“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S Al Mumtahanah[60]:12)
Ayat diatas secara garis besar menjelaskan perihal bai’at antara Rasul dengan kaum mukminat. Sekurang-kurangnya ada dua unsur persoalan yang perlu saya jelaskan di sini. Pertama bagaimana kedudukan bai’at dalam Islam. Kedua, tata cara bai’at dalam Islam.
Masalah bai’at dalam Islam merupakan salah satu topik yang hangat dibicarakan sehubungan dengan banyaknya aliran pemikiran dan pergerakan Islam yang menggunakan bai’at dalam terminology dakwahnya. Bahkan tidak jarang ada yang menggunakannya sebagai pengikat demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Dalam masa kepemimpinan Rasulullah saw bai’at dilakukan dalam konteks pernyataan janji setia para sahabat kepada beliau dalam rangka perjuangan menegakkan Islam. Janji setia tersebut memang diperlukan untuk membangun keterikatan rasa dan tanggung jawab bersama dalam sebuah organisasi antara pemimpin dan yang dipimpin.
Seperti itulah bai’at yang dilakukan Rasulullah saw beserta para sahabatnya seperti pada bai’at Aqobah dan bai’at Ridwan. Demikian pula bai’at yang dilakukan para sahabat perempuan sebagaimana digambarkan dalam ayat diatas. Bai’at tersebut dimaksudkan sebagai janji setia akan tekad bulat berada dalam ikatan Islam dengan konsekuensi amaliyah islamiyyah yang harus mereka lakukan.
Dengan demikian, jelaslah bahwa bai’at bukanlah pintu gerbang bagi seseorang untuk masuk Islam.
Pada masa setelah wafatnya Rasulullah bai’at merupakan bagian dari pengangkatan seorang pemimpin atau penguasa. Bai’at merupakan perjanjian antara rakyat (yang dipimpin) dengan yang memimpin (imam) untuk melaksanakan perintah Allah dan rasul-Nya, serta aturan-aturan lain yang tidak bertentangan dengan aturan Allah dan rasul.
Istilah bai’at sendiri secara etimologi berarti jual beli. Selanjutnya, kata ini dijadikan sebagai istilah yang dipergunakan dalam kepemimpinan. Sebagaimana dijelaskan dalam fiqh, jual beli harus didasarkan pada kerelaan kedua belah pihak.
Kerelaan ini muncul karena masing-masing pihak bisa mendapatkan manfaat. Manfaat ini tidak lain adalah hak-hak yang bisa diperoleh, yang bagi pihak lain merupakan kewajiban yang harus ditunaikan. Karakter timbal balik positif inilah yang menjadi esensi bai’at. Apabila yang terjadi hanyalah satu arah, maka yang demikian tidak bisa dinamakan sebagai bai’at.
Karena kepemimpinan dibangun diatas bai’at, maka kedua belah pihak harus menunaikan kewajibannya masing-masing. Pelaksanaan bai’at dapat dilakukan dengan menjabat tangan pimpinan yang dibai’at. Bila pembai’atan itu dari kalangan wanita, maka cukup dengan ucapan tanpa berjabat tangan.
Lantas, perlukah sekarang secara khusus kaum muslimah berbai’at seperti halnya zaman dulu?sekali lagi perlu anda ketahui bahwa bai’at merupakan bagian integral dalam kehidupan berjamaah dan perwujudan dan kesiapan umat untuk mematuhi aturan pemimpinnya.
Yang digambarkan dalam ayat di atas merupakan bai’at kaum muslimah yang ikut hijrah dari mekah ke madinah yang sebagian dari mereka bersuamikan orang kafir. Dengan demikian, saat ini tidak diperlukan bai’at kaum mukminat kepada seseorang yang dianggap pemimpin untuk menyatakan janji setia. Sudah tidak diperlukan lagi bai’at sebagaimana digambarkan dalam ayat diatas karena dengan mengamalkan ajaran Islam saja sudah cukup dan menjadi bukti bai’at itu sendiri.
Akan tetapi, kalau dirasa perlu maka bai’at boleh saja dilakukan selama berada dalam bingkai yang ditetapkan ajaran Islam dan bukan menjurus pada ekslusifitas yang menganggap golongannya lebih baik serta mengkafir orang lain. Bai’at dilakukan sekedar untuk penguatan ikatan antar berbagai komponen dalam sebuah jamaah (organisasi) baik besar maupun kecil.
Waallahu’alam bishawab.
Ust. Aam Amiruddin