Jalan Menuju Syurga

Dari Abu Abdillah Jabir bin Abdullah Al-Anshori rodhiallohu ‘anhu. Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam, “Apa pendapatmu bila aku telah sholat lima waktu, berpuasa Ramadhan, aku menghalalkan yang halal, dan mengharamkan yang haram, dan aku tidak menambah amalan selain itu, apakah aku akan masuk surga?” Nabi menjawab, “Ya” (HR Muslim)


Maraji’ul Hadits (Referensi hadits)
Shahih Muslim, Kitabul Iman, Bab Bayanul Iman Alladzi… Hadits nomor 15.

Ahammiyatul Hadits (Urgensi Hadits)
Al-Jurdany berkata, “Hadits ini mempunyai kedudukan yang tinggi dan merupakan siklus ajaran Islam. Karena, pada dasarnya, amal perbuatan meliputi perbuatan hati dan perbuatan anggota badan. Perbuatan-perbuatan ini, hanya ada dua kemungkinan, dibolehkan (halal) atau dilarang (haram). Jika seseorang telah melaksanakan yang halal dan menghindari yang haram, maka ia telah melaksanakan semua tugas dalam agama dan akan masuk surga.

Fiqhul Hadits (Kandungan Hadits)

1. Rasulullah saw. adalah Rahmat bagi Alam Semesta.
Allah swt. telah mengutus Rasul-Nya, Muhammad saw., sebagai rahmat bagi alam semesta. Menyelamatkan mereka dari kesesatan dan mengajak untuk menapaki jalan hidayah yang bisa mengantarkan ke surga. Jalan menuju surga adalah jalan yang jelas dan mudah. Allah swt. telah menetapkan berbagai rambu-rambu di dalamnya. Barangsiapa yang komitmen dengan rambu-rambu tersebut maka ia akan sampai tujuan. Namun barangsiapa yang melanggar aturan-aturan yang ada maka ia akan sesat. Rambu-rambu tersebut tentunya sesuai dengan kemampuan manusia, karena Allah swt. menghendaki kemudahan bagi hamba-Nya dan tidak menghendaki kesulitan. Ini semua dapat dipahami secara jelas dari hadits di atas.

2. Merindukan Surga.
Dalam hadits di atas kita melihat betapa kesungguhan Nu’man untuk mendaptkan surga, dengan berusaha mengetahui berbagai amalan yang bisa mengantarkannya ke surga.
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sering ditanyakan oleh para sahabat nabi. Kesemuanya menunjukkan betapa mereka merindukan surga. Berikut beberapa hadits yang menunjukkan hal tersebut:
a.    Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Ayub Al-Anshary bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw., “Tunjukkanlah kepadaku satu perbuatan yang bisa memasukkanku ke surga.” Rasulullah saw. bersabda, “Beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya sedikitpun, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan menyambung silaturahmi.”
b.    Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Tunjukkan kepadaku perbuatan yang bisa mendekatkanku ke surga dan menjauhkanku dari neraka.”
c.    Dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim dari Abu Hurairah disebutkan, “Puasa Ramadhan” dan tidak disebutkan “Silaturrahim”.
d.    Ahmad meriwayatkan dari Abu Muntafiq ra. ia berkata bahwa saya datang kepada Rasulullah saw. Pada saat itu beliau di padang Arafah, lalu saya bertanya, “Dua hal yang akan saya tanyakan kepadamu, apakah yang bisa menyelamatkanku dari api neraka dan apa yang bisa memasukkanku ke surga?” Rasulullah saw. menjawab, “Meskipun pertanyaanmu singkat, namun memiliki makna yang luas. Karenanya, dengarkan baik-baik. Sembahlah Allah dan jangan menyekutukan-Nya sedikitpun, tegakkan shalat wajib, tunaikan zakat, berpuasalah di bulan Ramadhan, dan bergaullah dengan orang lain secara baik.”

