Teh Sasa, apa ciri-ciri orang yang telah kembali fitrah? Terus terang, sebagai ibu rumah tangga, saya merasa belum berhasil mendidik anak-anak menjadi anak yang shaleh serta belum mampu mengajak suami ke jalan yang benar. Sebagai pribadi, saya masih kurang amal shaleh, terlebih saat saya tidak shalat dan tidak shaum ketika haid. Amal ibadah apa saja yang bisa saya dikerjakan agar bisa meraih fitrah? Mohon penjelasannya. Jazakallah khair atas jawabannya.
Ibu yang dirahmati Allah Swt., tak ada manusia yang luput dari dosa. Setiap manusia pasti pernah melakukan kekhilafan semasa hidupnya sehingga membutuhkan ampunan Rabb-nya serta maaf dari sesama manusia. Dan tentu, menjadi dambaan setiap hamba bila selepas Ramadhan dapat kembali fitrah atas ridha-Nya.
Dosa-dosa yang kita lakukan akan amat terasa oleh orang-orang terdekat (keluarga). Mereka adalah amanah yang akan kita pertanggungjawabkan secara pribadi, langsung di hadapan Allah Swt. kelak di hari akhir. Bila selama ini Ibu merasa masih kurang mampu mengarahkan keluarga ke jalan Allah, janganlah berkecil hati. Yakinlah bahwa setiap usaha, doa, dan amal shaleh setiap manusia di dunia akan menghasilkan buah yang akan bisa dipetik, baik dinikmati langsung di dunia maupun menjadi bekal kebaikan amal shaleh kelak di akhirat. Jadi, insya Allah, kerja keras Ibu selama ini dalam membina keluarga akan tetap dinilai. Perhatikan ayat berikut.
“Dan katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.'” (Q.S. At-Taubah [9]: 105)
Harus disadari bahwa Al-Quran pun mengingatkan bahwa kita tidak berkuasa memberi hidayah kepada seseorang, sekalipun orang itu sangat dekat dan sangat kita cintai. Yang wajib kita lakukan adalah sekadar menyeru serta memberi nasihat dalam kebenaran dan kesabaran.
Berkaitan dengan pertanyaan Ibu di atas, berikut beberapa hal yang perlu saya jelaskan.
Meraih Fitrah dengan Ibadah
Kata fitrah dalam bahasa Arab memiliki arti (asal) menciptakan. Dalam kamus Lisanul Arab, Ibnu Mandzhur menulis salah satu makna fitrah dengan arti al-ibtida wal ikhtiro (memulai dan mencipta). Dengan begitu, pengertian fitrah adalah penciptaan awal atau asal kejadian. Fitrah bisa juga diartikan sebagai kondisi “default factory setting”, yaitu suatu kondisi awal sesuai desain pabrik.
Sebagai ilustrasi, misalnya, meja tamu. Karena meja tamu diciptakan sebagai tempat menyimpan hidangan tamu, maka fitrah meja tamu adalah untuk menyimpan beban barang yang ringan. Kemudian, baik bahan, proses, maupun desain produknya pun disesuaikan dengan tujuan pembuatannya. Ini berarti, meja tamu akan sangat cocok dan pas dipakai sebagai tempat menyimpan barang yang ringan karena hal tersebut sesuai dengan fitrahnya. Apakah meja bisa dipakai sebagai tempat duduk? Jawabnya, tentu bisa. Namun, pasti tidak akan nyaman, dan malah bisa cepat rusak atau patah.
Allah telah menciptakan manusia dengan tujuan agar manusia menjadi Hamba Allah yang mengabdi (ibadah) kepada Allah Swt. Firman Allah Swt.:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Q.S. Adz-Dzaariyaat [51]: 56).
Allah Al-Khaliq (Pencipta) dan Al-Mushawwir (Pendesain), pasti telah mendesain penciptaan manusia, baik bahan dan prosesnya, dengan sedemikian rupa agar hasil akhirnya terlahir suatu makhluk (manusia) yang bisa mengabdi (ibadah) kepada Allah Swt.
