Sobat Percikan Iman, Fatwa merupakan hasil perenungan orang-orang yang ahli di bidangnya. Fatwa sangat terkait dengan ijtihad. Dalam definisi, ijtihad sering diungkap sebagai “baghulul wus’i finali hukmin sayaar’iyin bistin batil akhka minal qur’ani wal sunnah”, yaitu usaha orang-orang yang paham untuk menjawab persoalan-persoalan kekinian dengan melihat isyarat-isyarat dari Al-Quran dan sunah.
Sebetulnya, fatwa bersifat mengikat bila kita yakin dengan fatwa itu. Jadi, bila tidak meyakininya, fatwa menjadi tidak mengikat. Misalnya, fatwa yang menyatakan bahwa rokok haram. Bila kita berkeyakinan merokok tidak maslahat, sebaiknya fatwa tersebut kita pegang. Namun, kita tetap harus menghargai orang yang punya alasan tertentu sehingga berpendapat merokok tidaklah haram.
Contoh lain, fatwa yang menyatakan bunga bank haram. Tidak semua ulama sepakat bahwa bank konvensional itu haram. Ada yang mengatakan bahwa bila bunga bank tidak mencapai 2 kali lipat, bunga tersebut diperbolehkan. Itulah mengapa, saat ini kita melihat betapa banyak orang yang masih menggunakan bank konvensional.
Diakui, sekarang banyak sekali keluar fatwa. Padahal, fatwa dikeluarkan untuk sesuatu yang dianggap belum ada hukumnya dan hanya mengikat bagi yang meyakininya. Bagi Anda yang tidak meyakininya, maka fatwa tersebut tidaklah mengikat, tetapi lebih bersifat wacana intelektual, artinya masih bisa didiskusikan. Oleh karena itu, untuk hukum-hukum yang sudah jelas, tentu tidak usah difatwakan. Hal-hal yang sudah eksplisit di dalam Al-Quran dan hadits sudah tidak perlu pengeluaran fatwa, karena ketetapannya telah dikeluarkan langsung oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebut saja, fatwa bahwa minuman haram atau korupsi adalah haram. Masalah-masalah ini tentu sudah tidak perlu pengeluaran fatwa karena minuman keras adalah haram, korupsi sudah jelas diharamkan.
Menurut hemat saya, fatwa jangan terlalu sering dikeluarkan karena akan membuatnya tidak berwibawa. Pengeluaran fatwa sebaiknya hanya untuk hal-hal yang prinsipil, misalnya fatwa penggunaan vaksin yang mengandung unsur babi, yang biasa dipakai untuk calon jemaah haji. Dikatakan bahwa sebelum ada alternatif vaksin yang halal, maka vaksin yang ada bisa digunakan. Ini fatwa yang betul, artinya lebih bersifat memberikan solusi sebab adanya pendapat bahwa dalam vaksin itu terkandung bahan yang haram (babi), masyarakat tentu bertanya tentang ibadah haji atau umrah yang akan dilaksanakan.
Masalah ini jelas membutuhkan fatwa. Keluarlah fatwa bahwa selama masih ada vaksin yang halal harus menggunakan yang halal. Namun, bila sudah tidak ada yang halal karena kedaruratan tertentu,vaksin tersebut boleh digunakan dan sama sekali tidak merusak ibadah haji atau umrah seseorang.
Bila fatwa terlalu sering diungkap, apa yang terjadi? Hal ini akan membuat fatwa kehilangan greget-nya. Saya khawatir, saking seringnya keluar fatwa, masyarakat akan menjadi tidak acuh lagi. Wallahu a’lam.
Sumber : Majalah MAPI Okt 2010