Percikan Iman – Kapan lailatul qadr hadir? Rasulullah S.A.W. tidak memberitahu secara definitif kapan ia hadir. Keterangan berupa hadits hanya mengabarkan pada kita ciri-ciri ketika malam Lailatul Qadr itu hadir.
Apakah pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir? Apakah di malam-malam ganjil? Apakah pada malam 27? Benar, begitulah menurut berbagai keterangan. Namun, sekali lagi tidak ada yang menyebutkan definitif
Sebagian besar ulama memprediksi Lailatul Qadr terjadi pada tanggal-tanggal ganjil pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan.
Sementara Imam Syafi’i lebih spesifik lagi berpendapat bahwa tanggal 21 (malam in) dan 23 Ramadhan (24 April 2022) lebih berpotensi terjadi malam Lailatul Qadr. Sedangkan mayoritas ulama termasuk Syekh Nidzamuddin an-Naisaburi berpendapat malam Lailatul Qadar terjadi pada 27 Ramadhan.
Kemudian, yang juga jelas ialah ciri-ciri malam ketika terjadinya Lailatul Qadr, yaitu:
- Ketika melaksanakan ibadah pada malam itu hati merasa nyaman dan tentram
- Ada perasaan udara tidak panas pun juga tidak dingin.
- Keadaan alam semesta terasa lebih tenang, asri dan memberikan nuansa hangat.
- Sinar matahari terasa teduh dan hangat namun tidak terik.
- Bisa melihat bulan secara utuh dan mendapat panggilan untuk beribadah kepada Allah S.W.T. pada malam Lailatul Qadar.
Namun, yang patut kita perhatikan ialah pendapat Ibnu Hajar al-Atsqalani yang menegaskan, ciri-ciri gejala alam tersebut akan tampak setelah malam Lailatul Qadr-nya alias keesokan harinya, bukan sebelum atau saat sedang terjadi sehingga kita bisa mempersiapkan diri sebelum tepat kedatangannya.
Intinya, tidak ada yang pasti. Kehadiran Lailatul Qadr itu misteri.
Menurut Imam Fakruddin ar-Razi, hikmah dirahasiakannya kehadiran Lailatul Qadr. Dengan begitu, kaum Muslimin bersungguh-sungguh melakukan ibadah selama sebulan Ramadhan penuh demi mendapatkan malam istimewa tersebut. Jangan sampai kita lengah satu hari saja. Tentu kita tidak menginginkan malam Lailatul Qadar jatuh saat kebetulan kita sedang malas beribadah. (ar-Razi, Mafatihul Ghaib, t.t: juz 32, h. 28).
Yang jelas, Rasulullah S.A.W. melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan secara penuh (siang-malam dan menginap). I’tikaf merupakan puncak ibadah selama Ramadhan. Artinya, mereka yang tidak mempersiapkan sejak awal, bahkan jauh sebelum Ramadhan, akan lebih sulit untuk dapat melaksanakannya.
Bagaimana tidak, mereka yang dapat melakukan I’tikaf secara penuh, setidaknya harus meniggalkan pekerjaan selama waktu tersebut. Meski begitu, Allah S.W.T. selalu memiliki cara bagi hamba-hamba-Nya yang bersungguh-sungguh.
Mereka yang bersungguh-sungguh di mata Allah S.W.T itu mungkin salah satunya ialah Abah Engkon. Meski tak memiliki biaya untuk mengikuti I’tikaf, berkat kesungguhannya, Allah S.W.T. menggerakan hamba-Nya yang lain menjadi jalan Abah Engkon dapat mengikuti I’tikaf sepuluh hari penuh di Masjid Peradaban Percikan Iman.
Sebagaimana sahabat ketahui, Percikan Iman, melalui DKM Masjid Peradaban berupaya memberikan fasilitas pada jama’ah agar dapat melaksanakan I’tikaf di sepuluh hari terakhir.
