seseorang itu baru ‘akan menjadi’ pasangan kita? Ini peliknya. Pasalnya, akad itu harus dengan akal sehat. Dalam Islam sah dalam ibadah harus ‘aqil selain muslim dan baligh. Karena itu, sendainya kita mendapati seorang yang lemah akalnya, lantas salah dalam shalatnya, kita tidak perlu menegurnya.
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ الصَّغِيرِ حَتَّى يَبْلُغَ وَعَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الْمُصَابِ حَتَّى يُكْشَفَ عَنْهُ
Dari Ali Radhiallahu ‘anhu aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Diangkat pena dari tiga hal; anak kecil sampai dia mencapai akil baligh, orang yang tertidur sampai dia terjaga dan orang yang sakit (gila) sampai dia sembuh.” (HR. Ahmad: 896)
Nah, dalam konteks bahasan kita kali ini, bagaimana jika baru saja akad, sang suami ternyata sudah lupa. Jangankan lupa momen akadnya, siapa yang ia nikahi pun dia lupa. Persoalannya jadi terkait dengan hukum.
Jadi, bagi para calon pasangan, jika mendapati calon pasangannya dalam kondisi pikun, hendaknya mempertimbangkan ulang. Jangan khawatir dosa karena membatalkan pernikahan itu boleh. Jangankan sebelum akad, setelah akad pun gugat cerai diperbolehkan secara hukum.
Daripada akan muncul persoalan-persoalan hukum ke depannya, apalagi untuk mengingat waktu saja sudah sulit.
Yang juga perlu kita perhatikan ialah, ketika kalimat akad sementara yang bersangkutan dalam kondiis tidak sadar penuh, menjadi tidak sah dalam hukum Islam.
Simpulannya, hendaknya sahabat menghindari pernikahan dengan pasangan yang lemah atau bermasalah akalnya. Bukan soal, ibu-bapak cinta dan menerima kekurangan, namun karena masuk dalam ruang lingkup hukum. Artinya, bisa jadi akad nikahnya tidak sah.
Ketika akad tidak saha, muamalah sahabat dengan pasangan sahabat bisa menjadi haram.
Tulisan merupakan resume dari Bedah Masalah di Majelis Percikan Iman (MPI) yang disampaikan oleh guru kita, Ustadz Aam Amirudin pada Ahad, 25 Desember 2022 di Masjid Peradaban Percikan Iman, Arjasari