Dari sini bisa kita ketahui bahwa fitrah manusia adalah mengabdi atau beribadah kepada Allah Swt. Karena memiliki fitrah untuk mengabdi (ibadah) kepada Allah Swt., manusia tentu akan lebih nyaman bila hidupnya diisi dengan beribadah kepada Allah Swt. Sebaliknya, jika hidupnya dipakai maksiat (membangkang) kepada Allah pasti ia tidak nyaman, tidak tenang, dan dipastikan mengalami kerusakan.
Seandainya manusia telah lama menjauh dan menyimpang dari fitrahnya, ia bisa saja merasa nyaman dengan kemaksiatan. Namun, perlu dicatat, itu hanyalah sementara, karena pada akhirnya akan tetap rusak, hancur, karena penyimpangan dari fitrahnya.
Firman Allah:
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka gembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (Q.S. Al-An’aam [6]: 44)
Wilayah Rumah Tangga Salah Satu Lahan Ibadah Seorang Istri
Subhanallah, Maha-suci Allah yang telah menciptakan kita, manusia, atas fitrah-Nya, “… (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tak ada perubahan pada fitrah Allah….” (Q.S. Ar-Ruum [30]: 30). Maka fitrah wanita, alhamdulillah, ia bisa menjadi pasangan suami sebagai seorang istri serta bisa menjadi ibu dari anak-anaknya.
Sesungguhnya perintah agama bagi seorang wanita sangatlah sederhana, tidak memberatkan, yakni bisa menjaga kehormatannya, mendirikan shalat, berzakat, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta mengurus keluarga,
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan Rasul-Nya…” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 33)
“Siapa yang di antara kalian, para istri dan ibu, ikhlas tinggal di rumah untuk mengasuh anak-anak dan melayani segala urusan suaminya maka ia akan mendapat pahala yang kadarnya sama dengan para mujahidin di jalan Allah.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Sudah menjadi sunatullah wanita baligh mendapat siklus haid (sebelum memasuki masa menopause). Namun, sesungguhnya haid tidak mengurangi arti dari ibadah seorang wanita, karena pada masa haid, hanya hal-hal tertentu yang Allah Swt. larang, yaitu, pertama, melakukan shalat dan shaum (peny: bisa diganti dengan qadha shaum).
Rasulullah Saw. pernah berkata kepada para wanita, “Bukankah wanita itu apabila haid tidak boleh shalat dan shaum?”. “Betul!” jawab mereka. (H.R. Bukhari dan Muslim). Kedua, tidak boleh jima (Q.S. Al-Baqarah [2]: 222). Ketiga, tidak boleh berada di masjid. Rasulullah Saw. menjelaskan bahwa, “Sesungguhnya wanita haid tidak halal berada di masjid, demikan juga orang yang junub.”(H.R. Ibnu Majah dan Thabrani). Dan kelima, dilarang thawaf. Nabi Saw. bersabda, “Wanita yang sedang haid boleh melaksanakan seluruh rangkaian ibadah haji, kecuali thawaf” (H.R. Ahmad dan Ibn Abi Syaibah).
Sedangkan ibadah ghairu mahdah, yaitu aktivitas amal shaleh umum yang tata caranya tidak diatur, masih banyak dan tetap bisa dilakukan meskipun saat haid, seperti shadaqah, dzikir, membaca dan menghafal Al-Quran, dll. (peny: karena Al-Quran adalah pedoman hidup kita. Bahkan Siti Aisyah ra., beliau hafal Al-Quran, Al-Quran inherent (melekat) dalam ingatannya. Selain itu, tentu tidak mungkin selama haid, seorang muslimah tidak mengingat dan mengamalkan Al-Quran. Tanpa mengurangi rasa hormat, bagi yang berpendapat melarang sama sekali membaca dan menyentuh “mushaf” Al-Qur’an oleh wanita yang sedang haid).
Akhirul kata, semoga amal ibadah Ibu, baik di dalam dan di luar waktu Ramadhan, menjadi sarana mendekatkan diri meraih kasih sayang, berkah, dan ampunan Allah Swt. Insya Allah, berbekal rasa ikhlas, sabar, dan syukur sepanjang Ibu menjalankan kewajiban sehari-hari, kita memohon pada Allah Swt., fitrah itu, insya Allah dianugerahkan-Nya. Senantiasalah berjuang meraih derajat takwa sampai akhir hayat menjemput. Amiin ya Rabbal’alamiin.
Wallahu’alam bishawwab