Seperti kita semua tahu setiap manusia itu punya karakter dan keunikan tersendiri. Allah menciptakannya demikian. Sidik jari, DNA, dan suara kita adalah contohnya. Jadi konsep reinkarnasi -seseorang itu akan mati dan dilahirkan kembali dalam bentuk kehidupan lain- tidak dikenal dalam Islam.
Saking uniknya seorang manusia tak mungkin keadaan statis didapat, terlebih ketika bersosialisasi. Terkadang keunikan yang satu lebih menonjol daripada yang lain. Tidak terkecuali dominasi sebuah karakter. Maka bisa dipastikan dalam keadaan paling normal pun konflik akan hadir. Bahkan keadaan yang terlalu tenanglah yang memunculkan konflik.
Melihat kondisi demikian, lalu bagaimana Islam memandang sebuah konflik?.
Konflik sebagai tanda belum ada kesepakatan
Kata sepakat atau mufakat dalam istilah musyawarah adalah tujuan. Dari sepakat tersebut ada kontrak bersama dimana akan mengesampingan keinginan pribadi diatas orang banyak. Maka indikasi kesepakatan dipaksakan adalah terjadinya konflik. Baiknya tentu berdiskusi ulang mengenai kesepakatan.
Konflik Sebagai Ajang Intorspeksi
Alangkah indahnya bila setiap muslim selalu berintrospeksi terlebih dahulu ketika terjadi konflik. Selalu merasa mungkin saya salah dan dia benar, berpikir mungkin ada manifestasi saya sehingga dia demikian. Maka dipastikan konflik akan menjadi indah dan tidak membesar kepada pertikaian. Seperti perkataan psikolog ternama ‘ketika kita tidak bisa mengubah orang lain, maka rubahlah diri sendiri’
Konflik tidak selalu diekspresikan dengan marah
Marah dapat mendatangkan konflik namun konflik belum tentu mendatangkan marah. Marah itu sebenarnya komunikasi namun dengan emosi yang tinggi. Perasaan lebih mendominasi daripad akal sehat, karena bila akan sehat lebih dominan tentu ekspresinya bukan marah. Kendalikan marah, yakinkan bahwa dengan marah konflik bukan otomatis selesai mungkin memperburuk.
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض اَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيّ ص: اَوْصِنِى، قَالَ: لاَ تَغْضَبْ. فَرَدَّدَ مِرَارًا، قَالَ: لاَ تَغْضَبْ. البخارى
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Sesungguhnya ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi SAW, “Nasehatilah saya, ya Rasulullah”. Rasulullah SAW bersabda, “Jangan marah”. Orang itu mengulanginya beberapa kali. Nabi SAW bersabda, “Jangan marah”. [HR. Bukhari juz 7, hal. 99]
Setelah anda bisa mengendalikan amarah, anda akan terkaget-kaget sendiri bahwa ternyata seluruh manusia itu pada dasarnya penuh cinta kasih. Anda menjadi orang yang penuh kelembutan dan memandang dunia tidak dengan perpesktif yang sempit. Ingat ini adalah upah dari ikhtiar kita mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka imbalannya kita diberikan jiwa yang lapang. Kita jadi semakin rendah hati karena semua ini pemberian-Nya sang Ar-Rahman Ar-Rahim.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” [Ali Imran (3):159]
Doa Ketika Marah
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ صُرَدٍ قَالَ: اسْتَبَّ رَجُلاَنِ عِنْدَ النَّبِيّ ص فَجَعَلَ اَحَدُهُمَا يَغْضَبُ وَ يَحْمَرُّ وَجْهُهُ. فَنَظَرَ اِلَيْهِ النَّبِيُّ ص فقَالَ: اِنّى َلاَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ ذَا عَنْهُ: اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. فَقَامَ اِلَى الرَّجُلِ رَجُلٌ مِمَّنْ سَمِعَ النَّبِيَّ ص فَقَالَ: أَ تَدْرِى مَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص آنِفًا؟ قال: اِنّى َلاَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ ذَا عَنْهُ: اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. فَقَالَ لَهُ الرَّجُلُ: أَ مَجْنُوْنًا تَرَانِى؟. مسلم كتاب البر و الصلة و لادب، باب فضل من يملك نفسه عند الغضب
Dari Sulaiman bin Shurad ia berkata : Ada dua orang laki-laki yang saling mencaci di dekat Nabi SAW. Lalu salah seorang dari keduanya marah hingga memerah wajahnya. Lalu Nabi SAW melihat kepadanya dan beliau bersabda, “Sesungguhnya aku mengetahui suatu kalimat yang apabila dia mengucapkannya pasti hilanglah (kemarahan) yang ada padanya, yaitu A’uudzu billaahi minasy-syaithoonir rojiim (Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaithan yang terkutuk). Lalu ada diantara yang mendengar sabda Nabi tersebut mendatangi orang yang sedang marah tadi dan berkata, ”Tahukah kamu, apa yang disabdakan Rasulullah SAW tadi ?, yaitu [Sesungguhnya aku mengetahui suatu kalimat yang apabila dia mengucapkannya pasti hilanglah (kemarahan) yang ada padanya, yaitu A’uudzu billaahi minasy-syaithoonir rojiim]”. Orang yang marah tadi menjawab, “Apakah kamu kira aku ini gila ?”. [HR. Muslim, di dala kitab Bir wash Shilah wal Adab, bab keutamaan menguasai diri ketika marah]
(Parisya Nafilah)