Percikan Iman – Belakangan, terkait dengan meniggalnya Eril, tersebar himbauan untuk melaksanakan “shalat ghaib”.
Bagaimana hukum dan tata cara pelaksanaannya? Pada momen Majelis Percikan Iman (MPI) 5 Juni 2022, Ustadz Aam Amirudin menyempatkan untuk membahasnya berdasarkan pertanyaan dari salah satu jama’ah.
Menurut beliau, “Ghoib” dalam konteks bahasan ini maksudnya ialah “mayit-nya” tidak ada di depan mata kita. Karena itu, disebut dengan shalat ghoib.
Latar belakang hukumnya berasal dari hadits yang menceritakan momen ketika Raja Najasyi yang diperkirakan sudah masuk Islam meninggal, sementara rakyat-nya tidak mengikuti (masuk Islam). Karena itu, tidak ada yang menyolatkan Najasyi.
Karena kondisi tersebut, Nabi Muhammad S.A.W. dan para sahabat menyolatkannya. Itulah shalat ghaib.
Abu Hurairah R.A. meriwayatkan:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ، وَخَرَجَ بِهِمْ إِلَى الْمُصَلَّى، فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ عَلَيْهِ أَرْبَعًا. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Artinya, “Sungguh Nabi saw memberitakan kabar kematian Raja Najasyi di hari kewafatannya, lalu beliau bersama para sahabatnya keluar ke tempat shalat, membariskan sahabatnya dan bertakbir sebanyak empat kali (shalat Ghaib).” (Alawi Abbas al-Maliki, Hasan Sulaiman an-Nuri, Ibânatul Ahkâm Syarhul Bûlugil Marâm, juz II, halaman 173).
Dari hadits tersebut, para ulama mengambil simpulan, jika shalat ghaib dilaksanakan karena kondisi; 1) Diperkirakan tidak ada yang menyolatkan, 2) Apabila ada yang meninggal dan tidak jenzahnya tidak dapat ditemukan, seperti kecelakaan pesawat, tertimbun material longsor, atau tenggelam di laut atau sungai
Dalam kasus anak dari Ridwan Kamil, Emmeril Kahn Mumtaz atau Eril, MUI Jawa Barat membahas mulai dari status Eril yang dinyatakan “wafat” meski jasadnya tidak ditemukan berdasarkan pernyataan pihak berwenang di Swiss.
Karena jasadnya tidak ditemukan, maka MUI menganjurkan untuk di-sholat-ghaib-kan.
Kondisinya berbeda ketika misalnya kita mempunyai saudara di Aceh yang meninggal dan kita yakin di sana ada yang menyolatkan. Dalam hal ini, kita tidak perlu shalat ghaib.
Ada yang mesti kita cermati dalam fenomena sosial di masyarakat kita. Misalnya, ketika ada salah seorang yang ayahnya meninggal jauh di luar Kota tempat tinggalnya. Kemudian, pengurus masjid melaksanakan shalat ghaib.
Dalam hal ini, kita melihat kondisi di mana masyarakat seolah menyamaratakan kondisi. “Pokoknya, ketika ada yang meninggal, kita shalat-ghaib-kan”.
“Tanpa mengurangi rasa hormat, maaf, ini keliru karena di tempat orang tua orang tersebut sudah ada yang menyolatkan,” terang Ustadz Aam.
Sedangkan untuk Eril, kita bisa shalat ghaib. Itu karena, kasusnya memenuhi salah satu dari dua syarat kondisi, yakni jasadnya tidak diketemukan.
Contoh lainnya yang memenuhi syarat untuk shalat ghaib ialah ketika ada teman kita yang meninggal di atas gunung. Kemudian, kita meyakini jika di sana tidak ada yang menyolatkan teman kita tersebut. Di sini, syarat kondisi yang terpenuhi ialah, yaitu karena tidak ada yang menyolatkan.
Kondisi lainnya ialah “terkait dengan waktu”. Dasar hukumnya ialah hadits yang mengabarkan pada kita soal perilaku Nabi yang menyolatkan Ummu Mahjan (tukang bebersih masjid nabawy di zaman Rasul) di samping kuburnya. Kala itu, Ummu Mahjan keburu dikuburkan sementara Rasulullah S.A.W. belum sempat menyolatkan. Pasalnya, menurut Abu Hurairah, para sahabat mengenggap Ummu Mahjan karena bukan orang penting, para sahabat inisiatif segera menguburkan Ummu Mahjan tanpa memberi tahu Rasulullah S.A.W..
Itu juga masuk kategori shalat ghaib karena mayitnya sudah dikuburkan, tidak terlihat secara kasat mata.
Dari kisah tersebut, kita dapat mengambil hukum, jika shalat ghaib juga dapat kita laksanakan khusus bagi orang-orang yang spesial di hati kita. Artinya, tidak berlaku bagi mereka yang tidak ada hubungan sama sekali dengan mayit.
Misalnya, ketika Anda ditinggalkan guru, anak, orang tua Anda, Anda dapat melaksanakan shalat ghaib bagi mereka. Namun, tidak perlu diumumkan karena orang lain tidak ada hubungannya.
Kondisi sejenis pernah saya alami sendiri. Kala itu, guru saya meninggal sementara saya sedang di luar negeri. Saya berpikir, saya tidak mungkin sempat menyolatkan jenazahnya. Saat itu, saya memutuskan untuk menyelesaikan acara saya. Baru ketika pulang, saya datang ke kuburannya, saya melaksanakan shalat ghaib.
Alasannya, saya merasa jika beliau punya banyak kontribusi memberikan ilmu kepada saya. Tidak banyak, namun, ada kata-katanya yang membuat saya haus dengan ilmu.
Tata caranya, sama dengan shalat jenzah, mau sendiri, boleh, berjama’ah pun boleh.
Kemudian, untuk batasan waktu, sama dengan waktu berduka, kembali ke urf atau budaya kita sendiri. Jika Anda merasa menilai masih perlu, Anda dapat melakukannya.
Simpulannya, hukum shalat ghoib mempersyaratkan tiga kondisi, yakni ketika jenazah tidak ditemukan, ketika mayit tidak ada yang menyolatkan, dan ketika kita punya ikatan batin yang kuat dengan orang yang meninggal tersebut. Pada kondisi itu-lah shalat ghaib baru bisa berlaku.