3. Komitmen terhadap Berbagai Kewajiban dan Larangan adalah Kunci Keselamatan.
Dalam hadits di atas, Nu’man bertanya perihal dirinya, jika ia senantiasa mengerjakan shalat wajib dan meninggalkan semua yang dilarang dan melakukan yang diwajibkan, tanpa ditambah dengan perbuatan sunah sedikitpun, apakah bisa membawanya ke surga tanpa harus melalui siksa api neraka? Kemudian Rasulullah saw. menjawab dengan sebuah jawaban yang dapat menenangkan dan menyenangkan hatinya. Artinya, apa yang telah ia sebutkan sudah cukup baginya untuk mendapatkan surga.
Rasulullah juga telah menyampaikan firman Allah dalam hadits qudsinya, “Hamba-hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan melakukan apa yang Aku wajibkan kepada mereka.” (h.r. Bukhari).

4. Agama ini adalah Mudah.
Sikap Rasulullah di atas, dan dalam berbagai sikap lainnya, menunjukkan kemudahan Islam dan bahwa Allah swt. tidak membebani hamba-Nya dengan beban yang berat. Karena Rasulullah saw. telah bersabda, Allah menghendaki kemudahan, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah:185)
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah : 286)
“Dia sekali-kali tidak menjadikan kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Al-Hajj : 78)
Semua kewajiban dalam syariat Islam bersifat mudah dan sesuai dengan kemampuan manusia, karena kewajiban tersebut datang dari Dzat yang Maha Bijaksana dan Maha Tahu. Manusia yang berakal, tidak ada pilihan lain kecuali mendengat dan menaatinya agar bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.



6. Kejujuran Seorang Muslim.
Nu’man ra. adalah contoh seorang muslim yang jujur dan berterus terang. Ia tidak berpura-pura takwa dan shalih. Dia smenyatakan siap melaksanakan apa saja yang dinasihatkan kepadanya.
Sikap jujur dan terus terang ini juga sering ditampakkan oleh mereka yang hatinya di dominasi keimanan, jiwanya dipenuhi keyakinan dan tidak memiliki sedikitpun keraguan atau pun nifaq. Mereka yang tidak pernah memandang remeh syariat Allah swt. Sikap-sikap seperti Nu’man dan jawaban senada yang diberikan Rasulullah banyak terdapat dalam hadits Nabi saw.
Dalam Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang ingin melihat penduduk surga, maka lihatlah orang ini.”

7. Zakat dan Haji merupakan Kewajiban.
Zakat merupakan salan satu rukun Islam.ia memiliki urgensi tersendiri dalam Islam. Allah swt berfirman, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka. Dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mererka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.: (At-Taubah: 103)

Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah berkata kepada Mu’adz ketika hendak mengutusnya ke Yaman, “Katakan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan zakat terhadap mereka, diambil dari orang yang kaya dari mereka dan dibagikan kepada orang-orang fakir di antara mereka.”
demikian halnya haji, Allah swt berfirman, “Haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (Ali Imran : 97). Dengan demikian, komitmen terhadap dua rukun ini adalah satu kewajiban dan merupakan syarat terpenting agar selamat dari neraka dan masuk surga.

Nu’man tidak menyebutkan secara spesifik, sebagaimana ia menyebutkan shalat dan puasa. Dimungkinkan, karena saat itu Nu’man bertanya, zakat dan haji belum diwajibkan. Atau karena Nu’man memang tidak diwajibkan melaksanakan dua ibadah tersebut sebab tidak mampu menunaikannya. Bisa juga,karena haji dan zakat sudah masuk dalam ucapan, “Menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram” karena ucapan ini mencakup semua kewajiban yang ada.

7. Urgensi Shalat dan Puasa.
a.    Shalat
Penanya di atas menanyakan perihal shalat wajib. Inimenunjukkan secara jelas bahwa shalat adalah sesuatu yang tertananm dalam jiwa para sahabat, sesuatu yang mereka pandang penting. Ini tidak lain karena shalat adalah tiang agama dan tanda bagi seorang muslim. Ia menunaikan lima kali dalam sehari semalam dengan menjaga semua rukun, syarat, sunah,dan adab-adabnya.
Rasulullah bersabda, “Puncak dari perkara ini adalah Islam, berangsiapa masuk Islam maka ia akan selamat, tiang dari Islam adalah shalat dan puncaknya adalah jihad fi sabilillah.” (h.r. Thabrani)

b.    Puasa
Puasa menempati urutan kedua setelah shalat. Meskipun demikian, bukan berarti memiliki tingkatan kewajiban yang lebih kecil dari shalat. Para ulama sepakat bahwa puasa merupakan salah satu rukun Islam dan sesuati yang fundamental dalam Islam. Banyak hadits yang menunjukkan hal tersebut, karena itulah Nu’man secara spesifik menyebutkannya setelah shalat. Jika shalat selalu berulang lima kali dalam sehari dalam kehidupan seorang muslim, maka puasa hanya cukup dilaksanakan setahun sekali selama sebulan.

