Kebahagiaan rumah tangga yang menjadi tujuan setiap keluarga akan terbentuk di atas beberapa faktor, yang terpenting adalah faktor anggota keluarga. Kenapa? Karena mereka inilah faktor dan aktor pencipta kebahagiaan dalam rumah tangga, atau sebaliknya, kesengsaraan rumah tangga juga bisa tercipta oleh mereka. Dari anggota rumah tangga, sala satu faktor yang paling berperan besar dalam perkara ini adalah istri, karena dia adalah ratu dan ikon utama sebuah rumah tangga, ia adalah rujukan suami dan tempat kembali anak-anak, maka dalam bahasa Arab dia disebut dengan ‘Um‘ yang berarti induk tempat kembali.
عَنْ اَبِى اُمَامَةَ عَنِ النَّبِيّ ص اَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ: مَا اسْتَفَادَ اْلمُؤْمِنَ بَعْدَ تَقْوَى اللهِ خَيْرًا لَهُ مِنْ زَوْجَةٍ صَالِحَةٍ. اِنْ اَمَرَهَا اَطَاعَتْهُ وَ اِنْ نَظَرَ اِلَيْهَا سَرَّتْهُ وَ اِنْ اَقْسَمَ عَلَيْهَا اَبَرَّتْهُ وَ اِنْ غَابَ عَنْهَا نَصَحَتْهُ فِى نَفْسِهَا وَ مَالِهِ
Dari Abu Umamah, dari Nabi SAW, bahwasanya beliau bersabda, “Tidak ada yang memberi faidah (kesenangan) kepada orang mu’min sesudah taqwa kepada Allah yang lebih baik baginya selain dari istri yang shalihah. Jika diperintah dia thaat. Jika dipandang, dia menyenangkan. Jika diberi bagian, dia berbuat baik kepadanya. Jika suami sedang bepergian, dia menjaga dirinya dan harta suaminya”. (HR. Ibnu Majah )
Ia adalah sebagai pemeran utama dalam panggung rumah tangga, karena perannya yang cukup signifikan di dalamnya, maka istri harus membekali diri dengan sifat-sifat dan kepribadian-kepribadian utama sehingga dengannya dia bisa mengemban tugas dan memerankan perannya sebaik mungkin, dengan itu maka kondisi yang membahagiakan dan situasi yang menentramkan di dalam rumah akan terwujud.
Mengetahui skala prioritas
Dunia memang luas dan lapang, namun tidak dengan kehidupan, yang akhir ini, selapang dan seluas apa pun tetap terbatas, ada tembok-tembok yang membatasi, ada rambu-rambu yang mengekang, namun pada saat yang sama tuntutan dan hajat kehidupan terus datang silih berganti seakan tidak akan pernah berhenti, kondisi ini mau tidak mau, berkonsekuensi kepada sikap memilah skala prioritas, mendahulukan yang lebih penting kemudian yang penting dan seterusnya.
Istri yang baik adalah wanita yang mengetahui tatanan prioritas dengan baik, dalam tataran hubungan suami istri, secara emosinal dan fisik, dalam tatanan rumah tangga, secara formalitas dan etika, ia menempati deretan nomor wahid.
Realistis dalam menuntut
Di hari-hari pertama pernikahan, biasanya dalam benak orang yang menjalani tersusun rencana-rencana yang hendak diwujudkan, tertata target-target yang hendak direalisasikan, terlintas harapan-harapan yang hendak dibuktikan. Umum, lumrah dan jamak. Kata orang, hidup ini memang berharap, karena berharap kita bisa tetap eksis hidup dengan berbagai macam siatuasi dan kondisinya. Demikian pula dengan sebuah rumah tangga.
Tahun pertama harus memiliki anu. Tahun kedua harus ada ini. Tahun ketiga, keempat dan seterusnya. Alangkah bijaknya seorang istri jika dalam menuntut dan mencanangkan target memperhatikan realita dan kapasitas suami, jika sebuah harapan sudah kadung digantung tinggi, lalu ia tidak terwujud, maka kecewanya akan berat, bak orang jatuh dari tempat yang sangat tinggi, tentu sakitnya lebih bukan?
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: لاَ يَنْظُرُ اللهُ اِلىَ امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَ هِيَ لاَ تَسْتَغْنِى عَنْهُ
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Allah tidak akan melihat kepada wanita yang tidak bersyukur kepada suaminya, yaitu yang selalu merasa tidak cukup dari padanya”. (HR. Hakim)
Seorang istri shalihah selalu mendahulukan akalnya, dia tidak membuat lelah suaminya dengan tuntutan-tuntutan yang irasional, tidak membebaninya di luar kemampuannya dan tidak memberatkan pundaknya dengan permintaan-permintaan demi memenuhi keinginan-keinginannya semata.
Bermental kaya
Mental kaya, dalam agama dikenal dengan istilah qana’ah, rela dengan apa yang Allah SWT bagi sehingga tidak menengok dan berharap apa yang ada di tangan orang lain. Kaya bukan kaya dengan harta benda, namun kaya adalah kaya hati, artinya hati merasa cukup. Sebanyak apa pun harta seseorang, kalau belum merasa cukup, maka dia adalah fakir. Kata fakir dalam bahasa Arab berarti memerlukan, jadi kalau seseorang masih memerlukan [baca: berharap dan menggantungkan diri] kepada apa yang dimiliki oleh orang lain tanpa berusaha, maka dia adalah fakir alias miskin.
Dalam kehidupan ini tidak sedikit kita menemukan istri model seperti ini. Ditinjau secara sepintas dari keadaan rumahnya, rumah milik sendiri, lengkap dengan perabotan elektronik yang modern, didukung kendaraan keluaran terbaru, tapi dasar mentalnya mental miskin, maka yang bersangakutan tetap mengeluh seolah-olah dia adalah orang termiskin di dunia. Apakah hal ini merupakan kebenaran dari firman Allah SWT,
إِنَّ الإنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا
yang artinya, “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.” (QS. al-Ma’arij: 19).
Tanpa ragu, memang. Jika istri bermental kaya, maka keluarga akan merasa kaya dan cukup. Ini menciptakan kebahagiaan. Jika istri bermental melarat, maka yang tercipta di dalam rumah adalah iklim melarat dan ini menyengsarakan. (Ust. Izzudin Karimi, Lc).
Sumber:Buletin An-Nur