Berikut ini adalah kajian tentang Ilmu yang mempelajari tentang Warisan (ilmu Faraidh). Ada banyak hadist yang menerangkan betapa pentingnya belajar dan mengerti Ilmu Faraid, seperti salahsatunya hadis :
Nabi SAW. bersabda, “Pelajarilah ilmu faraid serta ajarkanlah kepada orang-orang, karena aku adalah orang yang akan direnggut (wafat), sedang ilmu itu akan diangkat dan fitnah akan tampak, sehingga dua orang yang bertengkar tentang pembagian warisan, mereka berdua tidak menemukan seorang pun yang sanggup meleraikan (menyelesaikan perselisihan pembagian hak waris) mereka.” (HR Imam Ahmad, at-Tirmidzi, dan al-Hakim: Ibnu Mas’ud r.a.)
Baiklah mari kita mulai dari hal yang mudah dahulu.
PENENTUAN HARTA WARITSAN
1. Inventarisasi Harta Waritsan
Mayoritas ulama menyatakan bahwa harta waritsan adalah harta yang ditinggalkan orang yang meninggal untuk diberikan kepada ahli waritsnya. Imam Malik memberikan pengertian berdasarkan sebuah riwayat berikut ini :
مَنْ تَرَكَ حَقًّا أَوْ مَالاً فَهُوَ لِوَرَثَتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ
Barangsiapa meninggalkan suatu hak atau suatu harta, maka hak atau harta itu adalah untuk ahli waritsnya setelah kematiannya.
“Hak” dalam riwayat di atas termasuk kewajiban membayar hutang, hak wali, hak khiyar dan lain sebagainya.
Seperti halnya dalam syarat pemberian hak milik dengan cara lain seperti hibah atau wasiat, pemberian hak milik melalui waritsan pun semestinya merupakan harta yang semula merupakan hak milik sah dari almarhum. Status hak milik dinyatakan dengan tanda bukti yang sah meski kadangkala memakai atau meminjam nama lain dalam sertifikat atau yang lainnya, selama tidak ada pernyataan hibah kepada orang yang memiliki nama tersebut.
Itu sebabnya istilah lain yang sama populernya dengan harta waritsan adalah harta peninggalan. Misalnya seseorang meninggal dengan harta kekayaan yang dimilikinya adalah rumah, tanah, mobil, perhiasan dan barang berharga lainnya.
Namun masalah muncul pada penentuan harta peninggalan pada almarhum/ah yang masih merupakan suami atau istri seseorang. Mengingat Islam tidak merinci criteria harta apa saja yang dapat dijadikan rujukan untuk menentukan bahwa harta yang dimaksud merupakan peninggalan almarhum/ah. Sehingga pola yang biasa dipakai di suatu wilayah bisa dijadkan sandaran selama tidak bertentangan dengan prinsif-prinsif syari’at. Khusus untuk negara kita Indonesia, pola gono-gini ( campur kaya dan raja kaya ) yang ada pada sebagian adat jawa dan beberapa daerah lainnya bisa dijadikan salah satu sandaran dalam penentuan harta peninggalan bagi almarhum yang masih menjadi istri atau suami. Dan sejauh ini, pola ini cukup efektif untuk menentukan harta peninggalan almarhum yang masih menjadi isteri atau suami dengan – sekali lagi – tetap memperhatikan batas-batas yang ditetapkan oleh syari’at.
Berikut beberapa langkah penentuan harta waritsan khusus bagi almarhum yang masih memiliki pasangan ( suami atau isteri ) :
a. Harta bawaan ( raja kaya ;sunda ). Harta yang dibawa almarhum sebelum menikah dan bertahan ( tetap atau berkurang ) sampai meninggal. Termasuk harta bawaan adalah sejumlah harta yang muncul berikutnya berkaitan dengan kematian almarhum. Misalnya pesangon, tunjangan kematian, pelunasan hutang pada almarhum dari orang lain dan lain sebagainya.
b. Harta gono gini. Harta yang dimiliki bersama dengan pasangan setelah berumah tangga secara mutlak, baik yang bersangkutan ikut berusaha dalam bentuk pekerjaan atau hanya memelihara dan merawatnya saja. Harta gono gini dibagi dua terlebih dahulu dengan satu bagian untuk suami/isteri yang masih hidup dan satu bagian lainnya untuk almarhum sebagai harta waritsan. Prosentase pembagian gono-gini ditetapkan berdasarkan kesefakatan antar pihak terkait khususnya ahli warits. Namun umumnya dibagi sama yaitu fifty-fifty.