Saat itu, seorang muslim menahan diri dari rasa lapar dahaga, melatih diri terhadap akhlak-akhlak yang terpuji.
Karena itu, puasa layak disebut oleh sebuah hadits qudsy, “Semua perbuatan anak Adam adalah untuk dirinya sendiri, kecuali puasa, sesungguhnya puasa adalah milik-Kua dan Aku akan memberi pahala orang yang berpuasa sekehendak-Ku. Sedang puasa sendiri adalah benteng.” (h.r. Muslim)
Betul, memang puasa adalah benteng dari segala kemaksiatan dan benteng dari api neraka serta sarana untk menghapus berbagai dosa dan jalan menuju surga.

8. Tingkatan-tingkatan Ibadah.
Iman adalah dasar kesempurnaan. Karena pada dasarnya untuk bisa masuk surga sangat tergantung dengan keimanan dan tauhid, bukan pada yang lain. Barangsiapa yang beriman kepada Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, Malaikat-malaikat-Nya, hari Akhirat serta qadla dan qadar lalu mati dengan tidak menyekutukan Allah sedikitpun maka ia dipastikan masuk surga.

Melakukan kewajiban dan meninggalkan larangan adalah sesuatu yang bisa menghindarkan seseorang dari api neraka. Karena dasar dalam beribadah kepada Allah adalah menjaga kewajiban dan meninggalkan larangan. Barangsiap yang melakukan hal ini, maka ia benar-benar beruntung. Dari Amru bin Murrah Al-Jahmy, ia berkata bahwa seseorang datang kepada Nabi saw. dan berkata,
“Wahai Rasulullah, saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa engkau adalah Rasulullah, lalu saya shalat lima waktu, menunaikan zakat dari hartaku, puasa di bulan Ramadhan?” Maka Rasulullah bersabda, “Barangsiapa mati dalam keadaan seperti itu, maka ia akan bersama dengan para nabi, shidiqin dan orang-orang yang mati syahid, pada hari Kiamat, selama ia tidak durhaka terhadap kedua orang tuanya.” (h.r. Ahmad)

Dari sini kita pahami bahwa pelaksanakan amalan-amalan sunah adalah tambahan untuk semakin dekat dengan Allah. Seorang muslim boleh meninggalkan amalan-amalan tersebut, demikian juga masalah-masalah yang bersifat mubah dan makruh. Ini jika dilakukan secara individu. Namun, jika dilakukan secara massal, maka harus diperangi. Ini dilakukan karena seakan-akan mereka telah menolak amalan sunah tersebut.

Demikian halnya, jika seseorang (bukan massal) meninggalkan amalan sunah mengangap remeh amalan tersebut atau mengingkari keutamaan dan persyariatannya, maka ia dianggap kufur dan murtad. Orang seperti ini diharuskan betraubat dan dipaksa melaksanakan amalan sunah.
Adapun orang yang meninggalkannya karena rasa malas, namun tetap meyakini masyu’iyahnya maka akan menyebabkan harga dirinya jatuh. Bahkan masuk dalam kategori fasik, karena hal ini menunjukkan sikap meremehkan agama dan berbagai syiarnya. Bagaimanapun, disyariatkannya amalan-amalan sunah adalah untuk melengkapi berbagai amalan wajib yang kadang dilaksanakan secara tidak sempurna.

