Percikan Iman – “Selimuti aku, selimuti aku,” demi mendengar suara suaminya tersebut, tergopoh perempuan tersebut segera menghampiri seraya memeluknya. Kala itu pagi hari, tanpa tanya, apalagi curiga, hanya menerima
Dialah salah satu perempuan yang Rasulullah S.A.W. nubuwatkan akan menjadi pemuka surga dari kalangannya. Perempuan yang 15 tahun membersamai suaminya di kala serba mulia di hadapan manusia, namun tetap setia dan percaya di kala manusia menghinakan ajaran yang suaminya bawa.
Cinta sang suami padanya tak padam meski telah tiada, meski sang suami telah mendapatkan “padang rumput yang masih hijau”. Dialah Khadijah binti Khuwailid. Ketika kehilangannya, Rasulullah S.A.W. bukan sekadar kehilangan sosok istri, namun sekaligus kehilangan salah satu penyokong tugas “berat”-nya sebagai pemimpin umat akhir zaman.
Cinta dalam hatinya mulai tersemai dengan pesona akhlak (Nabi) Muhammad S.A.W. yang kala itu berstatus sebagai mitra bisnis-nya. “Benarlah ia Al-Amiin”. Suatu gelar yang merangkum perpaduan kejujuran, keuletan, kerendahanhati, kepiawaian (Nabi) Muhammad (S.A.W.). Begitulah kabar yang ia dapat dari Maisaroh.
Apalagi, ada ciri-ciri keagung-an yang melekat pada sosok (Nabi) Muhammad (S.A.W.) Tercirikan dengan awan yang senantiasa menaungi selama business trip ke negeri Syam. Juga pepohon yang merunduk di kala “transit” sejenak di salah satu kediaman seorang Rahib.
Bergetarlah hati Khadijah dan bersegera ia meminta sahabatnya untuk melamarkan baginya (Nabi) Muhammad (S.A.W.) Padahal, banyak Crazy Rich dan pejabat Arab yang bersusah payah meminang dirinya, namun justru hatinya terpaut pada seorang pemuda yang baru saja “merintis karir” sebagai pebisnis.
Ilmu yang memadai, pengetahuan-nya yang luas, dan hatinya yang tulus menghadirkan intuisi dengan keyakinan yang penuh.
Terjadilah pernikahan itu dengan mas kawin 100 ekor unta. Seorang perempuan penguasa setengah kekayaan Mekah dengan pemuda yang akan memuliakan umat ini.
15 tahun menjalani rumah tangga, keduanya Allah S.W.T. karuniai berbagai kemuliaan. Mereka berdua sukses membangun “korporasi” bisnis internasional dan menghantarkan mereka sebagai keluarga terkaya di Mekah. Tak heran jika mereka menempati rumah di perumahan elit-nya Mekah.
Kemuliaan itu lengkap sudah dengan hadirnya keturunan-keturunan yang akhlaknya menyerupai kedua-orang tua-nya.
Hingga masa itu tiba, ketika sang suami sering nampak gelisah. Bukan karena diri, bukan karena keluarga, namun karena memikirkan berbagai pemandangan di Kota Mekah. Kegelisahan tersebut sampai-sampai menuntut sang suami untuk menjauh dari kehidupan-nya sehari-hari.
Selaku istri yang cinta pada suami-nya, sudah sewajarnya jika semalam-pun tak nyaman tanpa suami di sisi. Setidaknya kebiasaan bersama berpuluh tahun sudah cukup membuat resah kala tiada suami tercinta.
Namun, Khadijah justru mendukung sang suami. Setiap hari, di masa-masa suami melipir ke pinggiran kota, menyendiri, Khadijah-lah yang menghantarkan segala keperluan logistik sang suami. Bukan dengan kendaraan modern, namun ia harus mendaki Jabal Noor hingga tiba di Gua Hira.
Pulang-pergi, Khadijah dengan telaten dan sabar mengantarkan berbagai perbekalan kebutuhan suaminya. Ini bukan perjalanan untuk mencari uang, bukan business trip, namun perjalanan dengan alasan “karena gelisah”.
“Bukankah kami para istri obat gelisah para suami?” begitu mungkin suara hati para istri.
Namun, Khadijah dengan wawasan, pemahamannya soal peran istri pada suami, juga cinta dapat mencukupkannya untuk dapat memahami. Bahkan, nantinya, di kala sang suami “kian gelisah” karena beban kenabian, ia yang menguatkan, mendukung, bahkan mencarikannya solusi.
Lebih jauh, ketika risalah itu turun dan menjadi beban suaminya, dia-lah yang menjadi penyokong utama. Jiwa dan harta ia korbankan, hingga rumah tercinta yang mereka bangun di perumahan elit itu, kelak rela ditinggalkan demi Hijrah-nya sang Rasul.
Dapat kita bayangkan bagaimana sibuknya sang Suami yang menjadi seorang Nabi dan Rasul. Jangankan tuk sekadar berbincang, Khadijah harus rela banyak kehilangan perhatian yang selama ini ia peroleh sehari-semalam penuh. Kini, perhatian itu tersita oleh “orang lain”.
Pantaslah Nabi Muhammad S.A.W. sang panglima, yang senantiasa terdepan di medan perang, yang menjadi pelindung Ali bin Abi Thalib (sang body guard), bahkan Umar bin Khathab (sang perkasa), tiba-tiba berlinang air matanya kala melihat kalung.
Ialah kalung hadiah Khadijah pada Zainab kala menikah. Ketika itu, Zainab hendak memberikan kalung tersebut sebagai penebus suaminya, Abul Ash bin Rabi yang menjadi tawanan perang.
Itulah kesaksian Jabal Nur, yang “pandangannya” senantiasa tertuju pada Mekah. Kota yang pernah Rasulullah S.A.W. begitu rindukan untuk dapat shalat di sana. Dengan washilah perjuangan dan pengorbanan beliau, Alhamdulillah, kita semua kini dapat melakukannya.
Tulisan merupakan serial artikel seputar tempat-tempat di sekitar lokasi Ritual Ibadah Haji