Rasulullah bersabda, “Inginkah engkau aku beritahu tentang kepala (pokok) segala urusan, tiangnya dan puncaknya?” Aku menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Kepala segala urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad.” Rasulullah Saw. mengatakan lagi, “Inginkah engkau aku beritahukan tentang penguat itu semua?” Aku menjawab, “Ya, wahai Nabi Allah.” Maka Rasulullah Saw. memegang lidahnya seraya mengatakan, “Tahanlah (peliharalah) ini (lidah) olehmu.” Aku mengatakan, “Wahai Nabi Allah, akankah kita dibalas gara-gara omongan yang kita ucapkan?” Rasulullah Saw. menjawab, “Ibumu telah kehilangan kamu! Tidaklah manusia dibenamkan ke dalam neraka -dimulai dengan wajah mereka atau lubang hidung mereka- melainkan buah dari lidah-lidah mereka?” (H.R. At-Tirmidzi, hadits hasan)
***
Ya, lidah bisa membawa seseorang ke surga dan bisa pula ke neraka. Bagaimanakah menggunakan lidah agar membawa pemiliknya pada ridha Allah Swt.?
1. Dakwah
Hal utama yang dapat dilakukan lidah agar mengantarkan kita ke surga adalah mengajak orang lain untuk beribadah dan taat kepada Allah (berdakwah), memerintahkan kepada kebajikan dan melarang kemunkaran (amar bil ma’ruf nahyun ‘anil-munkar). Kata-kata yang keluar dari seseorang yang berdakwah ke jalan Allah merupakan kata-kata terindah yang ada di muka bumi. Keindahannya melebihi puisi penyair mana pun dan yang memberikan penilaian adalah Juri Yang Maha-adil. Firman-Nya:
“Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan dan berkata, ‘Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri)?’” (Q.S. Fushshilat [41]: 33)
Ada catatan yang harus kita perhatikan dari ayat tersebut. Memang yang paling baik perkataannya adalah orang yang mengajak manusia lain ke jalan Allah. Namun, hal ini tidak berhenti sampai di situ. Ia sendiri melaksanakan amal saleh yang diserukan dan tidak merasa malu atau takut untuk memproklamasikan diri sebagai muslim.
Dalam ayat lain, Allah Swt. menyatakan,
“Sungguh besar murka di sisi Allah jika kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan.” (Q.S. Ash-Shaff [61]: 3)
Kita wajib merasa khawatir bila mengajak orang lain pada satu kebaikan, tetapi kita sendiri tidak melakukannya. Allah Swt. pasti murka sebagaimana disebutkan dalam ayat ke-3 surat Ash-Shaff tersebut. Ayat ini harus dijadikan pemacu agar kita berusaha melaksanakan yang kita serukan kepada orang lain. Tentu berbeda di sisi Allah (karena Allah Mahatahu) orang yang menyerukan pada suatu kebaikan sementara ia sendiri tidak berminat melakukannya dengan orang yang menyerukan kepada kebaikan dan berusaha untuk melakukannya, tetapi belum berhasil.
Namun demikian, untuk mengajak orang lain ke jalan Allah tidaklah harus menunggu diri kita sempurna dalam ber-Islam. Kalau menunggu sampai Islam kita sempurna baru mengajak orang lain ke jalan Allah, lantas sampai kapan?
2. Dzikrullah
Dzikrullah artinya mengingat Allah. Mengingat Allah Swt. memang tidak selalu harus dengan lisan. Hati dan anggota tubuh, termasuk ruas-ruas jari kita harus senantiasa mendapatkan porsi untuk mengingat Allah Swt. Memang, dzikir dengan lisan merupakan bagian penting dari aktivitas dzikrullah sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut.
Seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syariat Islam terasa telah banyak untukku. Maka, beritahulah aku sesuatu yang dapat aku pegang. Rasulullah Saw. menjawab, “Senantiasalah lidahmu basah dengan mengingat Allah.” (H.R. Al-Baihaqi)
Pertanyaan sahabat tersebut adalah dalam rangka menguatkan diri agar mampu melaksakan segala syariat Islam yang memang tidak ringan. Rasulullah Saw. pun membimbing sahabat tersebut agar senantiasa membasahi lidah (lisan) dengan dzikrullah. Dari situ dapat diambil pelajaran bahwa di antara hal yang memperkuat seorang mukmin dalam melakasanakan segala ajaran Islam (dan karenanya kelak layak masuk surga) adalah menggunakan lidah untuk tiada henti mengingat Allah Swt.
Ketika turun ayat ke-34 surah At-Taubah yang maknanya, “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, berikanlah kabar gembira kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih,” seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw, “Andai saja kami mengetahui harta terbaik untuk kita miliki.” Rasulullah Saw. menjawab,
“Harta yang paling utama adalah lidah yang senantiasa berdzikir, hati yang bersyukur, dan istri beriman yang senantiasa membantunya dalam keimanan.” (H.R. Muslim)
3. Membahagiakan Orang Lain
Kehidupan tidak selalu seperti yang kita dambakan. Semua orang niscaya ingin bahagia dan sukses. Tidak mungkin ada orang yang merencanakan hidup sengsara dan menderita, tetapi takdir Allah bisa menentukan lain. Dan, orang beriman meyakini bahwa apa pun yang diterima dan dirasakan pasti tidak keluar dari ketentuan (takdir) Allah Swt.
Oleh karena itu, ada beberapa kewajiban saat seseorang menerima kenestapaan dan duka. Yang pertama, meyakini bahwa segala yang dirasakan dalam kehidupan adalah ujian dari Allah. Ketika hal tersebut terjadi, kita wajib berupaya untuk keluar dari takdir yang buruk menuju takdir yang baik dengan berpikir positif dan berusaha untuk mencari jalan keluar dari persoalan yang dihadapi.
Sebagai saudara seakidah, ada kewajiban yang kita emban berkenaan dengan saudara yang tengah dilanda duka dan nestapa, yakni meringankan beban dan membahagiakan saudara tersebut. Banyak hal yang dapat dilakukan, sekurang-kurangnya adalah mengeluarkan kata-kata yang menghibur dan berempati. Rasulullah Saw. bersabda,
“Barangsiapa memasukkan kebahagiaan kepada keluarga muslimin maka Allah tidak rela baginya pahala selain surga.” (H.R. Ath-Thabrani)
Imam Malik (semoga Allah merahmatinya) ditanya, “Amal apakah yang paling engkau cintai?” Jawabnya, “Membahagiakan sesama muslim.”
Berada pada peringkat teratas untuk kita bahagiakan adalah istri dan anak-anak. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa kita dapat membahagiakan orang lain minimal dengan kata-kata. Kata-kata dapat memompakan motivasi. Kata-kata juga dapat memberikan inspirasi. Dan, kata-kata jauh lebih baik dibandingkan dengan pemberian yang diiringi tindakan menyakitkan. Firman-Nya,
“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi tindakan yang menyakiti. Allah Mahakaya, Maha Penyantun.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 263)
Hanya diperlukan beberapa kata untuk membuat orang lain sedih, marah, dan terpuruk. Dan, hanya diperlukan beberapa kata pula untuk membuat orang lain bahagia, rela, dan optimistik. Allahu a’lam. (Bersambung)
Referensi : MAPI edisi April 2011, Rubrik Bedah Hadist