Ketentuan di atas tidak bersifat mengikat, sehingga diperlukan musyawarah bersama khususnya di kalangan ahli warits untuk menentukan pilihan terbaik dari hasil analisa dan bukti-bukti yang dapat ditemukan.
Selesai mengiventarisasi jumlah harta waritsan dari almarhum, jangan lupa untuk terlebih dahulu memenuhi kewajiban membayar hutang dan menunaikan wasiat (jika ada) sebelum dibagikan kepada ahli warits.
2. Menyegerakan Pembagian harta Waritsan
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ
“Berikanlah bagian fara’idh (warisan yang telah ditetapkan) kepada yang berhak menerimanya. Dan harta yang tersisa setelah pembagian, maka itu bagi pewaris lelaki yang paling dekat (nasabnya).” (HR. Al-Bukhari)
Urusan waritsan merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dari mengurus jenazah, membayarkan hutang dan menunaikan wasiat. Keempatnya merupakan perkara yang harus disegerakan meski masing-masing memiliki standar waktu masing-masing dalam menyegerakannya.
Mengurus jenazah tentu jangka waktunya lebih pendek dan tidak diperkenankan melebihi hitungan hari kecuali jika keadaan darurat. Sementara membayar hutang, menunaikan wasiat dan membagikan waritsan memiliki rentang waktu yang lebih leluasa untuk menunaikannya. Meski begitu, perhatian untuk segera menyelesaikan ketiga perkara tersebut secepat mungkin tetap dianjurkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Lebih-lebih bila dikaitkan dengan keberadaan almarhum di alam Barzakh yang dihawatirkan akan menanggung “beban moral” akibat sikap ahli waritsnya yang berlama-lama untuk menyelesaikan perkara yang semestinya disegerakan apalagi sampai terjadi ketegangan atau bahkan perpecahan akibat harta yang ditinggalkannya. Mari kita cermati Sabda Rasulullah saw. berikut :
إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ
“Sesungguhnya mayit akan disiksa karena tanginsan keluarganya” ( Hr. Muslim )
Mafhum sederhana dari hadits di atas, jika karena tangisan ( yang tidak sewajarnya ) saja dari keluarga atas kematian seseorang bermasalah bagi nasib almarhum di Alam Qubur, apalagi kalau terus-terusan bersitegang gara-gara waritsan yang salah satunya karena tidak juga dibagikan atau diselesaikan sesuai dengan haknya masing-masing.
Umumnya kaum muslimin di negara kita selalu mendahulukan rasa canggung, tidak enak dan lain sebagainya ketika dalam waktu yang tidak lama dari kematian almarhum sudah menyinggung-nyinggung waritsan. Padahal justeru dengan anggapan dan perasaan tersebut, masalah besar muncul di kemudian hari akibat berbagai perubahan yang terjadi baik pada ahli warits maupun harta waritsannya. Bahkan tidak jarang saya temukan persoalan rumit dalam pembagian waritsan akibat penangguhan yang memakan waktu cukup lama. Untuk itu, mari kta sama-sama perhatikan 2 ayat berikut yang merupakan rangkaian dari penjelasan tentang waritsan dalam al-Quran surat an-Nisa ayat 9-10 :
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Wallau a’lam bish-shawab.
*****
Ditulis oleh Ust. Dadang Khaerudin,
Konsultan Warits & Pernikahan
Telp. 081322916681 / 022-4238445
Email : dangmas@yahoo.com