Seorang muslim yang menginginkan keselamatan dan benar-benar ingin mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah swt., tidak akan meninggalkan amalan sunah dan juga tidak akan mendekati perbuatan yang makruh. Seakan ia tidak membedakan dalam perintah antara wajib, sunah, dan mubah atau dalam larangan antara haram dan makruh.
Demikianlah kondisi para Sahabat Nabi saw. Mereka tidak membeda-bedakan apa yang telah diperintahkan ataupun yang dilarang. Mereka senantiasa komitmen dengan firman Allah swt., “ Apa yang diperintahkan Rasulullah kepadamu maka ambillah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr : 7)

Itu semua dilakukan karena mereka inginuntuk mendapatkan pahala, rahmat, dan keridhaan Allah.
Demikian halnya para tabi’in, orang-orang yang mengikuti jejak mereka, para shalafusshalih dan para tokoh ulama.
Sedangkan para fuqaha, ketika menjelaskan macam-maxam hukum syar’i (wajib, sunah, mubah, haram, dan makruh), hanyalah untuk membedakan amal perbuatan, apakah sah atau tidak, harus diulang atau tidak, dan kaitan hukum yang lain.

Adapun sikap Rasulullah saw. terhadap sahabat yang menyatakan tidak menambah sedikit pun dari perbuatan wajib, yang terkesan mengamini, hanyalah semata-mata untuk mempermudah, dan untuk memberikan pelajaran kepada para da’i dan pendidik senantiasa menanamkan harapan dalam diri mad’u dan anak didiknya, memiliki sikap lapang dada dan lembut. Untuk mengukuhkan bahwa Islam datang dengan segenap kemudahannya.

9.Halal dan Haram hanya dari Allah.
Sebagaimana yang kita pahami bahwa pada prinsipnya keimanan adalah keyakinan terhadap halalnya sesuatu yang telah dihalalkan Allah, dan haramnya sesuatu yang telah diharamkan Allah. Jika ada seseorang yang beranggapan bahwa ia bisa mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh syara’ atau sebaliknya, maka ia telah mencampuri hak Allah swt. dan dianggap keluar dari Islam, sedangkan Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang tersebut. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orangyang melampaui batas.” (Al-Maidah : 87)
Ayat ini turun karena ada sebagian sahabat yang ingin mengharamkan untuk dirinya sebagian barang halal, karena zuhud. Maka Rasulullah berkata kepada para sahabat yang bersangkutan,
“Akan tetapi saya shalat dan tidur, ouasa dan juga terbuka serta menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunahku maka tidak termasuk golonganku.” (h.r. Bukhari dan Muslim)

10. Bersumpah untuk melakukan kebaikan.
Barangsiapa yang bersumpah untuk melakukan kebaikan, yang kebaikan tersebut semata-mata ketaatan, maka hendaklah ia melakukannya. Allah berfirman, “Dan jagalah sumpahmu.” (Al-Maidah : 89)
Namun, barangsiapa yang bersumpah untuk meninggalkan sesuatu kewajiban dan melakukaan perbuatan yang dilarang, maka ia wajib mencabut sumpahnya, sebagaimana ditegaskan dalam sabda Nabi saw., “Barangsiapa yang bersumpah untuk melakukan maksiat, maka tidak ada sumpah baginya.” (h.r. Abu Dawud)
Sedangkan orang yang bersumpah untuk meninggalkan kebaikan, yang bukan wajib, maka ia sebaiknya membatalkan sumpahnya karena pembatalan tersebut adalah kebih baik baginya. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang bersumpah terhadap sesuatu, lalu ia mendapati ada yang lebih baik dari sumpah itu, hendaklah ia memilih yang lebih baik dan membatalkan sumpahnya.” (h.r. Muslim)

11. Seorang muslim hendaknya selalu bertanya kepada orang-orang yang lebih mengerti, tentang berbagai syariat yang belum ia ketahui. Apa yang dilarang, apa yang diwajibkan, agar ia bisa melakukan setiap perbuatan dengan tenang.

12. Para da’i dan pendidik hendaknya memberikan kemudahan terhadap orang-orang yang belajar kepadanya dan selalu mempermudah.


Semoga akan memperjelas betapa jalan panjang ke syurga itu mudah, jika kita mau menempuhnya 🙂

Teh Emil
Sumber : al Wafi

Humas PI

Humas PI

PERCIKAN IMAN ONLINE DIGITAL - Ruko Komplek Kurdi Regency 33A Jl. Inhoftank, Pelindung Hewan Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40243 Telp. 08112216667 | info@percikaniman.org

Related Post

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *