عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ ثَوْبَانَ بْنِ بُجْدَدَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
أََفْضَلُ دِيْنَارٍ يُنْفِقُهُ الرّجُلُ دِيْنَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى عِيَالِهِ وَدِيْنَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى دَابَّتِهِ
فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَدِيْنَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى أَصْحَابِهِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ (رواه مسلم)
Dari Abi ‘Abdillah Tsauban bin Bujdad bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Dinar yang paling utama yang dibelanjakan seseorang adalah dinar yang ia belanjakan untuk keluarganya, dinar yang ia belanjakan untuk kendaraannya di jalan Allah, dan dinar yang ia infakkan untuk rekan-rekannya (yang tengah berjuang) di jalan Allah.” (H.R. Imam Muslim)
Ada banyak pelajaran yang dapat diambil dari hadis di atas, antara lain: pertama, di hadapan seorang mslim, terbuka lebar banyak pintu untuk berbuat baik dengan harta. Kedua, menjelaskan peringkat keutamaan pengeluaran harta (infak) yang dilakukan seorang muslim, bahwa memberi nafakah kepada keluarga merupakan infak yang paling mulia. Dalam hadis lain disebutkan,
دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِيْ رَقَبَتِهِ وَدِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِيْنٍ وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا اَلَّذِيْ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ (رواه مسلم)
“Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk (mememerdekakan) hamba sahaya, dinar yang engkau infakkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau infakkan untuk keluarga, yang paling utama di antara semua itu adalah dinar yang engkau infakkan kepada keluargamu.” (H.R. Imam Muslim)
Persoalannya adalah, tidak mungkin kita dapat berinfak dengan harata jika kita tidak memilikinya. Lebih-lebih jika kita mencermati ayat-ayat Al Quran yang memerintahkan kita terlibat dalam jihad. Selalu saja disandingkan antara kewajiban berjihad dengan jiwa dengan kewajiban berjihad dengan harta. Bahkan dari semua ayat yang memerintahkan kita berjihad dengan harta dan jiwa, berjihad dengan harta selalu didahulukan, kecuali pada satu ayat saja yakni ayat 111 Surah At-Taubah, yang maknanya,
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin jiwa dan harta mereka dengan (mendapatkan) surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh.”
Selebihnya, hartalah yang disebut terdahulu. Perhatikan ayat-ayat berikut,
“Wahai orang-orang yang beriman, inginkah kalian aku tunjukkan pada suatu perniagaan yang menyelamatkan kalian dari azab yang pedih? Kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kalian berjihad di jalan Allah denganh harta dan jiwa kalian.” (Q.S. Ash-Shaf 61: 10-11)
Ini diperkuat dengan adanya kewajiban zakat. Dalam urusan yang satu ini memang ada kesalahan persepsi pada sebagian kaum muslimin. Kewajiban zakat sering dipahami begini: “Kalau punya harta, zakatlah. Kalau tidak punya, tidak usah mengeluarkan zakat”. Secara fiqih, pemahaman itu sangat benar. Tapi semangatnya bukanlah semangat kepasrahan pada keadaan. Semangat perintah zakat harusnya dipahami: “Carilah uang, kumpulkanlah harta agar dapat melaksanakan perintah Allah yang bernama zakat”. Seharusnya kita membawa semangat shalat untuk diterapkan pada zakat. Kita selalu berpikir, kita harus bisa melaksanakan shalat dengan segala perjuangan yang menjadi konsekuensinya. Dari mulai mencari penutup aurat, mencari tempat shalat, menentukan arah kiblat, menyucikan diri, dan seterusnya.
Itu semua mematahkan anggapan yang masih dianut sebagian orang bahwa kesalihan dan ketakwaan identik dengan kepapaan, kemelaratan, kesengsaraan, dan ketertindasan. Seolah-olah hanya orang miskin, jelata, dan tertindaslah yang layak menghuni surga. Sebaliknya, orang kaya dan orang yang punya jabatan tidak punya tempat di surga. Ini diperparah dengan sering disitirnya hadis-hadis dha’if (lemah) atau bahkan maudhu’ (palsu) yang memberikan pesan untuk menjauhi dunia sejauh-jauhnya demi mencapai ketakwaan dan kesucian jiwa. Atau mungkin juga menyitir hadis sahih tentang zuhud dengan pemahaman yang salah.
Zuhud tidaklah identik dengan melarat. Zuhud adalah kepuasaan hati dengan apa yang diberikan Allah swt. Zuhud adalah ketiadaan ikatan hati kepada harta dan hal-hal bersifat material lainnya. Orang yang merasa puas dengan apa yang Allah berikan sembari meniadakan keterikatan hatinya dengan harta dan jabatan, tidaklah kehilangan sifat zuhud sekalipun ia kaya raya.
Utsman Bin ‘Affan adalah konglomerat dan kaya raya. Beliau termasuk sahabat Nabi saw. yang dijamin masuk surga. Demikian pula halnya dengan ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Beliau sukses dalam bisnis dan menjadi saudagar kaya raya. Toh beliau juga termasuk yang dijamin masuk surga. Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, khalifah yang kaya raya. Tapi justru dia termasuk orang zuhud.
Posisi harta dalam Islam sama dengan posisi kemiskinan: sebagai ujian bagi manusia. Dengan kekayaan orang bisa masuk surga sebagaimana dengan kekayaan pula orang bisa masuk neraka. Dengan kepapaan orang bisa masuk surga sebagaimana dengan kepapaan pula orang bisa masuk neraka. Semuanya ujian! Allah swt. menegaskan,
“Dan Kami coba kalian dengan keburukan dan kebaikan, (semuanya) sebagai ujian.” (Q.S. Al Anbiya 21: 35)
Rasulullah saw. bersabda,
“Sesungguhnya dunia itu manis dan menghijau. Dan sesungguhnya Allah mengangkat kalian sebagai khalifah di dalamnya untuk melihat (menguji) bagaimana kalian bekerja. Maka berhati-hatilah dengan dunia dan berhati-hatilah dengan wanita. Karena sesungguhnya fitnah Bani Israil adalah pada wanita.” (H.R. Imam Muslim)
Jadi, orang yang saleh bukanlah orang memilih meninggalkan harta, melainkan yang lulus dalam ujian mengelola harta itu. Seseorang dianggap lulus ujian dalam urusan harta manakala,
Pertama, hanya menempuh cara halal untuk memperoleh harta.
Pada hari kiamat, setiap orang akan diminta pertanggungjawaban terkait dengan hartanya, dari manakah ia memperolehnya dan dengan cara apa? Ini batu ujian pertama. Rasulullah saw. bersabda, “Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang beriman seperti yang diperintahkan kepada para rasul. Dia berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah dari yang baik dan beramal salehlah karena sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kalian lakukan.’ Dia juga berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman makanlah yang baik dari yang Kami rezekikan kepada kalian.’” Lalu Rasulullah saw. menerangkan tentang orang yang mengadakan perjalanan panjang, kusut masai dan berdebu. Ia mengadakahkan kedua tangannya (berdoa) ke langit (sambil mengatakan), “Ya rabbi, ya rabbi, sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan diberi makan dari yang haram, bagaimana doanya akan dikabulkan.” (H.R. Imam Muslim)
Kedua, harta itu tidak menyebabkan sombong.
Orang yang sukses mengelola harta adalah orang yang dengan hartanya justru semakin rendah hati dan menyadari bahwa segala yang dimilikinya adalah titipan atau amanah dari Allah. Abdurrahman bin ‘Auf yang padahal termasuk orang yang dijamin masuk surga pernah berlinang air mata saat dirinya siap menyantap hidangan lezat yang ada di hadapannya. Ketika ditanya penyebab ia menangis, ia menjawab, “Aku takut hanya yang kunikmati di dunia inilah yang menjadi ganjaranku dari Allah.”
Ketiga, menjadi fasilitas untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik harta yang saleh adalah yang ada pada orang saleh.” Beliau juga memerintahkan kepada kita, “Jauhkanlah dirimu dari neraka walau dengan hanya sebuah kurma.”
Keempat, menjadi fasilitas untuk silaturahim.
Infaq adalah baik. Dan infaq kepada kerabat adalah lebih baik lagi. Karena selain bernilai taqarrub, perbuatan itu juga merupakan upaya silaturahim. Rasulullah saw. bersabda, “Shadaqah kepada orang misikin adalah satu shadaqah dan shadaqah kepada orang yang punya hubungan rahim (kerabat) adalah dua shadaqah: shadaqah dan shilah (menyambungkan).” (H.R. Tirmidzi)
Kelima, menjadi fasilitas untuk perjuangan.
Perjuangan Islam jelas tidak mungkin tanpa dukungan finansial. Kekuatan kuffar harus dihadapi dengan kekuatan optimal kaum muslimin. Dan ini tentu saja salah satu kekuatan itu adalah kekuatan maliyyah (finansial).
Jadi, Islam tidak memusuhi harta. Islam juga tidak mengajarkan umat Islam memusuhi orang kaya. Surga terbuka bagi orang kaya. Yagn penting ajaran Islam tentang pengelolaan kekayaan dipatuhi. Jadi, menjadi orang kaya, siapa takut? Wallahu a’lam.