Saudara seiman yang dimuliakan Allah, kita patut berbangga jika pada realitanya cukup banyak orang yang sadar akan kewajiban menutup aurat karena kebiasaan membuka aurat di luar shalat (langsung atau tidak langsung) mempengaruhi diterima dan tidaknya shalat.
Aurat laki-laki adalah wilayah tubuh antara pusar dan lutut, sementara aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan (termasuk punggung tangan). Perintah menutup aurat (khususnya bagi perempuan) disebutkan dalam ayat berikut.
“Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Q.S. An-Nuur [24]: 31)
Secara sederhana, aurat dapat kita artikan sebagai sesuatu yang harus ditutupi atau tidak boleh dibiarkan terbuka. Aurat harus ditutup karena jika terbuka ia akan mendatangkan madharat.
Jadi, perkara aurat tidak bisa dilepaskan dari pertimbangan maslahat dan madharat. Misalnya, kita dibolehkan membuka aurat di hadapan anak dari adik atau kakak kita. Tapi jika anak tersebut sudah dewasa dan dikhawatirkan akan mendatangkan madharat ketika melihat aurat kita, maka sebaiknya aurat tetap tertutup.
Sebaliknya, bagi wanita tua yang sebagian anggota tubuhnya sudah tidak lagi menjadi daya tarik bagi laki-laki, ulama sepakat membolehkan aurat mereka terbuka, misalnya pada bagian mata kaki atau yang lainnya meski menutupnya tetap lebih afdol.
Melihat ayat di atas, pihak yang dilarang melihat aurat adalah lawan jenis (kecuali beberapa pihak yang dianggap tidak memadharatkan seperti dirinci dalam ayat di atas) sehingga (dalam batas tertentu) tidak mengapa aurat terbuka pada sesama jenis.
Namun demikian, perbedaan pendapat terjadi di kalangan ulama mengenai hal ini. Sebagian ulama memandang mutlak larangan membuka aurat pada orang kafir meskipun sesama jenis. Pendapat lain mengatakan bahwa boleh saja membuka aurat pada non-muslim (yang sejenis) selama diyakini orang tersebut mampu menjaga rahasia aurat kita.
Bila kita cermati ayat di atas, ternyata pihak-pihak yang boleh melihat aurat kita tidak secara rinci disebutkan (apakah dia mukmin atau kafir).
Dengan demikian, boleh saja kita membuka aurat di hadapan orang kafir yang sejenis atau pihak-pihak yang dijelaskan dalam ayat di atas, selama dipandang tidak akan memadharatkan (khususnya) diri sendiri dan (umumnya) orang yang bersangkutan.
Wallahu a’lam.