Puluhan hingga ratusan jama’ah hadir secara bergantian mengisi slot peserta selama program tersebut.
Bagimana pengalaman jama’ah pada malam-malam I’tikaf tersebut? Sebagian peserta ada yang mengatakan ada yang berbeda pada malam ke-27. Hmm.. Sayangnya penulis justru tidak menangkap suasana tersebut, baik pada malam harinya maupun pada esok harinya.
Yang jelas, yang penulis rasakan, malam itu justru malam yang paling “tidak teringat”. Nampaknya, malam itu ialah puncak kelelahan, baik secara fisik maupun mental. Kantuk yang terakumulasi karena sepanjang program, kami harus bangun pada pukul setengah dua dini hari untuk tahajjud (tarwih). Jenuh karena kami berkegiatan hanya di seputaran masjid.
Namun, justru karena itulah penulis merasa jika pada malam itu-lah Lailatul Qadr hadir.
Mereka yang lengah kemungkinan akan kehilangan peluang mendapatkan keutamaan. Sebaliknya, mereka yang bersabar, teguh, ngeureyeuh di puncak lelah, di puncak kejenuhan, itulah mereka yang berhasil.
Penulis teringat dengan pesan Guru kita, Ustadz Aam Amirudin pada malam ke-22. Beliau menyampaikan pesan yang berjudul, “Lelah Yang Mendatangkan Cinta Allah”. Pada poin pertama, beliau menyampaikan jika kelelahan yang mendatangkan cinta Allah S.W.T. ialah “Lelah Karena Beribadah”. Sebagai rujukan, beliau menyitir awal surat Al-Muzammil:1-5 yang mengandung isi seruan Allah S.W.T. untuk bangun dari tidur (istirahat) agar melaksanakan shalat malam dan tilawah Al-Qur’an.
“Ketika kita membaca Al-Qur’an hingga kelelahan, melakukan tahajud hingga kelelahan, di titik itu-lah cinta Allah turun,” begitu kurang lebih kata beliau.
Bisa jadi, di malam itu, di malam ke-27 justru kita tidak sempat memperhatikan sekeliling, sudah tidak kuat memperhatikan alam sekitar, saking lelahnya, saking mengantuknya, saking jenuhnya. Namun, Alhamdulillah, penulis dan juga peserta I’tikaf tetap bangun melaksanakan tahajud.
Yang jelas, di malam itu, sebelum tidur, kami mendapatkan suguhan materi mengingat mati. Ustadz Ihsan Kamil berkesempatan memberikan muqoddimah fiqh perawatan jenazah. Menurut penulis, agak horor, mengingat malam itu juga bertepatan dengan malam Jum’at.
Penjadwalan yang sebetulnya “kecelakaan” mengingat pada awalnya, materi tersebut dijadwalkan pada hari lain. Namun, dialihwaktukan karena alasan lain.
Kemudian, momen pelaksanaan I’tikaf itu sendiri istimewa. Istimewa karena bertepatan dengan momen mudik besar-besar-an. Dua tahun memendam rindu pada kampung halaman, pada handai taulan, pada opor khas buatan orang tua, di saat itu-lah kita baru bisa melaksanakan mudik.
Bukan hanya itu, Ramadhan tahun ini juga ialah momen “buka puasa” shoping di mall, momen di mana kita kembali diperbolehkan shoping dengan agak leluasa, bukan online, namun dapat menyentuh wujud nyata, dapat melihat warna asli dari pakaian.
Bisa jadi, pilihan untuk mengisi momen-momen tersebut dengan ber-I’tikaf jadi kian sulit bagi sebagian orang. Mereka yang dapat melaksanakannya, bisa jadi ialah orang-orang pilihan.
Sudah kita meninggalkan peluang mudik, sudah kita meninggalkan peluang shoping, puncaknya ada di malam itu.. Malam ke-27, puncak lelah, puncak jenuh. Namun, jika mengingat pesan Guru kita, “Di titik (kelelahan) itu-lah justru cinta Allah turun.”